Kamis, 30 Januari 2014

Tafsir Surat Al Baqarah: 172-173

I.                   Penafsiran Surat Al Baqaroh ayat 172-173
A.    Surat al-Baqarah ayat 172-173
يا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِنْ كُنْتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ (۱٧۲) إِنَّمَا حَرَّمَ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةَ وَالدَّمَ وَلَحْمَ الْخِنْزِيرِ وَمَا أُهِلَّ بِهِ لِغَيْرِ اللَّهِ فَمَنِ اضْطُرَّ غَيْرَ بَاغٍ وَلا عَادٍ فَلا إِثْمَ عَلَيْهِ إِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (۱٧۳)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar hanya kepada-Nya kamu menyembah. Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barang siapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang ia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.
B.      Makna Mufradat
طيبت=جعله طيبة       : menjadikan baik, nyaman                                                     
طيبت= حسن             : baik, bagus
فمن اضطر               : barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya)
غير با غ                  : tidak menghalalkannya (menurut Said Ibnu Jubair),       sedang menurut Assadi غير با غ bermakna bukan karena memperturutkan selera ingin memakannya.
الدَّمَ                               : (darah) yang dimaksud ialah darah yang mengalir
وَلا عَادٍ                                     : Tidak boleh melampaui batas dalam memakannya bila telah menemukan yang halal. Menurut Ibnu Abbas وَلا عَادٍ  bermakna tidak boleh sekenyangnya, sedangkan Assadi berpendapat bahwa makna وَلا عَادٍ sama dengan al-‘udwan yang bermakna melampaui batas.
C.     Asbabun Nuzul
Penjelasan tentang makanan-makanan yang diharamkan tersebut dikemukakan dalam konteks mencela masyarakat Jahiliyah, baik di Mekkah maupun di Madinah, yang memakannya. Mereka misalnya membolehkan memakan binatang yang mati tanpa disembelih dengan alasan bahwa yang disembelih atau dicabut nyawanya oleh manusia halal, maka mengapa haram yang dicabut sendiri nyawanya oleh Allah?
Penjelasan tentang keburukan ini dilanjutkan dengan uraian ulang tentang mereka yang menyembunyikan kebenaran, baik menyangkut kebenaran Nabi Muhammad, urusan kiblat, haji dan umroh, maupun menyembunyikan atau akan menyembunyikan tuntunan Allah menyangkut makanan.Orang-orang Yahudi misalnya, menghalalkan hasil suap, orang-orang Nasrani membenarkan sedikit minuman keras, kendati dalam kehidupan sehari-hari tidak sedikit dari mereka yang meminumnya dengan banyak.[1]
II.                 Makanan Yang Halal dan Haram
A.    Pengertian Makanan
Kata makanan berasal dari lafazh الأطعمة  . Kata الأطعمة   adalah bentuk jamak dari kata الطعام.  Menurut bahasa adalah perkara yang dapat dimakan dan segala perkara yang dijadikan untuk kekuatan.[2]
Makanan dalam bahasa al-Qur’an menggunakan kata اكل  dalam berbagai bentuk untuk menunjuk pada aktifitas makan. 
B.     Penafsiran Makanan Halal dan Haram
Dalam seruannya secara khusus kepada orang-orang mu'min ini, Allah SWT memerintahkan mereka supaya suka makan yang baik dan supaya mereka suka menunaikan hak nikmat itu, yaitu dengan bersyukur kepada Zat yang memberi nikmat.
Allah menyuruh manusia memakan makanan yang halal lagi baik, bukan halal saja dan baik saja tetapi harus kedua-duanya. Sebab makan yang halal namun tidak memberi kontribusi pada kebutuhan tubuh jasmani kita hingga tubuh marnpu dan kuat beraktivitas yang shalih‑itu tidaklah cukup sekalipun makanan itu memenuhi hukum syara'. Sebaliknya makanan yang tidak halal sekalipun baik, seperti barang / makanan curian dan yang didapat secara tidak sah, jelas itu tidak boleh dimakan. Yang dimaksud halal adalah sesuatu yang dibolehkan oleh syari'at (Tafsir Al Maraghi, Juz 1: 176).
Mengenai yang haram di makan meliputi 4 hal, yaitu:
1.       Bangkai.
Binatang yang berhembus nyawanya tidak melalui cara yang sah, seperti mati tercekik, dipukul, jatuh, ditanduk dan diterkam binatang buas, namun tidak sempat disembelih dan (yang disembelih untuk berhala). Dikecualikan dari pengertian bangkai binatang air (ikan dan sebagainya) dan belalang. Khusus untuk bangkai, dari hewan laut/air dan sebangsa serangga diperbolehkan (halal) memakannya. Hal itu berdasarkan sabda Nabi saw.: "Laut itu airnya suci dan bangkainya halal" (H.R. Ahmad dan Ashhabussunan). Juga Ibnu Abi Aufa mengatakan: "Kami pernah berperang bersama Nabi tujuh kali peperangan, kami makan belalang bersama beliau (H.R. Jama'ah kecuali Ibnu Majah).
Meskipun seperti ikan  serta belalang  itu halal, akan tetapi tetap memperhatikan tiga hal di atas, yaitu makanan itu tidak merusak diri, kotor lagi menjijikan dan secara berlebihan memakannya.
2.      Darah
Yaitu darah yang mengalir bukan yang substansi asalnya membeku seperti limpa dan hati, karena darah mengandung kuman dan zat‑zat kotor dari tubuh dan sukar dicernakan.[3]
3.      Daging babi
Yakni seluruh tubuh babi, termasuk tulang, lemak dan kulitnya.[4] karena mengandung baksil‑baksil (­kuman) yang sangat berbahaya disebabkan babi itu suka memakan bangkai‑bangkai tikus dan zat‑zat kotor dan juga sukar dicerna. Akan tetapi belakangan ini ada orang yang memperdebatkan keharamannya. Dan babi itu sendiri menjadikan jijik orang yang berjiwa bersih dan lurus.
4.      Binatang yang ketika disembelih disebut nama selain Allah.  
Artinya bahwa binatang semacam itu baru haram dimakan bila disembelih dalam keadaan menyebut selain nama Allah.
Kasih sayang Allah sangat melimpah kepada makhluk, karena itu Dia selalu menghendaki kemudahan buat manusia. Dia tidak menetapkan sesuatu yang menyulitkan mereka, dan karena itu pula larangan diatas dikecualikan oleh bunyi kelanjutan ayat: tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa memakannya sedang ia tidak menginginkannya dan tidak pula melampaui batas maka tidak ada dosa baginya.
Keadaan terpaksa adalah keadaan yang di duga dapat mengakibatkan kematian; sedang tidak menginginkannya adalah tidak memakannya padahal ada makanan yang halal yang dapat dimakan, maka tidak pula memakannya memenuhi keinginan seleranya.
Sedang yang di maksud dengan tidak melampaui batas adalah tidak memakannya dalam kadar yang melebihi kebutuhan menutup rasa lapar dan memelihara jiwanya. Keadaan terpaksa dengan ketentuan demikian di tetapkan Allah, karena Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.[5]
C.     Hikmah Yang Terkandung
1.                   Diharamkan Bangkai dan Hikmahnya
Bahwa diharamkannya bangkai itu mengandung hikmah yang sangat besar sekali:
a.       Naluri manusia yang sehat pasti tidak akan makan bangkai dan dia pun akan menganggapnya kotor. Seluruh agama Samawi memandangnya bangkai itu suatu makanan yang haram. Mereka tidak boleh makan kecuali yang disembelih, sekalipun berbeda cara menyembelihnya.
b.       Supaya setiap muslim suka membiasakan bertujuan dan berkehendak dalam seluruh hal, sehingga tidak ada seorang muslim pun yang memperoleh sesuatu atau memetik buah melainkan setelah dia mengkonkritkan niat, tujuan dan usaha untuk mencapai apa yang dimaksud. Begitulah, maka arti menyembelih --yang dapat mengeluarkan binatang dari kedudukannya sebagai bangkai-- tidak lain adalah bertujuan untuk merenggut jiwa binatang karena hendak memakannya. Jadi seolah-olah Allah tidak rela kepada seseorang untuk makan sesuatu yang dicapai tanpa tujuan dan berfikir sebelumnya, sebagaimana halnya makan bangkai ini. Berbeda dengan binatang yang disembelih dan yang diburu, bahwa keduanya itu tidak akan dapat dicapai melainkan dengan tujuan, usaha dan perbuatan.
c.       Binatang yang mati dengan sendirinya. Ini tidak dapat dijamin untuk tidak membahayakan, Contohnya seperti binatang yang mati karena sangat lemah dan kerena keadaannya yang tidak normal.
d.      Allah mengharamkan bangkai kepada kita umat manusia, berarti dengan begitu Allah telah memberi kesempatan kepada hewan untuk memakannya sebagai tanda kasih-sayang Allah kepada binatang tersebut. Karena binatang-binatang itu adalah makhluk seperti kita juga, sebagaimana ditegaskan oleh al-Quran.
e.       Supaya manusia selalu memperhatikan binatang-binatang yang dimilikinya, tidak membiarkan begitu saja binatangnya itu diserang oleh sakit dan kelemahan sehingga mati dan hancur. Tetapi dia harus segera memberikan pengobatan atau mengistirahatkan.
2.                   Hikmah Diharamkannya Darah
             Rahasia diharamkannya darah yang mengalir di sini adalah justru karena kotor, yang tidak mungkin jiwa manusia yang bersih suka kepadanya. Dan inipun dapat diduga akan berbahaya, sebagaimana halnya bangkai.
3.                   Hikmah Diharamkannya Daging Babi
Hikmah dari pengharaman memakan daging babi ini. Kita tinjau beberapa Mudharat (kerugian) mengkonsumsi daging babi dari berbagai sudut pandang kajian ilmiah, beberapa diantaranya :
a.       Babi adalah hewan yang sangat Rakus dan kotor
Seperti yang diketahui babi adalah binatang yang tidak memiliki kelenjar keringat. Dengan demikian, segala jenis ekskresi diproses secara internal fisiologis. Proses ekskresi kulit pada babi terjadi dibawah lapisan kulit. Proses ini akan menyebabkan babi selalu kepanasan. Oleh karena itu ia membutuhkan pendingin dari luar. Air contohnya. Tapi ditempat-tempat tertentu air adalah sesuaru yang sulit ditemukan. Babi ternyata punya tehnik tersendiri untuk mendinginkan tubuhnya. Tehnik ini disebut ” berkubang”. Dan heba nya, kubangan yang paling disukainya babi adalah kotorannya sendiri. Babi juga adalah hewan yang kerakusannya dalam makan tidak tertandingi hewan lain.
b.      Daging Babi mengandung Urid Acid (Asam Urat) dengan kadar yang tinggi (98%)
c.        Dalam daging babi terdapat cacing pita yangapa bila di konsumsi manusia akan membahayakan karena banyak menimbulkan penyakit.
4.                   Hikmah diharamkannya memakan binatang yang disembelih dengan menyebut nama selain Allah.
Adapun keharaman suatu yang disembelih sambil menyebutkan nama selain Allah, tidaklah ini diharamkan karena zatnya. Tapi, disebabkan oleh ketidaktulusan jiwa dan tidak adanya bulatan tujuan, maka zat tersebut tergolong yang najis. Karena adanya kaitan akidah dengan segala yang diharamkan. Sungguh Allah telah mendorong kepada manusia agar hanya ber-tawajjuh kepada Allah semata-mata tanpa ada persekutuan.



[1] Imam Jalaluddin al-Mahalli dan Imam Jalaluddin as-Suyuti, Tafsir Jalalain (Bandung: sinar Bara Algesindo), h. 87.
[2] Abu Sari’ Muhammad Abu Hadi, Hukum Makanan dan Sembelihan dalam Pandangan Islam, (Jakarta Pusat: Tragenda Karya, 1997), h. 18
[3] M. Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah:Pesan, Kesan dan Keserasian Al Quran vol.I, Jakarta:Lentera Hati, 2002, h.  384

[4] Ibid,
[5] M. Quraish Shihab, Op.cit, h. 385-386

4 komentar: