Minggu, 31 Juli 2022

JASA BUAT MAKALAH

 Anda mahasiswa?

Anda mahasiswa tapi sebagai pekerja juga?

Tugas Kuliah menumpuk?

Gak sempat bikin makalah karena sibuk?

Bingung dengan tugas makalah dari dosen?

Kami siap membantu anda. Hubungi email:

tugaskuliyah3416@gmail.com

QURBAN DAN AQIQAH

 Ibadah qurban sudah Allah syariatkan sejak Nabi Adam as, kemudian Nabi Ibrahim as dan disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW. Qurban adalah salah satu bentuk keshalehan dan kepedulian sosial umat Islam. Qurban bukan untuk bermegah-megah dengan menyembelih sapi atau kambing, tapi ibadah  qurban adalah lembang ketaqwaan hamba kepada Nya. Dalam surat al-Hajj: 37 Allah berfirman:

وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (36) لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ (37)                              

Artinya: “Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan dari padanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu menyembelihnya) dalam keadaan berdiri dan (kaki-kaki telah terikat). Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya(tidak meminta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah kami tundukkan (unta-unta) untukmu, agar kamu bersyukur. Daging (hewan qurban) dan darahnya sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada Nya adalah ketaqwaan kamu. Demikianlah Dia menundukkannya kepadamu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al- Hajj: 36-37)

Secara bahasa, aqiqah memiliki arti “memotong” yang berasal dari bahasa arab “al-qat’u”. Terdapat juga definisi lain aqiqah yaitu “nama rambut bayi yang baru dilahirkan”. Menurut istilah, aqiqah adalah menyembelih hewan ternak pada hari ke tujuh setelah bayi dilahirkan. Hal ini dilakukan sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT. Aqiqah biasanya dilakukan pada hari ke-7, ke-14, atau ke-21 setelah kelahiran seorang anak. Bagi anak laki-laki, untuk melaksanakan aqiqah wajib memotong dua ekor kambing sementara anak perempuan satu ekor kambing saja.

Rasulullah bersabda: “Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.”

Perbedaan Kurban dan Aqiqah

1.      Tujuannya

Secara dasar, Qurban memiliki definisi menyembelih hewan dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah pada hari raya Idul Adha pada 10 Dzulhijjah dan tiga hari tasyrik pada 11, 12, dan 13 Dzulhijjah. Sementara, aqiqah memiliki arti memotong. Menurut para ulama artinya beragam, baik itu memotong hewan atau potong rambut bayi. Secara istilah, aqiqah menyembelih hewan sebagai rasa syukur kepada Allah atas kelahiran buah hati yang diselingi pemotongan rambut bayi.

مَعَ الغُلاَمِ عَقِيقَةٌ

Artinya: Aqiqah menyertai lahirnya seorang bayi, (H.R. Bukhari).

2.      Jenis Hewan

Kambing, domba, sapi, kerbau, dan unta merupakan hewan yang diizinkan para ulama untuk jadi hewan qurban. Hewan qurban tidak boleh ada cacat. Lalu, cukup usianya biasanya dilihat dari sudah berganti giginya. Jika domba, maka minimal berusia satu tahun dan sudah ganti gigi. Jika menggunakan kambing, maka minimal sudah berusia dua tahun. Kemudian, sapi dan kerbau mencapai dua tahun lebih. Terakhir, unta harus mencapai usia lima tahun atau lebih.

Sementara, hewan yang dapat digunakan untuk aqiqah yaitu kambing atau domba dengan indikator tidak cacat, usianya adalah sudah cukup dewasa dengan berganti gigi. Jumlah hewan yang dijadikan untuk aqiqah berdasarkan hadist Nabi Muhammad SAW berikut:

“(Aqiqah) untuk anak laki-laki adalah dua kambing dan untuk perempuan satu kambing. Baik berjenis kelamin jantan atau betina, tidak masalah,” (sesuai dalam kitab al-Majmu’ Saryh muhazzab).

3.     Jumlah Hewan yang disembelih

Qurban  dilakukan dengan menyembelih seekor kambing/domba per individu. Apabila sapi/kerbau/unta yang dijadikan sebagai hewan qurban maka bisa dilaksanakan oleh tujuh orang untuk satu sapi/kebau/unta.  Qurban tidak memandang jenis kelamin orang yang berqurban.  Sedangkan aqiqah dilihat dari kelahiran. Berdasarkan sabda Rasulullah, aqiqah untuk anak laki – laki adalah dua kambing dan untuk perempuan satu kambing.

Hadits Aisyah r.a: “Sunnahnya dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor kambing untuk anak perempuan. Ia dimasak lalu dimakan (oleh keluarganya), dan disedekahkan pada hari ketujuh”. (HR al-Bayhaqi)

4.     Waktu Penyembelihan

Perbedaan jelas lainnya yaitu waktu penyembelihan hewan kurban Idul Adha wajib pada tanggal 10, 11 , 12, 13 Dzulhijjah. Ibadah, kurban juga momentum setahun sekali di tanggal-tanggal tertentu. Pemesanan hewan kurban kepada peternak juga bisa kolektif atau individual. Berbeda dengan aqiqah yang dilaksanakan pada hari ke tujuh, ampat belas dan dua puluh satu kelahiran bayi.

Rasulullah bersabda: “Semua anak bayi tergadaikan dengan aqiqahnya yang pada hari ketujuhnya disembelih hewan (kambing), diberi nama dan dicukur rambutnya.”

Berdasarkan sabda Rasulullah SAW ini, maka para ulama menyepakati bahwa waktu pelaksanaan aqiqah yang paling baik adalah pada hari ke-7 semenjak hari kelahiran. Namun jika berhalangan karena sesuatu dan lain hal, aqiqah dapat dilaksanakan pada hari ke-14 atau hari ke-21.

Namun jika seseorang tersebut berada dalam kondisi ekonomi yang tidak memungkinkan, maka kewajiban melaksanakan aqiqah pun gugur. Karena, apabila memang benar-benar tidak mampu, seorang muslim diperbolehkan untuk meninggalkan atau tidak melakukan ibadah aqiqah ini.

5.     Jumlah Pelaksanaan

Aqiqah hanya dilakukan sekali seumur hidup. Jika anak sudah diaqiqahkan oleh orang tuanya saat masih bayi, maka tak perlu aqiqah lagi saat anak beranjak dewasa. Berbeda dengan kurban yang tidak dibatasi jumlah pelaksanaannya seumur hidup. Nabi Ibrahim jadi panutan umat Islam untuk tidak ragu-ragu berqurban setiap tahun.

6.     Pembagian  Daging

Islam mengatur pemberian daging kurban dan aqiqah supaya tepat sasaran. Pada aqiqah, dagingnya dapat diberikan kepada siapa pun, tidak memandang status ekonomi. Lain halnya pada kurban, para ulama sepakat ada golongan penerima daging ada 3 yaitu sepertiga untuk fakir miskin, sepertiga untuk keluarga yang berkurban, dan sepertiga untuk tetangga atau kerabat terdekat. Allah berfirman pada ayat di bawah ini:

Maka makanlah sebagiannya (daging kurban) dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya (orang yang tidak meminta-minta) dan orang yang meminta,” (QS.Al-Hajj:36).

7.     Bentuk Daging yang diberikan

Hal ini lazim umat Islam ketahui, namun harus diingat lagi bahwa daging kurban dibagikan dalam kondisi mentah, sementara daging dari aqiqah harus dalam keadaan masak. Maka dari itu, jangan sampai tertukar karena aqiqah layaknya menyediakan makanan pada tamu. Berbeda dengan kurban yang penyajiannya diserahkan pada keinginan masing-masing yang mendapatkan daging.

8.     Upah Penyembelih

Upah jadi perbedaan terakhir kurban dan aqiqah yang wajib umat Islam perhatikan. Orang yang menyembelih hewan kurban tidak diberikan upah, melainkan ia menerima daging dari yang telah sembelih olehnya. Beda dengan aqiqah, para penyembelih dapat meminta upah pada empunya hajat.

Kesimpulan:

Qurban adalah salah satu bentuk keshalehan dan kepedulian sosial umat Islam. Qurban bukan untuk bermegah-megah dengan menyembelih sapi atau kambing, tapi ibadah  qurban adalah lembang ketaqwaan hamba kepada Nya. Secara bahasa qurban berarti mendekatkan diri kepada Allah. Ibadah qurban dilaksanakan pada hari nahar (10 Dzulhijjah) dan hari tasyrik (11, 12, dan 13 Dzulhijjah) setiap tahun. Tujuan dar penyembelihan hewan ternak pada ibadah qurban adalah untuk meraih peringkat taqwa. Sesuai dengan firman Allah dalam surat al-Hajj ayat 37 : Daging (hewan kurban) dan darahnya itu sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada-Nya adalah ketaqwaan kamu. Demi-kianlah Dia menundukkannya untuk-mu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik.

Kalau pada hari Raya Idul Fitri kita menggapai peringkat taqwa dengan berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, maka Hari Raya Idul Adha peringkat taqwa dapat kita peroleh dengan keikhlasan melaksanakan ibadah qurban.

Penyembelihan hewan qurban dilaksanakan dengan ketentuan: satu ekor kambing/domba untuk satu orang. Satu ekor sapi/kerbau/unta untuk 7 orang. Qurban dapat dilaksanakan oleh setiap muslim setiap tahun.

Aqiqah adalah menyembelih hewan ternak pada hari ke tujuh setelah bayi dilahirkan. Hal ini dilakukan sebagai wujud rasa syukur kepada Allah SWT. Aqiqah biasanya dilakukan pada hari ke-7, ke-14, atau ke-21 setelah kelahiran seorang anak. Bagi anak laki-laki, untuk melaksanakan aqiqah dengan menyembelih dua ekor kambing sementara anak perempuan satu ekor kambing saja. Aqiqah hanya dilakukan sekali seumur hidup. Baik qurban maupun aqiqah hukumnya sunnah. Artinya tidak berdosa apabila tidak mampu melaksanakannya. Wallahua’lam bishshawab. 

Sabtu, 14 Mei 2022

FAKTOR PENYEBAB PENYIMPANGAN DALAM TAFSIR

Oleh: Hafniati

Al-Quran merupakan firman Allah SWT disampaikan oleh Malaikat jibril kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab secara lisan. Al Quran adalah kalam Allah yang sudah dijaga keasliannya. Allah SWT berfirman:

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (9)

Artinya: “Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Quran dan Kami (pula) yang memeliharanya.[1]

Perdebatan tentang pemaknaan ayat-ayat mutasyabihat membawa perdebatan pada siapa sebenarnya yang memegang otoritas untuk menjelaskan makna ayat al-Quran. Dalam hal ini muncul dua istilah: tafsir dan takwil. Tafsir secara harfiah berarti menyingkap, mengungkap, atau menjelaskan. Sedangkan takwil berarti mengembalikan (kepada asal).[2] Tafsir adalah ilmu yang membahas apa yang dimaksud oleh Allah dengan ayat-ayatNya di dalam al-Quran sejauh kemampuan yang ada pada manusia. Adapun takwil adalah memalingkan makna kata dari makna dasarnya (rajih) kepada makna lain (marjuh) karena adanya dalil atau alasan untuk memalingkannya.[3]

Pada masa pewahyuan, di mana Rasulullah SAW ketika itu masih berada di tengah-tengah ummatnya segala kesulitan dan ketidakjelasan dalam memahami makna serta kandungan al-Quran dapat secara langsung dijelaskan oleh Rasulullah SAW selaku al mufassir al awwal (penafsir pertama). Namun setelah Rasulullah SAW wafat tidak ada lagi tempat mengadu dan bertanya segala hal yang berkaitan dengan kemusykilan dalam memahami al-Quran, maka kemudian timbulllah perbedaan penafsiran al-Quran oleh para sahabat dalam memahami ayat-ayat al-Quran yang belum dijelaskan oleh Rasulullah SAW

 

A.    Pengertian Penyimpangan dalam Tafsir

Kamus besar KBBI menjelaskan kata simpang berarti sesuatu yang memisah dari yang lurus. Sedangkan menyimpang berarti menempuh jalan yang lain. Tafsir menurut etimologi ialah al-idhoh yang berarti keterangan dan al-bayan yang artinya penjelasan. Tafsir adalah mashdar dari kata kerja fassara. Menurut Abu Hayyan yang dikutip oleh Manna Qathan dalam kitabnya, tafsir ialah, “ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an, indikator-indikatornya, masalah hukum baik yang independen maupun yang berkaitan dengan yang lain, serta tantang makna-maknanya yang berkatan dengan kondisi struktur lafadz yang melengkapinya.

Dalam teori sosiologi, penyimpangan dapat didefinisikan sebagai tindakan yang tidak sesuai atau berlainan dari norma-norma sosial. Melalui norma-norma sosiallah masyarakat mendefinisikan penyimpangan, dan karenanya penyimpangan muncul dari perspektif masyarakat. Akan tetapi keliru pula untuk melihat penyimpangan semata-mata sebagai ketidakpatuhan terhadap norma-norma. Boleh jadi, orang yang dikatakan sebagai penyimpang adalah mereka yang memilih standar bagi dirinya sendiri yang berbeda dengan standar orang lain.[4]

Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa penyimpangan dalam al-Qur’an ialah tafsir yang ditempuh dengan jalan lain yang keluar dari jalan utama. Jalan utama sebuah tafsir ialah kaidah-kaidah tafsir yang telah disepakati. Kaidah-kaidah tafsir banyak dan beragam . ada yang disepakati dan ada pula yang yang tidak disepaki. Hal ini lumrah dan berlaku pula dalam aneka disiplin ilmu.[5]

Perbedaan menafsirkan al-Qur’an sudah muncul sejak awal perkembangan Islam (abad pertama, kedua dan ketiga). Kitab-kitab tafsir yang muncul pada waktu itu mengacu pada inti kandungan al-Qur’an. Tidak ada perhatian khusus tentang ilmu Nahwu, I’rab dan tidak ada pula kajian mengenai lafazh, susunan kalimat, majaz, dll. Apa yang dilakukan para mufassir pada masa itu adalah tidak lepas dari perkembangan ilmiah tentang tafsir pada masa itu. Kemudian kondisi yang demikian berubah pada masa-masa berikutnya. Semakin bertambah dan meluasnya interaksi umat Islam dengan non Muslim (perluasan daerah), maka para mufassir memerlukan ilmu tentang bahasa yang telah dibukukan sebagai perangkat bantu dalam menafsirkan al-Qur’an[6]

 

B.    Faktor- Faktor Penyebab Penyimpangan dalam Tafsir

Menurut Didin Saefudin Bukhori, dalam bukunya Pedoman Memahami kandungan Al-Qur’an bahwa penyebab pokok kekeliruan penafsiran al-Quran dapat ditinjau dari tiga segi:[7]

1.     Dari segi Mufassir (pelakunya):

a.     Subyektifitas Mufassir yang bermula dari perbedaan kemampuan, orientasi, sistem berfikir, keyakinan atas kebenaran pendapat atau madzhab yang dianutnya, kepentingan dan keinginannya.

b.     Tidak menguasi ilmu alat, seperti nahwu, sharaf, dan lain-lain.

Contoh: kekeliruan orientasi menafsirkan QS.Maryam (19):

قَالَ إِنَّمَا أَنَا رَسُولُ رَبِّكِ لِأَهَبَ لَكِ غُلَامًا زَكِيًّا (19)

Artinya: “Ia (Jibril) berkata: sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhan-Mu, untuk memeberimu seorang anak laki-laki yang suci.”

 

2.     Dari segi materi ( sasarannya)

a.     Kurang memperhatikan siapa yang menjadi Mukhattab ayat, untuk ini perlu diperhatikan ayat-ayat sebelumnya.

b.     Tidak memperhatikan siapa yang mutakallim yang dibicarakan ayat. Contoh Q.S Yusuf ayat 28.

فَلَمَّا رَأَى قَمِيصَهُ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ قَالَ إِنَّهُ مِنْ كَيْدِكُنَّ إِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيمٌ (28)

Artinya: Maka tatkala suami wanita itu melihat baju gamis Yusuf  robek di belakang berkatalah dia: "Sesungguhnya (kejadian) itu adalah diantara tipu daya kamu, Sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar."

 

c.     Mendahulukan yang muthlaq dari yang muqayyad.

d.     Tidak memperhatikan munasabah ayat.

e.     Tidak menguasai masalah yang ditafsirkan.

f.      Mendahulukan yang mutasyabih dari yang muhkam.

3.     Dari segi produk (hasil karya) para mufasir tersebut.

Menurut Prof. Quraisy Shihab, seorang mufassir memiliki kemungkinan untuk membuat kekeliruan dalam menafsirkan al-Qur’an Pertama: persoalan subjektifitas mufassir; kedua, kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah; ketiga, kedangkalan dalam penguasaan ilmu alat; keempat, kedangkalan pengetahuan tentang materi uraian (pembicaraan) ayat; kelima, tidak memperhatikan konteks baik persoalan asbab al-nuzul, hubungan ayat (munasabah) maupun kondisi sosial masyarakat; dan keenam, tidak memperhatikan siapa pembicaraan dan terhadap pembicaraan yang ditujukan[8]

Secara lebih terperinci, DR.Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub dalam kitab Asbab al-Khata‘ fi al-Tafsir: Dirasatu wa Tashiliyyatu, menjelaskan empat penyebab timbulnya kesalahan penafsiran yang sering ditemukan dalam kitab-kitab tafsir yang ada, yaitu:

1.     Berpaling dari sumber dan dasar tafsir yang otentik dan shahih.

Ushul dan kaidah bisa dianalogikan sebagai pondasi bagi sebuah bangunan, yang tidak dapat berdiri tanpa adanya pondasi tersebut. Begitu pula sebuah disiplin ilmu membutuhkan dasar dan kaidah tersendiri yang harus diperhatikan oleh setiap orang yang bergelut dengan ilmu tersebut. Dengan kaidah-kaidah dan ushul, sebuah keilmuan akan menjadi kuat dan eksis. Penyimpangan dari kaidah dan asas-asas keilmuan, menyebabkan kesalahan dalam mengambil kesimpulan. Selanjutnya sumber yang otentik juga merupakan kunci kebenaran hasil sebuah penelitian. Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam metode ilmiah adalah sumber yang digunakan harus sumber primer dan otentik. Begitu pula dengan ilmu tafsir, seorang mufassir harus menggunakan sumber-sumber tafsir yang asli dan otentik demi menghasilkan penafsiran yang benar.[9]

2.     Tidak teliti dalam memahami teks ayat dan dalalah-nya.

Faktor lain yang dapat menyebabkan kesalahan dalam penafsiran al-Qur’an adalah ketidaktelitian seorang mufassir dalam memahami teks dan dalalah-nya. Hal ini bisa terlihat ketika seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an, berhadapan dengan ayat-ayat yang nasikh dan mansukh. Persoalan nasikh dan mansukh termasuk cabang dari ulumul Qur’an yang banyak menuai perselisihan di kalangan para ulama. Perbedaan mereka tidak hanya seputar ada atau tidaknya nasakh dalam al-Qur’an, namun juga ketika menetapkan ayat yang telah di-nasakh. Kekeliruan seorang mufassir dalam hal ini bisa disebabkan kesalahan dalam menetapkan ayat yang mana yang menjadi nasikh dan mansukh. Terkadang menetapkan sebuah ayat sebagai mansukh, padahal sebenarnya bisa jadi ayat tersebut merupakan takhsis al-‘am.

Selain itu, ayat-ayat yang berbicara tentang sifat-sifat Allah SWT,  juga terkadang bisa menyebabkan seorang mufassir terjebak dalam kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Hal ini kemungkinan disebabkan karena seorang mufassir terburu-buru dalam menetapkan sifat-sifat Allah, termasuk ke dalam ayat-ayat mutasyabih, atau menggunakan akal murni dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut.[10]

Ketidaktelitian dalam memahami teks al-Qur’an juga terjadi karena seorang mufassir tidak selektif dalam mengutip pendapat dari kitab-kitab tafsir. Sebagian mereka tidak menyeleksi riwayat atau perkataan yang diambil, malah menyamaratakan antara riwayat yang dha‘if dan shahih. Sudah masyhur bahwa sebagian besar kitab tafsir masih dipenuhi oleh hadits-hadits dha’if, kisah-kisah bohong, kejadian-kejadian yang tidak masuk akal, dan perkataan yang tidak berhubungan dengan tafsiran ayat. Dalam hal ini, Imam Ahmad bin Hanbal mengatakan: “ ada tiga buku yang tidak memiliki dasar referensi yaitu buku tentang peperangan, fabel, dan tafsir.[11]

3.     Menundukkan Nash al-Qur’an untuk kepentingan hawa nafsu, politik, fanatisme madzhab, dan bid’ah.

Kesalahan penafsiran terkadang disebabkan oleh tindakan sebagian mufassir dan orang yang menekuni ilmu al-Qur’an yang menjadikan nash al-Qur’an sebagai legitimasi untuk menguatkan pendapat, madzhab dan aliran mereka. Pemahaman ayat diselaraskan dengan kepentingan madzhab. Kecenderungan seperti ini merupakan metode tafsir yang paling berbahaya dan paling buruk, karena seorang mufassir berangkat dari keyakinan dan asumsi mereka sebagai penguat, sehingga terkesan adanya pemaksaan pemahaman. Suatu ayat tidak lagi dipahami sebagaimana mestinya, tapi diarahkan untuk mendukung pemahaman madzhab yang dianut penafsirnya.[12]

Penyimpangan-penyimpangan seperti ini biasanya diakibatkan oleh fanatisme madzhab dan politik yang berlebihan, pemuasan hawa nafsu dan penyebaran bid’ah, ta’wil yang bercorak mistis, tafsir-tafsir yang bercorak ilmiah dan juga mencari legitimasi terhadap aliran dan kepercayaan yang diciptakannya.

4.     Mengabaikan sebagian syarat-syarat mufassir

Tafsir sebagai sebuah ilmu pengetahuan tentu memiliki persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi. Pengabaian terhadap syarat-syarat tersebut akan mengakibatkan penyimpangan dalam aktifitas keilmuan. Imam Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu‘ al-Fatawa mengemukakan “setiap manusia harus memiliki suatu dasar umum yang menjadi sandaran aspek-aspek yang terkait dengannya supaya dapat berbicara dengan dasar ilmu yang kuat dan penuh keadilan serta mengetahui segala rincian bagaimana ia terjadi. Apabila hal ini diabaikan, maka yang akan tertinggal adalah kebohongan dan ketidaktahuan dengan hal-hal yang juz’i(khusus), dan ketidaktahuan serta kekaburan dengan masalah yang umum (kulli). Hal ini akan melahirkan kerusakan yang besar.[13]

Dari fatwa Ibnu Taimiyah tersebut, Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub menemukan 4 macam penyelewengan yang termasuk dalam masalah ini:

a.     Menyepelekan penerapan kaidah tarjih yang dirumuskan ulama tafsir. Yang dimaksud kaidah tarjih disini adalah kaidah umum atau dasar-dasar pokok yang digunakan untuk mengetahui pendapat yang paling kuat ketika terjadi perbedaan pemahaman ketika menafsirkan al-Qur’an.[14] Perbedaan pendapat adalah hal yang wajar dalam menafsirkan al-Qur’an. Keterbatasan kemampuan manusia ditambah dengan perbedaan metode yang digunakan menjadi salah satu penyebab perbedaan ini. Hal terpenting yang harus diperhatikan bagaimana seseorang yang ingin memahami al-Qur’an bisa objektif dalam menilai perbedaan ini dan berusaha mencari pendapat yang paling kuat.

Adapun beberapa kaidah tarjih tersebut antara lain:

1)    Qira’ah mutawatir lebih didahulukan daripada makna qira’ah syadz. Apabila terdapat perbedaan penafsiran karena disebabkan oleh perbedaan qira’at, seorang mufassir harus mendahulukan makna yang dikandung qira’at mutawatir daripada makna yang dikandung qira’at syadz, sebab dari segi kualitas qira’at mutawatir dianggap lebih kuat. Hanya saja, sebagian mufassir mengabaikan kaidah ini, mereka mengutamakan qira’ah syadz dalam penafsiran. Sebagai contoh, firman Allah:

إِنَّ الصَّفَا وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ (158)

Artinya: Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari syi’ar Allah. Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau ber-‘umrah, Maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. dan Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha mengetahui.

 

Sebagian ulama berpendapat bahwa sa’i dari safa ke marwa hukumnya sunnah. Mereka berlandaskan pada qira’at syadz: …فلا جناح عليه أن يطوف بهما… Penafsiran seperti ini bertentangan dengan pendapat jumhur ulama bahwa sa’i merupakan rukun haji yang tidak boleh ditinggalkan, berpedoman pada makna qira’at mutawatir.[15]

2)    Penafsiran dan penjelasan i’rab yang sesuai dengan rasm utsmani lebih utama dibandingkan penafsiran yang berbeda dengan rasm utsmani. Apabila terjadi perbedaan antara mufassir mengenai tafsiran suatu ayat atau penjelasan makna kosakata, atau penjelasan i’rab, maka penafsiran dan i’rab yang sesuai dengan rasm utsmani yang harus dipegangi. Kesalahan penafsiran menurut penelitian Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub seringkali disebabkan oleh karena tidak diperhatikannya kaidah ini. Sebagai contoh perbedaan muffasir dalam memahami makna ayat: سنقرئك فلا تنسى… ; ulama berbeda pendapat tentang i’rab ka. Menurut jumhur, ka dalam ayat ini adalah la nahiyah, sedangkan alif disini berfungsi sebagai pembatas. [16] Dalam kasus seperti ini, seyogyanya seorang mufassir harus mengambil pendapat yang kuat, bukan sebaliknya.

3)    Mensinkronisasikan makna suatu kalimat dengan kalimat sebelum dan sesudahnya. Apabila terjadi perbedaan penafsiran tentang suatu ayat, sebagian dari mufassir menafsirkan ayat tersebut dengan menghubungkannya dengan ayat sebelum dan sesudahnya. Sedangkan sebagian yang lainnya menafsirkan ayat tersebut dengan membawa makna ayat tersebut keluar dari ikatan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya atau menjadikannya berdiri sendiri (mu’taridhah). Apabila terjadi demikian, maka menghubungkan ayat bersangkutan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya merupakan tindakan terbaik, terkecuali ada bukti yang menunjukkan sebaliknya, seperti adanya penafsiran Nabi yang dapat diterima atau adanya ijma‘ para mufassir. Sebagai contoh, penafsiran surah al-An’am ayat 91:

وَمَا قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى بَشَرٍ مِنْ شَيْءٍ قُلْ مَنْ أَنْزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاءَ بِهِ مُوسَى نُورًا وَهُدًى لِلنَّاسِ تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ تُبْدُونَهَا وَتُخْفُونَ كَثِيرًا وَعُلِّمْتُمْ مَا لَمْ تَعْلَمُوا أَنْتُمْ وَلَا آبَاؤُكُمْ قُلِ اللَّهُ ثُمَّ ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ (91)                                                                                                             Artinya: Dan mereka tidak menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata: “Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia”.(QS.al-An’am[6]: 91)

 

Para Mufassir berbeda pendapat tentang tafsir ayat diatas. Sebagian berpendapat bahwa orang yang dijelaskan dalam ayat tersebut adalah seorang laki-laki dari kalangan Yahudi, dan mereka juga berbeda pendapat mengenai namanya, ada yang mengatakan Malik bin al-Saif dan sebagian lagi Finhas al-Yahudi. Pendapat kedua menyatakan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan permintaan sekelompok orang Yahudi yang meminta Nabi untuk mendatangkan ayat-ayat, sebagaimana ayat-ayat Musa. Kemudian pendapat ketiga, menyatakan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan sekelompok orang Quraisy yang mengatakan: “Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada umat manusia”. Pendapat ketiga inilah yang paling kuat dan bias diterima, sebagaimana dikuatkan oleh ath-Thabari.

4)    Apabila terjadi perbedaan penafsiran disebabkan oleh perbedaan asbab al-nuzul yang digunakan, maka penafsiran yang sesuai dengan asbab al-nuzul yang shahih dianggap lebih kuat. Sebagai contoh, penafsiran surah al-Baqarah ayat 189:

يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (189)

Artinya: Mereka bertanya kepadamu tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah kepada Allah agar kamu beruntung. (QS.al-Baqarah: 189)

 

Ulama berbeda pendapat mengenai makna al-buyut. Sebagian berpendapat memaknainya dengan “rumah“, dan perintah memasukinya dari belakang; sebagian lagi memaknai al-buyut dengan “perempuan“ dan perintah mendatanginya dari “depan“ bukan dari “belakang“; dan pendapat terakhir ulama memaknai kalimat tersebut dengan maksud untuk menanyakan tentang sesuatu ilmu kepada orang bodoh, tetapi bukan pada para ulama.Pendapat yang paling kuat adalah yang pertama, berdasarkan asbab al-nuzul ayat tersebut. Diriwayatkan dari al-Barra‘ bin ‘Azib, ia berkata: orang-orang Anshar apabila kembali dari menunaikan haji, mereka mempunyai tradisi memasuki rumah dari belakang, kemudian ada seseorang yang masuk rumah lewat pintu depan. Kemudian turun ayat tersebut.[17]

5)    Apabila penafsiran suatu ayat didukung oleh adanya ayat yang lain yang berhubungan dengan ayat tersebut, akan lebih kuat daripada pendapat yang tidak memiliki landasan.

6)    Apabila terjadi perbedaan antara makna terminologi dengan makna etimologi dalam menafsirkan kalamullah, maka didahulukan makna terminologi.

b.     Berpaling dari metode salaf al-shalih

Menurut Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub, yang termasuk kategori salaf al-shalih adalah generasi shahabat, pembesar tabi’in, imam-imam besar yang adil, diakui umat atas keilmuan dan ketakwaan mereka, memiliki posisi yang tinggi, dan perkataan mereka diterima baik dari kalangan salaf maupun khalaf. Diantaranya Imam al-Arba’ah, Sofyan al-Tsauri, Lais bin Sa’ad, Abdullah bin Mubarak, dan para imam hadits.

Ayat al-Qur’an banyak memerintahkan umat Islam untuk senantiasa berpegang pada pendapat salaf al-shalih karena ketinggian derajat dan ketakwaan mereka. Diantaranya surah al-Taubah ayat 100, Allah berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ (100)

Artinya: orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya. mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (QS.al-Taubah[9]: 100)

 

Menurut ayat tersebut, keridhaan Allah kepada sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti pendapat mereka, menandakan pendapat mereka benar dan layak diikuti. Kalimat (ورضوا عنه)   dipahami oleh Muhammad Ya’qub sebagai perintah. Lebih lanjut dia menjelaskan, umat Islam wajib mengikuti segala hal yang diridhai Allah, dan salah satu dari perbuatan yang diridhai Allah adalah mengikuti metode dan ajaran shabat Nabi.

Di samping itu, Muhammad Ya’qub juga menyebutkan kelebihan shahabat dan metode yang mereka gunakan. Dalam menafsirkan al-Qur’an misalnya, shahabat senantiasa berpegang pada al-Qur’an dan Sunnah serta mendahulukan keduanya dibandingkan akal. Mereka juga tidak berusaha mentakwilkan nash. Makna ayat dikembalikan pada makna dasarnya yang sahih. Kelebihan lainnya, sahabat terbebas dari pengaruh fanatisme madzhab serta pengaruh filsafat, bid’ah dan persoalan ilmu kalam. Kapasitas sahabat sebagai orang yang menguasai bahasa Arab dan mengetahui asbab al-nuzul menambah kuat penafsiran mereka.

c.     Tidak paham dengan kaidah bahasa Arab

Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa Arab, suatu bahasa yang memiliki keistimewaan dar segi tata bahasa dan kandungan maknanya, sebagaimana ditegaskan oleh al-Qur’an sendiri:

إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (2)

Artinya: Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS.Yusuf : 2)

 

Diakui atau tidak, untuk sampai kepada pemahaman yang benar, seorang mufassir harus mengetahui dan memahami kaidah bahasa Arab. Ketidaktahuan dengan kaidah kebahasaan akan melahirkan kesalahan pemahaman.

d.     Mengabaikan maksud turunnya al-Qur’an dan tujuan asli.

Al-Qur’an diturunkan untuk memberikan petunjuk kepada umat manusia, memberikan cahayakepada pikiran mereka, mendidik jiwa dan akal mereka. Di waktu yang sama al-Qur’an memberikan solusi yang benar atas segala persoalan yang berhubungan dengan kehidupan manusia. Untuk sampai pada pemahaman yang benar, maka mengetahui maksud dan tujuan diturunkannya al-Qur’an adalah syarat terpenting yang harus dimiliki mufassir ketika ingin menafsirkan al-Qur’an

A.    Macam-macam penyimpangan dalam tafsir dan contohnya.

1.     Penyimpangan dalam Tafsir Histori[18]

Penyimpangan dalam tafsir historis lebih jelas lagi ketika tafsir itu dimasuki Israiliyat, yakni legenda–legenda Yahudi dan Nasruni yang masuk ke dalam tafsir. Lebih parah lagi ketika Israiliyat yang dimasukkan ke dalam tafsir masuk dalam kategori maudhu’ (palsu). Menurut Adz-Dzahabi, tafsir Al-Khazin banyak dipenuhi Israiliyat jenis itu, kitab tafsir lain semacam tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Muqatil bin Sulaiman, Ruh Al- Ma’ani, dan Al-Manar pun diduga kuat memuat pula riwayat-riwayat Israiliyat.

Eksistensi Israiliyat dalam tafsir Historis tidak saja merupakan penyimpangan, lebih jauh lagi ia, menurut Muhammad Syaltut,telah menjauhkan umat islam dari mutiara-mutiara Al-Qur’an. Umpamanya, ketika menjelaskan kisah penyembelihan sapi (Baqarah) oleh Bani Israil, para sejarawan terlena degnan cerits-cerita Israiliyat samoai lupa akan pesan moral yang ada di balik kusah tersebut.

2.     Penyimpangan dalam Tafsir Teologi[19]

Untuk mempertahankan doktrin “ketidakmungkinan” Allah dapat dilihat di akhirat kelak, Zamaksyari (tokoh besar Mu’tazilah) ”terpaksa” harus melakukan takwil terhadap ayat yang jelas-jelas bertentangan dengan doktrin Mu’tazilah. Hasan Al-Asykari, tokoh Syi’ah, mengarahkan penafsiran terhadap surat Al-Baqarah : 163 untuk menjustifikasikan doktrin “taqqiyah”. Aliran Khawarij pun tidak ketinggalan menjadikan Al-Qur’an surat Al-Maidah :44 untik mempertahankan doktrinnya bahwa “orang yang fasik adlah kafir”. Ayat-ayat lain disimpangkan oleh kelompok Jabbariyah untuk mempertahankan doktrin “determinismenya”. Begitulah selanjutnya, masing-masing aliran teologi mempunyai andil dalam melakukan penyimpangan-penyimpangan.

3.     Penyimpangan dalam Tafsir Sufi

Para sufi terlalu “memaksakan” ayat-ayat Al-Qur’an untuk diseleraskan dengan doktrin-doktrin tasawuf. Ibnu Arabi, sebagaimana pula Abu Yazid Al-Bustami dan Al-Hallaj, cenderung menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an untuk menjustifikasi doktrin “wihdatul wujud” (kesatuan eksistensi). Itulah sebabnya, ketiika menafsirkan ayat 67 dari surat Al-Baqarah , Ibnu Arabi mengatakan bahwa “anak sapi yang disembelih oleh Bani Israil merupakan salah satu manifestasi Allah dan sekaligus dijadikan sebagai tempat bagi-Nya”. Lebih parah lagi ketika menafsirkan ayat 163 surat Al-Baqarah, ia menjelaskan bahwa orang-orang yang menyembah benda selain Allah dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya, sama dengan menymbah Allah juga.

4.     Penyimpangan dalam Tafsir Linguistik

Kenyataan yang tidak dapat dibantah adalah Al-Qur’an diturunkan dengan menggunakan bahasa arab. Akibatnya, memahami salah satu aspek-aspek bahasa Arab memegang peranan penting termasuk pemahaman tentang pola pembentukan kata dan konjungsi (tashrif)nya, untuk menafsirkan Al-Qur’an. Akan tetapi, pada kenyataannya, ada kelompok orang yang berbicara dan menulis tafsir tanpa berbekalkan pengetahuan bahasa yang memadai. Oleh karena itu, mereka cenderung melakukan penyimpangan dalam tafsir Linguistik yang disebabkan oleh ketidakfahaman terhadap konjungsi, sebagaimana dikutip dalam tafsir Al-Kasysyaf adalah penafsiran terhadap ayat 71 dan 17. Untuk itu, Zamaksyari berkata, “merupakan penyimpangan penafsiran yang paling besar ketika kata “imam” dianggap sebagai pembentuk dari kata “umm”yang berarti “ibu”. Padahal yang benar, bentuk jamak dari kata “umm” itu bukan “imam” melainkan “ummahat.

 

5.     Penyimpangan dalam Tafsir Ilmi

Klaim penulis Tafsir Ilmi bahwa Al-Qur’an mencakup segala sesuatu, tidak dapat disalahkan. Setidak-tidaknya klaim mereka didukung oleh Al-Qur’an Surat Al-An’amayat 38. Akan tetapi, mereka keliru ketika memperlakukan Al-Qur’an pada buku ilmu pengetahuan, sehingga setiap penemuan ilmu pengetahuan mereka cocok-cocokkan dengan istilah-istilah Al-Qur’an, kendatipun harus melakukan penyimpangan-penyimpangan makna. Betul, surat Al-An’am ayat 38 menyatakan bahwa tak sesuatu pun juga Allah tinggalkan dalam Al-Qur’an, tetapi yang dimaksud oleh ayat itu, adalah bahwa Al-Qur’an berisi prinsip-prinsip umum mengenai segala sesuatu. Dan mengenai perinciannya, manusia diberi otoritas untuk mengembangkankannya.

6.     Penyimpangan dalam Tafsir Modern

Modernisasi dalam Islam merupakan satu keharusan bila islam tidak ingin dikatakan sebagai agama yang out of date. Akan tetapi modernisasi itu harus dilakukan dengan prosedur yang tepat dan proporsional. Ketika Al-Qur’an hanya dijadikan justifikasi bagi isu-isu modern yang nota bene muncul dari luar islam, di sana terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam tafsir modernisasi. Umpamanya, para para pembaharu “terpaksa meniadakan kewajiban hukum potong tangan bagi tindakan kriminal pencurian yang jelas-jelas ada ketentuannya dalam Al-Qur’an.

  

Beberapa contoh penyimpangan dalam tafsir al-Qur’an:

a.     Penafsiran oleh Ibn ‘Arabi dalam surat Al-Muzammil 73: 8, sebagai berikut:

وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا (8)

Artinya: “Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya dengan penuh ketekunan”. QS. Al-Muzammil:8

 

Untuk mendukung faham “wahdah al-wujud”, Ibn ‘Arabi menafsirkan ayat tersebut demikian: “Sebutlah nama Tuhanmu, yaitu kamu sendiri, artinya kenalilah dirimu sendiri dan jangan melupakannya agar Allah tetap berada dalam dirimu”.[20]

b.     Penafsiran dari para Kaum Khawarij yang terdapat dalam beberapa surat, antara lain: Surat Al-Maidah: 44

 وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (44)

Artinya: “Barangsiapa yang tidak menghukumi dengan hukuman yang diberikan Allah maka mereka adalah orang-orang kafir”. QS. Al-Maidah: 44

 

Berdasarkan ayat tersebut di atas mereka mengatakan bahwa setiap orang yang melakukan dosa berarti telah mengambil keputusan hukum dengan hukum selain daripada yang diturunkan Allah.

Di samping itu mereka juga menggunakan firman Allah dalam surat at-Taghabun: 2 sebagai landasan::

هُوَ الَّذِي خَلَقَكُمْ فَمِنْكُمْ كَافِرٌ وَمِنْكُمْ مُؤْمِنٌ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (2)

Artinya: “Dialah (Allah) yang menciptakan kamu semua; di antara kamu ada yang kafir (ingkar) dan ada yang mukmin (beriman)”. QS. at-Taghabun:2

Menurut mereka ayat ini merupakan ketetapan bahwa orang yang tidak beriman berarti kafir; sedangkan orang yang fasiq juga bukan mukmin karena itu dia pun kafir.[21]

 

 PENUTUP

Keotentikan al-Qur’an sudah Allah jamin hingga hari akhir. Ada beberapa sebab mengapa penyimpangan tersebut terjadi, di antaranya: Mufassir tidak teliti dalam memahami teks ayat dan dalalah-nya,  menundukkan Nash al-Qur’an untuk kepentingan hawa nafsu, politik, fanatisme madzhab, dan bid’ah, mengabaikan sebagian syarat-syarat mufassir, mengabaikan maksud turunnya al-Qur’an dan tujuan asli. Ada beberapa macam penyimpangan dalam al-Quran: penyimpangan dalam tafsir historis, linguistik, sufi, tafsir ilmi, tafsir modern dan tafsir teologi.



[1] QS. Al- Hijr:9

[2] Munzir Hitami, Pengantar Studi Al-Quran, PT. LkiS Yogyakarta, 2012, h. 37

[3] Muhammad Husain al-Dzahabi, al Tafsir wa al-Mufassirun, Dar al-Kutub al-Haditsah, 1976, h. 13-18

[4] Dr. Yusran Razak, MA, Sosiologi Sebuah Pengantar, tinjauan pemikiran sosiologi perspektif Islam, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Laboratorium Sosiologi Agama) hlm. 204

[5] Quraisy Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan Masyarakat, , Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996)

[6] Ali Hasan al-Aridl, Tarikh Ilm Tafsir wa Manahij al-Mufassirin, pent Ahmad Arkom, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994) h.  23

[7] Didin Saefudin Bukhori, Pedoman Memahami kandungan Al-Qur’an  h.190

[8] M.Quraish Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994), cet.xxv, hlm.79. Lihat juga Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun…….Op.Cit, hlm.58

[9] Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub, Asbab al-Khata‘ fi al-Tafsir: Dirasatu wa Tashiliyyatu, h.85

[10] Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub, Op.Cit , Juz 2, hlm.415

[11] Ibid,  h. 594

[12] Ibid, h. 621

[13] Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub,h. 915

[14] Ibid, h. 923

[15] Ibid, hlm 924

[16] Ibid, hlm.929

 

[17] Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub, Op.Cit , Juz 2, h.932-933

 

[18] Rosihon Anwar, Pengantar Ulumul Quran. Pustaka setia, Bandung, 2009. h, 196

 

[19] Ibid, h, 196

 

[20] Ahmad Musthofa Hadna, Problematika Menafsirkan Al-Qur’an  Semarang: Dina Utama, 1993 , h. 51

[21] Muhammad Husein Adz-Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangan Dalam Penafsiran Al-Qur’an(Jakarta: CV. Rajawali, 1986), h. 80