Oleh: Hafniati
Al-Quran merupakan firman Allah SWT disampaikan oleh Malaikat
jibril kepada Nabi Muhammad SAW dalam bahasa Arab secara lisan. Al Quran adalah
kalam Allah yang sudah dijaga keasliannya. Allah SWT berfirman:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ (9)
Artinya:
“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan al-Quran dan Kami (pula) yang
memeliharanya.[1]
Perdebatan tentang pemaknaan ayat-ayat mutasyabihat membawa
perdebatan pada siapa sebenarnya yang memegang otoritas untuk menjelaskan makna
ayat al-Quran. Dalam hal ini muncul dua istilah: tafsir dan takwil.
Tafsir secara harfiah berarti menyingkap, mengungkap, atau menjelaskan.
Sedangkan takwil berarti mengembalikan (kepada asal).[2] Tafsir
adalah ilmu yang membahas apa yang dimaksud oleh Allah dengan ayat-ayatNya di
dalam al-Quran sejauh kemampuan yang ada pada manusia. Adapun takwil
adalah memalingkan makna kata dari makna dasarnya (rajih) kepada makna
lain (marjuh) karena adanya dalil atau alasan untuk memalingkannya.[3]
Pada masa pewahyuan, di mana Rasulullah SAW ketika itu masih berada
di tengah-tengah ummatnya segala kesulitan dan ketidakjelasan dalam memahami
makna serta kandungan al-Quran dapat secara langsung dijelaskan oleh Rasulullah
SAW selaku al mufassir al awwal (penafsir pertama). Namun setelah
Rasulullah SAW wafat tidak ada lagi tempat mengadu dan bertanya segala hal yang
berkaitan dengan kemusykilan dalam memahami al-Quran, maka kemudian timbulllah
perbedaan penafsiran al-Quran oleh para sahabat dalam memahami ayat-ayat
al-Quran yang belum dijelaskan oleh Rasulullah SAW
A.
Pengertian
Penyimpangan dalam Tafsir
Kamus besar KBBI menjelaskan kata simpang berarti sesuatu yang
memisah dari yang lurus. Sedangkan menyimpang berarti menempuh jalan yang lain.
Tafsir menurut etimologi ialah al-idhoh yang berarti keterangan dan al-bayan
yang artinya penjelasan. Tafsir adalah mashdar dari kata kerja fassara.
Menurut Abu Hayyan yang dikutip oleh Manna Qathan dalam kitabnya, tafsir ialah,
“ilmu yang membahas tentang cara pengucapan lafadz-lafadz al-Qur’an, indikator-indikatornya,
masalah hukum baik yang independen maupun yang berkaitan dengan yang lain,
serta tantang makna-maknanya yang berkatan dengan kondisi struktur lafadz yang
melengkapinya.
Dalam teori sosiologi, penyimpangan dapat didefinisikan sebagai
tindakan yang tidak sesuai atau berlainan dari norma-norma sosial. Melalui
norma-norma sosiallah masyarakat mendefinisikan penyimpangan, dan karenanya
penyimpangan muncul dari perspektif masyarakat. Akan tetapi keliru pula untuk
melihat penyimpangan semata-mata sebagai ketidakpatuhan terhadap norma-norma.
Boleh jadi, orang yang dikatakan sebagai penyimpang adalah mereka yang memilih
standar bagi dirinya sendiri yang berbeda dengan standar orang lain.[4]
Dalam hal ini dapat disimpulkan bahwa penyimpangan dalam al-Qur’an
ialah tafsir yang ditempuh dengan jalan lain yang keluar dari jalan utama.
Jalan utama sebuah tafsir ialah kaidah-kaidah tafsir yang telah disepakati.
Kaidah-kaidah tafsir banyak dan beragam . ada yang disepakati dan ada pula yang
yang tidak disepaki. Hal ini lumrah dan berlaku pula dalam aneka disiplin ilmu.[5]
Perbedaan menafsirkan al-Qur’an sudah muncul sejak awal
perkembangan Islam (abad pertama, kedua dan ketiga). Kitab-kitab tafsir yang
muncul pada waktu itu mengacu pada inti kandungan al-Qur’an. Tidak ada
perhatian khusus tentang ilmu Nahwu, I’rab dan tidak ada pula
kajian mengenai lafazh, susunan kalimat, majaz, dll. Apa yang dilakukan
para mufassir pada masa itu adalah tidak lepas dari perkembangan ilmiah
tentang tafsir pada masa itu. Kemudian kondisi yang demikian berubah pada
masa-masa berikutnya. Semakin bertambah dan meluasnya interaksi umat Islam
dengan non Muslim (perluasan daerah), maka para mufassir memerlukan ilmu
tentang bahasa yang telah dibukukan sebagai perangkat bantu dalam menafsirkan
al-Qur’an[6]
B.
Faktor-
Faktor Penyebab Penyimpangan dalam Tafsir
Menurut
Didin Saefudin Bukhori, dalam bukunya Pedoman Memahami kandungan Al-Qur’an bahwa
penyebab pokok kekeliruan penafsiran al-Quran dapat ditinjau dari tiga segi:[7]
1.
Dari
segi Mufassir (pelakunya):
a.
Subyektifitas
Mufassir yang bermula dari perbedaan kemampuan, orientasi, sistem berfikir,
keyakinan atas kebenaran pendapat atau madzhab yang dianutnya, kepentingan dan
keinginannya.
b.
Tidak
menguasi ilmu alat, seperti nahwu, sharaf, dan lain-lain.
Contoh:
kekeliruan orientasi menafsirkan QS.Maryam (19):
قَالَ إِنَّمَا أَنَا رَسُولُ رَبِّكِ لِأَهَبَ لَكِ غُلَامًا
زَكِيًّا (19)
Artinya:
“Ia (Jibril) berkata: sesungguhnya aku ini hanyalah seorang utusan Tuhan-Mu,
untuk memeberimu seorang anak laki-laki yang suci.”
2.
Dari
segi materi ( sasarannya)
a.
Kurang
memperhatikan siapa yang menjadi Mukhattab ayat, untuk ini perlu
diperhatikan ayat-ayat sebelumnya.
b.
Tidak
memperhatikan siapa yang mutakallim yang dibicarakan ayat. Contoh Q.S
Yusuf ayat 28.
فَلَمَّا رَأَى قَمِيصَهُ قُدَّ مِنْ دُبُرٍ قَالَ إِنَّهُ مِنْ
كَيْدِكُنَّ إِنَّ كَيْدَكُنَّ عَظِيمٌ (28)
Artinya: Maka tatkala suami
wanita itu melihat baju gamis Yusuf robek
di belakang berkatalah dia: "Sesungguhnya (kejadian) itu adalah diantara
tipu daya kamu, Sesungguhnya tipu daya kamu adalah besar."
c.
Mendahulukan
yang muthlaq dari yang muqayyad.
d.
Tidak
memperhatikan munasabah ayat.
e.
Tidak
menguasai masalah yang ditafsirkan.
f.
Mendahulukan
yang mutasyabih dari yang muhkam.
3.
Dari
segi produk (hasil karya) para mufasir tersebut.
Menurut Prof. Quraisy Shihab,
seorang mufassir memiliki kemungkinan untuk membuat kekeliruan dalam
menafsirkan al-Qur’an Pertama: persoalan subjektifitas mufassir; kedua,
kekeliruan dalam menerapkan metode atau kaidah; ketiga, kedangkalan
dalam penguasaan ilmu alat; keempat, kedangkalan pengetahuan tentang
materi uraian (pembicaraan) ayat; kelima, tidak memperhatikan konteks
baik persoalan asbab al-nuzul, hubungan ayat (munasabah) maupun kondisi
sosial masyarakat; dan keenam, tidak memperhatikan siapa pembicaraan dan
terhadap pembicaraan yang ditujukan[8]
Secara
lebih terperinci, DR.Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub dalam kitab Asbab
al-Khata‘ fi al-Tafsir: Dirasatu wa Tashiliyyatu, menjelaskan empat
penyebab timbulnya kesalahan penafsiran yang sering ditemukan dalam kitab-kitab
tafsir yang ada, yaitu:
1.
Berpaling
dari sumber dan dasar tafsir yang otentik dan shahih.
Ushul
dan kaidah bisa dianalogikan sebagai pondasi bagi sebuah bangunan, yang tidak
dapat berdiri tanpa adanya pondasi tersebut. Begitu pula sebuah disiplin ilmu
membutuhkan dasar dan kaidah tersendiri yang harus diperhatikan oleh setiap
orang yang bergelut dengan ilmu tersebut. Dengan kaidah-kaidah dan ushul,
sebuah keilmuan akan menjadi kuat dan eksis. Penyimpangan dari kaidah dan
asas-asas keilmuan, menyebabkan kesalahan dalam mengambil kesimpulan.
Selanjutnya sumber yang otentik juga merupakan kunci kebenaran hasil sebuah
penelitian. Salah satu syarat yang harus dipenuhi dalam metode ilmiah adalah
sumber yang digunakan harus sumber primer dan otentik. Begitu pula dengan ilmu
tafsir, seorang mufassir harus menggunakan sumber-sumber tafsir yang asli dan
otentik demi menghasilkan penafsiran yang benar.[9]
2.
Tidak
teliti dalam memahami teks ayat dan dalalah-nya.
Faktor
lain yang dapat menyebabkan kesalahan dalam penafsiran al-Qur’an adalah
ketidaktelitian seorang mufassir dalam memahami teks dan dalalah-nya.
Hal ini bisa terlihat ketika seseorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an,
berhadapan dengan ayat-ayat yang nasikh dan mansukh. Persoalan nasikh
dan mansukh termasuk cabang dari ulumul Qur’an yang banyak menuai
perselisihan di kalangan para ulama. Perbedaan mereka tidak hanya seputar ada
atau tidaknya nasakh dalam al-Qur’an, namun juga ketika menetapkan ayat yang
telah di-nasakh. Kekeliruan seorang mufassir dalam hal ini bisa
disebabkan kesalahan dalam menetapkan ayat yang mana yang menjadi nasikh
dan mansukh. Terkadang menetapkan sebuah ayat sebagai mansukh,
padahal sebenarnya bisa jadi ayat tersebut merupakan takhsis al-‘am.
Selain
itu, ayat-ayat yang berbicara tentang sifat-sifat Allah SWT, juga terkadang bisa menyebabkan seorang mufassir
terjebak dalam kesalahan dalam pengambilan kesimpulan. Hal ini kemungkinan
disebabkan karena seorang mufassir terburu-buru dalam menetapkan sifat-sifat
Allah, termasuk ke dalam ayat-ayat mutasyabih, atau menggunakan akal murni
dalam menafsirkan ayat-ayat tersebut.[10]
Ketidaktelitian
dalam memahami teks al-Qur’an juga terjadi karena seorang mufassir tidak
selektif dalam mengutip pendapat dari kitab-kitab tafsir. Sebagian mereka tidak
menyeleksi riwayat atau perkataan yang diambil, malah menyamaratakan antara
riwayat yang dha‘if dan shahih. Sudah masyhur bahwa sebagian
besar kitab tafsir masih dipenuhi oleh hadits-hadits dha’if, kisah-kisah
bohong, kejadian-kejadian yang tidak masuk akal, dan perkataan yang tidak
berhubungan dengan tafsiran ayat. Dalam hal ini, Imam Ahmad bin Hanbal
mengatakan: “ ada tiga buku yang tidak memiliki dasar referensi yaitu buku
tentang peperangan, fabel, dan tafsir.[11]
3.
Menundukkan
Nash al-Qur’an untuk kepentingan hawa nafsu, politik, fanatisme madzhab, dan bid’ah.
Kesalahan penafsiran terkadang disebabkan oleh tindakan sebagian
mufassir dan orang yang menekuni ilmu al-Qur’an yang menjadikan nash al-Qur’an
sebagai legitimasi untuk menguatkan pendapat, madzhab dan aliran mereka.
Pemahaman ayat diselaraskan dengan kepentingan madzhab. Kecenderungan seperti
ini merupakan metode tafsir yang paling berbahaya dan paling buruk, karena
seorang mufassir berangkat dari keyakinan dan asumsi mereka sebagai
penguat, sehingga terkesan adanya pemaksaan pemahaman. Suatu ayat tidak lagi
dipahami sebagaimana mestinya, tapi diarahkan untuk mendukung pemahaman madzhab
yang dianut penafsirnya.[12]
Penyimpangan-penyimpangan
seperti ini biasanya diakibatkan oleh fanatisme madzhab dan politik yang
berlebihan, pemuasan hawa nafsu dan penyebaran bid’ah, ta’wil yang
bercorak mistis, tafsir-tafsir yang bercorak ilmiah dan juga mencari legitimasi
terhadap aliran dan kepercayaan yang diciptakannya.
4.
Mengabaikan
sebagian syarat-syarat mufassir
Tafsir
sebagai sebuah ilmu pengetahuan tentu memiliki persyaratan-persyaratan yang
harus dipenuhi. Pengabaian terhadap syarat-syarat tersebut akan mengakibatkan
penyimpangan dalam aktifitas keilmuan. Imam Ibnu Taimiyah dalam kitab Majmu‘
al-Fatawa mengemukakan “setiap manusia harus memiliki suatu dasar umum yang
menjadi sandaran aspek-aspek yang terkait dengannya supaya dapat berbicara
dengan dasar ilmu yang kuat dan penuh keadilan serta mengetahui segala rincian
bagaimana ia terjadi. Apabila hal ini diabaikan, maka yang akan tertinggal
adalah kebohongan dan ketidaktahuan dengan hal-hal yang juz’i(khusus), dan
ketidaktahuan serta kekaburan dengan masalah yang umum (kulli). Hal ini akan
melahirkan kerusakan yang besar.[13]
Dari
fatwa Ibnu Taimiyah tersebut, Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub menemukan 4 macam
penyelewengan yang termasuk dalam masalah ini:
a.
Menyepelekan
penerapan kaidah tarjih yang dirumuskan ulama tafsir. Yang dimaksud
kaidah tarjih disini adalah kaidah umum atau dasar-dasar pokok yang
digunakan untuk mengetahui pendapat yang paling kuat ketika terjadi perbedaan
pemahaman ketika menafsirkan al-Qur’an.[14] Perbedaan
pendapat adalah hal yang wajar dalam menafsirkan al-Qur’an. Keterbatasan
kemampuan manusia ditambah dengan perbedaan metode yang digunakan menjadi salah
satu penyebab perbedaan ini. Hal terpenting yang harus diperhatikan bagaimana
seseorang yang ingin memahami al-Qur’an bisa objektif dalam menilai perbedaan
ini dan berusaha mencari pendapat yang paling kuat.
Adapun beberapa kaidah tarjih
tersebut antara lain:
1)
Qira’ah
mutawatir lebih didahulukan daripada makna
qira’ah syadz. Apabila terdapat perbedaan penafsiran karena disebabkan oleh
perbedaan qira’at, seorang mufassir harus mendahulukan makna yang dikandung
qira’at mutawatir daripada makna yang dikandung qira’at syadz, sebab dari segi
kualitas qira’at mutawatir dianggap lebih kuat. Hanya saja, sebagian mufassir
mengabaikan kaidah ini, mereka mengutamakan qira’ah syadz dalam penafsiran. Sebagai
contoh, firman Allah:
إِنَّ الصَّفَا
وَالْمَرْوَةَ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ فَمَنْ حَجَّ الْبَيْتَ أَوِ اعْتَمَرَ
فَلَا جُنَاحَ عَلَيْهِ أَنْ يَطَّوَّفَ بِهِمَا وَمَنْ تَطَوَّعَ خَيْرًا فَإِنَّ
اللَّهَ شَاكِرٌ عَلِيمٌ (158)
Artinya: Sesungguhnya Shafaa dan Marwa adalah sebahagian dari
syi’ar Allah. Maka Barangsiapa yang beribadah haji ke Baitullah atau
ber-‘umrah, Maka tidak ada dosa baginya mengerjakan sa’i antara keduanya. dan
Barangsiapa yang mengerjakan suatu kebajikan dengan kerelaan hati, Maka
Sesungguhnya Allah Maha Mensyukuri kebaikan lagi Maha mengetahui.
Sebagian ulama
berpendapat bahwa sa’i dari safa ke marwa hukumnya sunnah. Mereka berlandaskan
pada qira’at syadz: …فلا جناح عليه أن يطوف
بهما… Penafsiran seperti ini bertentangan
dengan pendapat jumhur ulama bahwa sa’i merupakan rukun haji yang tidak boleh
ditinggalkan, berpedoman pada makna qira’at mutawatir.[15]
2)
Penafsiran
dan penjelasan i’rab yang sesuai dengan rasm utsmani lebih utama
dibandingkan penafsiran yang berbeda dengan rasm utsmani. Apabila
terjadi perbedaan antara mufassir mengenai tafsiran suatu ayat atau
penjelasan makna kosakata, atau penjelasan i’rab, maka penafsiran dan i’rab
yang sesuai dengan rasm utsmani yang harus dipegangi. Kesalahan penafsiran
menurut penelitian Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub seringkali disebabkan oleh
karena tidak diperhatikannya kaidah ini. Sebagai contoh perbedaan muffasir
dalam memahami makna ayat: سنقرئك فلا تنسى… ; ulama berbeda pendapat tentang i’rab ka. Menurut jumhur, ka
dalam ayat ini adalah la nahiyah, sedangkan alif disini berfungsi sebagai
pembatas. [16]
Dalam kasus seperti ini, seyogyanya seorang mufassir harus mengambil
pendapat yang kuat, bukan sebaliknya.
3)
Mensinkronisasikan
makna suatu kalimat dengan kalimat sebelum dan sesudahnya. Apabila terjadi
perbedaan penafsiran tentang suatu ayat, sebagian dari mufassir menafsirkan
ayat tersebut dengan menghubungkannya dengan ayat sebelum dan sesudahnya.
Sedangkan sebagian yang lainnya menafsirkan ayat tersebut dengan membawa makna
ayat tersebut keluar dari ikatan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya atau
menjadikannya berdiri sendiri (mu’taridhah). Apabila terjadi demikian, maka
menghubungkan ayat bersangkutan dengan ayat-ayat sebelum dan sesudahnya
merupakan tindakan terbaik, terkecuali ada bukti yang menunjukkan sebaliknya,
seperti adanya penafsiran Nabi yang dapat diterima atau adanya ijma‘
para mufassir. Sebagai contoh, penafsiran surah al-An’am ayat 91:
وَمَا
قَدَرُوا اللَّهَ حَقَّ قَدْرِهِ إِذْ قَالُوا مَا أَنْزَلَ اللَّهُ عَلَى بَشَرٍ
مِنْ شَيْءٍ قُلْ مَنْ أَنْزَلَ الْكِتَابَ الَّذِي جَاءَ بِهِ مُوسَى نُورًا
وَهُدًى لِلنَّاسِ تَجْعَلُونَهُ قَرَاطِيسَ تُبْدُونَهَا وَتُخْفُونَ كَثِيرًا
وَعُلِّمْتُمْ مَا لَمْ تَعْلَمُوا أَنْتُمْ وَلَا آبَاؤُكُمْ قُلِ اللَّهُ ثُمَّ
ذَرْهُمْ فِي خَوْضِهِمْ يَلْعَبُونَ (91)
Artinya: Dan mereka tidak
menghormati Allah dengan penghormatan yang semestinya, di kala mereka berkata:
“Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada manusia”.(QS.al-An’am[6]: 91)
Para Mufassir
berbeda pendapat tentang tafsir ayat diatas. Sebagian berpendapat bahwa orang
yang dijelaskan dalam ayat tersebut adalah seorang laki-laki dari kalangan
Yahudi, dan mereka juga berbeda pendapat mengenai namanya, ada yang mengatakan
Malik bin al-Saif dan sebagian lagi Finhas al-Yahudi. Pendapat kedua menyatakan
bahwa ayat tersebut berkaitan dengan permintaan sekelompok orang Yahudi yang
meminta Nabi untuk mendatangkan ayat-ayat, sebagaimana ayat-ayat Musa. Kemudian
pendapat ketiga, menyatakan bahwa ayat tersebut berkaitan dengan sekelompok
orang Quraisy yang mengatakan: “Allah tidak menurunkan sesuatupun kepada umat
manusia”. Pendapat ketiga inilah yang paling kuat dan bias diterima, sebagaimana
dikuatkan oleh ath-Thabari.
4)
Apabila
terjadi perbedaan penafsiran disebabkan oleh perbedaan asbab al-nuzul
yang digunakan, maka penafsiran yang sesuai dengan asbab al-nuzul yang
shahih dianggap lebih kuat. Sebagai contoh, penafsiran surah al-Baqarah ayat
189:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْأَهِلَّةِ قُلْ هِيَ مَوَاقِيتُ لِلنَّاسِ
وَالْحَجِّ وَلَيْسَ الْبِرُّ بِأَنْ تَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ ظُهُورِهَا
وَلَكِنَّ الْبِرَّ مَنِ اتَّقَى وَأْتُوا الْبُيُوتَ مِنْ أَبْوَابِهَا
وَاتَّقُوا اللَّهَ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ (189)
Artinya: Mereka bertanya kepadamu
tentang bulan sabit. Katakanlah: “Bulan sabit itu adalah tanda-tanda waktu bagi
manusia dan (bagi ibadat) haji; dan bukanlah kebajikan memasuki rumah-rumah
dari belakangnya, akan tetapi kebajikan itu ialah kebajikan orang yang
bertakwa. dan masuklah ke rumah-rumah itu dari pintu-pintunya; dan bertakwalah
kepada Allah agar kamu beruntung. (QS.al-Baqarah: 189)
Ulama berbeda
pendapat mengenai makna al-buyut. Sebagian berpendapat memaknainya
dengan “rumah“, dan perintah memasukinya dari belakang; sebagian lagi memaknai al-buyut
dengan “perempuan“ dan perintah mendatanginya dari “depan“ bukan dari
“belakang“; dan pendapat terakhir ulama memaknai kalimat tersebut dengan maksud
untuk menanyakan tentang sesuatu ilmu kepada orang bodoh, tetapi bukan pada
para ulama.Pendapat yang paling kuat adalah yang pertama, berdasarkan asbab
al-nuzul ayat tersebut. Diriwayatkan dari al-Barra‘ bin ‘Azib, ia
berkata: orang-orang Anshar apabila kembali dari menunaikan haji, mereka
mempunyai tradisi memasuki rumah dari belakang, kemudian ada seseorang yang
masuk rumah lewat pintu depan. Kemudian turun ayat tersebut.[17]
5)
Apabila
penafsiran suatu ayat didukung oleh adanya ayat yang lain yang berhubungan
dengan ayat tersebut, akan lebih kuat daripada pendapat yang tidak memiliki
landasan.
6)
Apabila
terjadi perbedaan antara makna terminologi dengan makna etimologi dalam
menafsirkan kalamullah, maka didahulukan makna terminologi.
b.
Berpaling
dari metode salaf al-shalih
Menurut Thahir Mahmud Muhammad Ya’qub, yang termasuk kategori salaf
al-shalih adalah generasi shahabat, pembesar tabi’in, imam-imam besar yang
adil, diakui umat atas keilmuan dan ketakwaan mereka, memiliki posisi yang
tinggi, dan perkataan mereka diterima baik dari kalangan salaf maupun khalaf.
Diantaranya Imam al-Arba’ah, Sofyan al-Tsauri, Lais bin Sa’ad, Abdullah bin Mubarak,
dan para imam hadits.
Ayat al-Qur’an banyak memerintahkan umat Islam untuk senantiasa
berpegang pada pendapat salaf al-shalih karena ketinggian derajat dan
ketakwaan mereka. Diantaranya surah al-Taubah ayat 100, Allah berfirman:
وَالسَّابِقُونَ
الْأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالْأَنْصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُمْ
بِإِحْسَانٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ
تَجْرِي تَحْتَهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ
الْعَظِيمُ (100)
Artinya:
orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) dari golongan
muhajirin dan anshar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah
ridha kepada mereka dan merekapun ridha kepada Allah dan Allah menyediakan bagi
mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya selama-lamanya.
mereka kekal di dalamnya. Itulah kemenangan yang besar. (QS.al-Taubah[9]: 100)
Menurut ayat tersebut, keridhaan
Allah kepada sahabat Nabi dan orang-orang yang mengikuti pendapat mereka,
menandakan pendapat mereka benar dan layak diikuti. Kalimat (ورضوا
عنه)
dipahami oleh Muhammad Ya’qub sebagai perintah. Lebih lanjut dia
menjelaskan, umat Islam wajib mengikuti segala hal yang diridhai Allah, dan
salah satu dari perbuatan yang diridhai Allah adalah mengikuti metode dan
ajaran shabat Nabi.
Di samping itu, Muhammad Ya’qub juga
menyebutkan kelebihan shahabat dan metode yang mereka gunakan. Dalam
menafsirkan al-Qur’an misalnya, shahabat senantiasa berpegang pada al-Qur’an
dan Sunnah serta mendahulukan keduanya dibandingkan akal. Mereka juga tidak
berusaha mentakwilkan nash. Makna ayat dikembalikan pada makna dasarnya yang
sahih. Kelebihan lainnya, sahabat terbebas dari pengaruh fanatisme madzhab serta
pengaruh filsafat, bid’ah dan persoalan ilmu kalam. Kapasitas sahabat sebagai
orang yang menguasai bahasa Arab dan mengetahui asbab al-nuzul menambah kuat
penafsiran mereka.
c.
Tidak
paham dengan kaidah bahasa Arab
Al-Qur’an diturunkan dengan bahasa
Arab, suatu bahasa yang memiliki keistimewaan dar segi tata bahasa dan
kandungan maknanya, sebagaimana ditegaskan oleh al-Qur’an sendiri:
إِنَّا أَنْزَلْنَاهُ قُرْآنًا عَرَبِيًّا لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ
(2)
Artinya: Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Al Quran dengan
berbahasa Arab, agar kamu memahaminya. (QS.Yusuf : 2)
Diakui atau tidak, untuk sampai
kepada pemahaman yang benar, seorang mufassir harus mengetahui dan memahami
kaidah bahasa Arab. Ketidaktahuan dengan kaidah kebahasaan akan melahirkan kesalahan
pemahaman.
d.
Mengabaikan
maksud turunnya al-Qur’an dan tujuan asli.
Al-Qur’an
diturunkan untuk memberikan petunjuk kepada umat manusia, memberikan
cahayakepada pikiran mereka, mendidik jiwa dan akal mereka. Di waktu yang sama
al-Qur’an memberikan solusi yang benar atas segala persoalan yang berhubungan
dengan kehidupan manusia. Untuk sampai pada pemahaman yang benar, maka
mengetahui maksud dan tujuan diturunkannya al-Qur’an adalah syarat terpenting
yang harus dimiliki mufassir ketika ingin menafsirkan al-Qur’an
A.
Macam-macam
penyimpangan dalam tafsir dan contohnya.
1.
Penyimpangan
dalam Tafsir Histori[18]
Penyimpangan dalam tafsir historis lebih jelas lagi ketika tafsir
itu dimasuki Israiliyat, yakni legenda–legenda Yahudi dan Nasruni yang masuk ke
dalam tafsir. Lebih parah lagi ketika Israiliyat yang dimasukkan ke dalam
tafsir masuk dalam kategori maudhu’ (palsu). Menurut Adz-Dzahabi, tafsir
Al-Khazin banyak dipenuhi Israiliyat jenis itu, kitab tafsir lain semacam
tafsir Ibnu Katsir, Tafsir Ath-Thabari, Tafsir Muqatil bin Sulaiman, Ruh Al-
Ma’ani, dan Al-Manar pun diduga kuat memuat pula riwayat-riwayat Israiliyat.
Eksistensi Israiliyat dalam tafsir Historis tidak saja merupakan
penyimpangan, lebih jauh lagi ia, menurut Muhammad Syaltut,telah menjauhkan umat
islam dari mutiara-mutiara Al-Qur’an. Umpamanya, ketika menjelaskan kisah
penyembelihan sapi (Baqarah) oleh Bani Israil, para sejarawan terlena degnan
cerits-cerita Israiliyat samoai lupa akan pesan moral yang ada di balik kusah
tersebut.
2.
Penyimpangan
dalam Tafsir Teologi[19]
Untuk mempertahankan doktrin “ketidakmungkinan” Allah dapat dilihat
di akhirat kelak, Zamaksyari (tokoh besar Mu’tazilah) ”terpaksa” harus
melakukan takwil terhadap ayat yang jelas-jelas bertentangan dengan doktrin
Mu’tazilah. Hasan Al-Asykari, tokoh Syi’ah, mengarahkan penafsiran terhadap
surat Al-Baqarah : 163 untuk menjustifikasikan doktrin “taqqiyah”. Aliran
Khawarij pun tidak ketinggalan menjadikan Al-Qur’an surat Al-Maidah :44 untik
mempertahankan doktrinnya bahwa “orang yang fasik adlah kafir”. Ayat-ayat lain
disimpangkan oleh kelompok Jabbariyah untuk mempertahankan doktrin
“determinismenya”. Begitulah selanjutnya, masing-masing aliran teologi
mempunyai andil dalam melakukan penyimpangan-penyimpangan.
3.
Penyimpangan
dalam Tafsir Sufi
Para sufi terlalu “memaksakan” ayat-ayat Al-Qur’an untuk
diseleraskan dengan doktrin-doktrin tasawuf. Ibnu Arabi, sebagaimana pula Abu
Yazid Al-Bustami dan Al-Hallaj, cenderung menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an untuk
menjustifikasi doktrin “wihdatul wujud” (kesatuan eksistensi). Itulah sebabnya,
ketiika menafsirkan ayat 67 dari surat Al-Baqarah , Ibnu Arabi mengatakan bahwa
“anak sapi yang disembelih oleh Bani Israil merupakan salah satu manifestasi
Allah dan sekaligus dijadikan sebagai tempat bagi-Nya”. Lebih parah lagi ketika
menafsirkan ayat 163 surat Al-Baqarah, ia menjelaskan bahwa orang-orang yang
menyembah benda selain Allah dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya, sama
dengan menymbah Allah juga.
4.
Penyimpangan
dalam Tafsir Linguistik
Kenyataan yang tidak dapat dibantah adalah Al-Qur’an diturunkan
dengan menggunakan bahasa arab. Akibatnya, memahami salah satu aspek-aspek
bahasa Arab memegang peranan penting termasuk pemahaman tentang pola
pembentukan kata dan konjungsi (tashrif)nya, untuk menafsirkan Al-Qur’an. Akan
tetapi, pada kenyataannya, ada kelompok orang yang berbicara dan menulis tafsir
tanpa berbekalkan pengetahuan bahasa yang memadai. Oleh karena itu, mereka
cenderung melakukan penyimpangan dalam tafsir Linguistik yang disebabkan oleh
ketidakfahaman terhadap konjungsi, sebagaimana dikutip dalam tafsir Al-Kasysyaf
adalah penafsiran terhadap ayat 71 dan 17. Untuk itu, Zamaksyari berkata,
“merupakan penyimpangan penafsiran yang paling besar ketika kata “imam”
dianggap sebagai pembentuk dari kata “umm”yang berarti “ibu”. Padahal
yang benar, bentuk jamak dari kata “umm” itu bukan “imam”
melainkan “ummahat.”
5.
Penyimpangan
dalam Tafsir Ilmi
Klaim penulis Tafsir Ilmi bahwa Al-Qur’an mencakup segala sesuatu,
tidak dapat disalahkan. Setidak-tidaknya klaim mereka didukung oleh Al-Qur’an
Surat Al-An’amayat 38. Akan tetapi, mereka keliru ketika memperlakukan
Al-Qur’an pada buku ilmu pengetahuan, sehingga setiap penemuan ilmu pengetahuan
mereka cocok-cocokkan dengan istilah-istilah Al-Qur’an, kendatipun harus
melakukan penyimpangan-penyimpangan makna. Betul, surat Al-An’am ayat 38
menyatakan bahwa tak sesuatu pun juga Allah tinggalkan dalam Al-Qur’an, tetapi
yang dimaksud oleh ayat itu, adalah bahwa Al-Qur’an berisi prinsip-prinsip umum
mengenai segala sesuatu. Dan mengenai perinciannya, manusia diberi otoritas
untuk mengembangkankannya.
6.
Penyimpangan
dalam Tafsir Modern
Modernisasi dalam Islam merupakan satu keharusan bila islam tidak
ingin dikatakan sebagai agama yang out of date. Akan tetapi modernisasi itu
harus dilakukan dengan prosedur yang tepat dan proporsional. Ketika Al-Qur’an
hanya dijadikan justifikasi bagi isu-isu modern yang nota bene muncul dari luar
islam, di sana terdapat penyimpangan-penyimpangan dalam tafsir modernisasi.
Umpamanya, para para pembaharu “terpaksa meniadakan kewajiban hukum potong
tangan bagi tindakan kriminal pencurian yang jelas-jelas ada ketentuannya dalam
Al-Qur’an.
Beberapa contoh penyimpangan dalam tafsir al-Qur’an:
a.
Penafsiran
oleh Ibn ‘Arabi dalam surat Al-Muzammil 73: 8, sebagai berikut:
وَاذْكُرِ اسْمَ رَبِّكَ وَتَبَتَّلْ إِلَيْهِ تَبْتِيلًا (8)
Artinya: “Sebutlah nama Tuhanmu, dan beribadatlah kepada-Nya
dengan penuh ketekunan”. QS. Al-Muzammil:8
Untuk mendukung faham “wahdah
al-wujud”, Ibn ‘Arabi menafsirkan ayat tersebut demikian: “Sebutlah nama
Tuhanmu, yaitu kamu sendiri, artinya kenalilah dirimu sendiri dan jangan
melupakannya agar Allah tetap berada dalam dirimu”.[20]
b.
Penafsiran
dari para Kaum Khawarij yang terdapat dalam beberapa surat, antara lain: Surat
Al-Maidah: 44
وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ
الْكَافِرُونَ (44)
Artinya: “Barangsiapa yang tidak menghukumi dengan hukuman yang
diberikan Allah maka mereka adalah orang-orang kafir”. QS. Al-Maidah: 44
Berdasarkan ayat tersebut di atas
mereka mengatakan bahwa setiap orang yang melakukan dosa berarti telah
mengambil keputusan hukum dengan hukum selain daripada yang diturunkan Allah.
Di samping itu mereka juga menggunakan
firman Allah dalam surat at-Taghabun: 2 sebagai landasan::
هُوَ
الَّذِي خَلَقَكُمْ فَمِنْكُمْ كَافِرٌ وَمِنْكُمْ مُؤْمِنٌ وَاللَّهُ بِمَا
تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ (2)
Artinya: “Dialah (Allah) yang menciptakan kamu semua; di antara
kamu ada yang kafir (ingkar) dan ada yang mukmin (beriman)”. QS.
at-Taghabun:2
Menurut mereka ayat ini merupakan
ketetapan bahwa orang yang tidak beriman berarti kafir; sedangkan orang yang
fasiq juga bukan mukmin karena itu dia pun kafir.[21]
PENUTUP
Keotentikan
al-Qur’an sudah Allah jamin hingga hari akhir. Ada beberapa sebab mengapa
penyimpangan tersebut terjadi, di antaranya: Mufassir tidak teliti dalam
memahami teks ayat dan dalalah-nya,
menundukkan Nash al-Qur’an untuk kepentingan hawa nafsu, politik,
fanatisme madzhab, dan bid’ah, mengabaikan sebagian syarat-syarat mufassir, mengabaikan
maksud turunnya al-Qur’an dan tujuan asli. Ada beberapa macam penyimpangan
dalam al-Quran: penyimpangan dalam tafsir historis, linguistik, sufi, tafsir ilmi,
tafsir modern dan tafsir teologi.
[1] QS. Al- Hijr:9
[2] Munzir Hitami,
Pengantar Studi Al-Quran, PT. LkiS Yogyakarta, 2012, h. 37
[3] Muhammad
Husain al-Dzahabi, al Tafsir wa al-Mufassirun, Dar al-Kutub al-Haditsah,
1976, h. 13-18
[4]
Dr. Yusran
Razak, MA, Sosiologi Sebuah Pengantar, tinjauan pemikiran sosiologi
perspektif Islam, (UIN Syarif Hidayatullah Jakarta: Laboratorium Sosiologi
Agama) hlm. 204
[5] Quraisy
Shihab, Membumikan Al-Qur’an: Fungsi dan Peran Wahyu dalam Kehidupan
Masyarakat, , Penerbit Mizan, Cetakan 13, Rajab 1417/November 1996)
[6] Ali Hasan
al-Aridl, Tarikh Ilm Tafsir wa Manahij al-Mufassirin, pent Ahmad Arkom,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1994) h. 23
[7] Didin Saefudin
Bukhori, Pedoman Memahami kandungan Al-Qur’an h.190
[8] M.Quraish
Shihab, Membumikan al-Qur’an, (Bandung: Mizan, 1994), cet.xxv, hlm.79.
Lihat juga Muhammad Husein al-Dzahabi, al-Tafsir wa al-Mufassirun…….Op.Cit,
hlm.58
[9] Thahir Mahmud
Muhammad Ya’qub, Asbab al-Khata‘ fi al-Tafsir: Dirasatu wa Tashiliyyatu,
h.85
[10] Thahir Mahmud
Muhammad Ya’qub, Op.Cit , Juz 2, hlm.415
[11] Ibid, h. 594
[12] Ibid,
h. 621
[13] Thahir Mahmud
Muhammad Ya’qub,h. 915
[14] Ibid,
h. 923
[15] Ibid,
hlm 924
[16] Ibid,
hlm.929
[17] Thahir Mahmud
Muhammad Ya’qub, Op.Cit , Juz 2, h.932-933
[18] Rosihon
Anwar, Pengantar Ulumul Quran. Pustaka setia, Bandung, 2009. h,
196
[19] Ibid,
h, 196
[20] Ahmad Musthofa
Hadna, Problematika Menafsirkan Al-Qur’an Semarang: Dina
Utama, 1993 , h. 51
[21] Muhammad
Husein Adz-Dzahabi, Penyimpangan-penyimpangan Dalam Penafsiran
Al-Qur’an(Jakarta: CV. Rajawali, 1986), h. 80