Selasa, 29 Agustus 2017

Sebuah Renungan..... KERETA KEHIDUPAN

...

Hidup bagaikan sebuah perjalanan menaiki kereta...
Dengan stasiun-stasiun pemberhentiannya...
dengan perubahan-perubahan rute perjalanan...
dan dengan peristiwa-peristiwa yg menyertainya…

Kita mulai menaiki kereta ini ketika kita lahir ke dunia,  orangtua kita yg memesankan tiket untuk kita...
Kita menduga bahwa mereka akan selalu bersama kita didalam kereta...
Namun, di suatu stasiun, orang tua kita akan turun dari kereta dan meninggalkan kita sendirian dalam perjalanan ini...

Waktu berlalu, dan  penumpang lain akan menaiki kereta ini...
Banyak di antara mereka akan menjadi orang yg berarti dalam hidup kita
Pasangan kita, teman-teman, anak-anak, dan orang-orang  yang kita sayangi...
Banyak diantara mereka yg akan turun dari kereta selama perjalanan ini...
Dan meninggalkan ruang kosong dalam hidup kita...
Banyak diantara mereka yg pergi tanpa kita sadari
Bahkan, kita tak tahu dimana mereka duduk dan kapan mereka meninggalkan kereta...

Perjalanan kereta ini penuh dengan suka, duka, impian dam harapan
ucapan "hallo", "selamat tinggal", cinta dan  airmata...
Perjalanan yg indah akan diwarnai dengan saling menolong, saling mengasihi dan hubungan baik dengan seluruh penumpang kereta...
Dan memastikan bahwa kita memberi yg terbaik agar perjalanan mereka nyaman...
Satu misteri dalam perjalanan yg mempesona ini adalah,
kita tak tahu di stasiun mana kita akan turun...

Maka kita harus hidup dengan cara yg terbaik,
menyesuaikan diri, memaafkan dan melupakan kesalahan orang lain,
dan  memberikan yg terbaik yg kita miliki...!
Sangatlah penting untuk melakukan ini,
Sebab, bila tiba saatnya bagi kita untuk meninggalkan kereta..
kita harus meninggalkan kenangan indah bagi mereka yg meneruskan perjalanan di dalam kereta kehidupan ini...

Terimakasih sahabat telah menjadi salah satu penumpang istimewa di dalam kereta kehidupanku...
Aku tak tahu kapan aku akan tiba di stasiunku...

Selamat menempuh perjalanan hidup bermakna..,

ISTIDRAJ


Dalam kehidupan kita Allah memberi kesenangan dan kenikmatan. Kesenangan dan kenikmatan dari Allah bisa berupa karunia (anugerah), ujian dan istidraj. Karunia sering diidentikkan dengan kesenangan sementara ujian sering diidentikkan dengan musibah. Kesenangan yang menjadi musibah itulah yang dinamakan dengan istidraj.
Istidraj adalah kenikmatan yang diberikan Allah SWT tanpa melalui keimanan dan syariat yang di kerjakan. Allah memberi nikmat berupa rizki yang melimpah, kesenangan hidup, kesehatan yang terus menerus, panjang umur dan sebagainya. Namun dengan nikmat tersebut menjadikan manusia semakin jauh dengan Allah SWT, maka bisa jadi itulah Istidraj yang akan semakin mendekatkan manusia dengan azab-Nya. Atau ketika manusia lupa kepada Allah dan tidak mengindahkan peringatan-Nya, maka bisa saja Allah membukakan pintu istidraj, yaitu pintu nikmat yang banyak, sehingga manusia lupa diri dan sombong.
Perkataan istidraj terdapat  dalam Al-Quran yaitu dalam surat al-A'raf ayat 182: 
وَالَّذِينَ كَذَّبُوا بِآيَاتِنَا سَنَسْتَدْرِجُهُمْ مِنْ حَيْثُ لَا يَعْلَمُونَ (182)
Artinya: "Mereka yang tidak membenarkan ayat-ayat Kami, nanti Kami lakukan istidraj terhadap mereka dari pihak yang mereka tidak mengetahui." (QS. Al-A'raf : 182).
Perkataan istidraj itu menjadi pembahasan mendalam oleh para ulama tauhid, tafsir, tasawuf dan sebagainya sehingga menimbulkan berbagai ta'rif dan definisi.
Menurut Al-Jurjani, Istidraj ialah seseorang yang diperkenankan Allah keperluannya    dari  waktu ke waktu  sampai akhir  hayatnya  untuk nanti  diganti  dengan bala  dan  azab di   dunia.  Seorang  yang  jauh  dari rahmat   Allah dan dekat dengan azab secara berangsur-angsur  sedikit demi sedikit. Raghib  Ashfahani  ahli  bahasa  Al-Quran  dalam  membahas  kata  dalam  ayat   itu mengemukakan  beberapa   pendapat  orang   pula, dalam   bentuk:   “Kami   (Allah)   akan lipat  mereka  sebagai   halnya   melipat   kitab. Kami   akan   siksa   mereka   setingkat   demi setingkat, demikian  berupa  merendahkan   mereka   dalam   sesuatu    sedikit    demi    sedikit, bagaikan tangga dalam naik dan turun”. Ahli tafsir yang terkenal Ibnu Katsir lebih maju lagi dengan menggambarkan bentuk kehidupan orang yang istidraj itu akan berlaku padanya, yaitu Allah bukakan berbagai-bagai pintu rezeki dan berbagai sumber penghidupan (kedudukan, jabatan, kehormatan) sampai mereka terperdaya olehnya dan beranggapan bahwa diri mereka di atas segala-galanya." [1]
Menurut Imam Ahmad (Hambali), dalam suatu hadist yang berasal dari Uqbah bin Amir, Nabi Muhammad SAW bersabda:
إِذَا رَأَيْتَ اللَّهَ تَعَالى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنْهُ اسْتِدْرَاجٌ
Artinya: “Apabila Anda melihat Allah memberikan kenikmatan dunia kepada seorang hamba, sementara dia masih bergelimang dengan maksiat, maka itu hakikatnya adalah istidraj dari Allah."[2]
CIRI-CIRI  ISTIDRAJ
Di antara ciri-ciri Istidraj adalah:
1.      Ibadah Kita Semakin Turun, Namun Kesenangan Makin Melimpah
Ibnu Athaillah berkata : “Hendaklah engkau takut jika selalu mendapat karunia Allah, sementara engkau tetap dalam perbuatan maksiat kepada-Nya, jangan sampai karunia itu semata-mata istidraj oleh Allah"
2.      Kita Melakukan Maksiat, Tapi Malah Makin Banyak Kesenangan
Ali Bin Abi Thalib r.a. berkata : “Hai anak Adam ingat dan waspadalah bila kau lihat Tuhanmu terus menerus melimpahkan nikmat atas dirimu sementara engkau terus-menerus melakukan maksiat kepadaNya" [3]
3.      Semakin Kita Kikir, Namun Harta Semakin Banyak
Mengeluarkan harta untuk shadaqah dapat membuat harta kita semakin banyak. Ketika kita dihinggapi sifat kikir, tak pernah zakat, infak, shadaqah ataupun mengulurkan tangan membantu orang lain namun justru harta semakin melimpah ruah, itulah menjadi salah satu ciri istidraj.
4.      Jarang Sakit
Imam Syafi’I pernah mengatakan:”Setiap orang pasti pernah mengalami sakit suatu ketika dalam hidupnya, jika engkau tidak pernah sakit maka tengoklah ke belakang mungkin ada yang salah dengan dirimu.” Sebagaimana diceritakan pula bahwa Firaun adalah orang yang tidak pernah merasakan sakit, bahkan bersin pun dia tidak pernah dan itulah yang membawa dia semakin bersombong diri.
5.      Semakin Sombong Namun Harta Semakin Melimpah
Orang yang mengalami istidraj cirinya semakiin ia sombong maka semakin kaya dan terbuka dunia bagi dirinya. Rasululah s.a.w. bersabda : “Di antara tanda-tanda kesengsaraan adalah mata yang beku, hati yang kejam, dan terlalu memburu kesenangan dunia serta orang yang terus-menerus melakukan perbuatan dosa”. (HR. Al Hakim).
Wallahua’lam....



[1] Lih.  Tafsir Ibnu Katsir, jilid 3 hal 258

[2] HR. Ahmad, no.17349, Thabrani dalam Al-Kabir, no.913, dan disahihkan Al-Albani dalam As-Shahihah, no. 414
[3] Lihat Mutiara Nahjul Balaghoh Hal 121

HIKMAH QURBAN



Setiap perintah dan larangan dari Allah selalu memberikan kebaikan dan hikmah bagi hamba Nya. Hanya saja kita  kadang belum mampu menemukan dan mendapatinya. Perintah sholat, puasa, zakat, haji, shadaqah, menikah, bersuci, dan lain-lain mempunyai hikmah dan manfaat yang luar biasa dalam kehidupan manusia di dunia dan akhirat. Demikian juga dengan larangan-larangan Allah mempunyai hikmah yang luar biasa, seperti larangan berzina, mabuk-mabukan, judi, mencuri, membunuh dan lain sebagainya.
 Termasuk dalam hal perintah menjalankan qurban. Ibadah qurban sudah Allah syariatkan sejak Nabi Adam as, kemudian Nabi Ibrahim as dan disempurnakan oleh Nabi Muhammad SAW. Qurban adalah salah satu bentuk keshalehan dan kepedulian sosial umat Islam. Qurban bukan untuk bermegah-magah dengan menyembelih sapi atau kambing, tapi ibadah  qurban adalah lembang ketaqwaan hamba kepada Nya. Dalam surat al-Hajj: 37 Allah berfirman:
وَالْبُدْنَ جَعَلْنَاهَا لَكُمْ مِنْ شَعَائِرِ اللَّهِ لَكُمْ فِيهَا خَيْرٌ فَاذْكُرُوا اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهَا صَوَافَّ فَإِذَا وَجَبَتْ جُنُوبُهَا فَكُلُوا مِنْهَا وَأَطْعِمُوا الْقَانِعَ وَالْمُعْتَرَّ كَذَلِكَ سَخَّرْنَاهَا لَكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (36) لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَى مِنْكُمْ كَذَلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ (37)
Artinya: “Dan unta-unta itu Kami jadikan untukmu bagian dari syiar agama Allah, kamu banyak memperoleh kebaikan daripadanya. Maka sebutlah nama Allah (ketika kamu menyembelihnya) dalam keadaan berdiri dan (kaki-kaki telah terikat). Kemudian apabila telah rebah (mati), maka makanlah sebagiannya dan berilah makan orang yang merasa cukup dengan apa yang ada padanya(tidak memninta-minta) dan orang yang meminta. Demikianlah kami tundukkan (unta-unta) untukmu, agar kamu bersyukur. Daging (hewan qurban) dan darahnya sekali-kali tidak akan sampai kepada Allah, tetapi yang sampai kepada Nya adalah ketaqwaan kamu. Demikianlah Dia menundukkannya kepadamu agar kamu mengagungkan Allah atas petunjuk yang Dia berikan kepadamu. Dan sampaikanlah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”. (QS. Al- Hajj: 36-37)

 Ayat di atas mengandung pengertian:
1.      Menyembelih hewan qurban (unta, sapi atau kambing) dengan menyebut nama Allah dan kakinya dalam keadaan terikat.
2.      Sebagian daging qurban untuk shahibul qurban dan sebagiannya lagi untuk dibagi-bagikan kepada orang yang mampu dan fakir miskin
3.      Bukan daging dan darah qurban itu yang akan sampai kepada Allah, tetapi ketaqwaan hamba Nya yang menentukan kualitas qurbannya.
4.      Hewan ternak  yang diqurbankan adalah karena kehendak  Allah yang telah menundukkanya untuk disembelih oleh manusia.
Di antara hikmah yang dapat kita jadikan pelajaran dalm syariat qurban, adalah:
1.    Keikhlasan dan ketulusan.
Yang sangat mengagumkan dari peristiwa sejarah qurban Nabi Ibrahim adalah keikhlasan dan ketulusan dalam menjalankan perintah Allah tanpa ada rasa berat hati, beban, ataupun ketidaktulusan dalam menjalankan perintah Allah
Kita bisa membayangkan betapa berat hati seorang ayah yang menanti kehadiran buah hati bertahun-tahun lamanya. Ketika anak itu hadir dan beranjak remaja, Allah memerintahkan untuk disembelih.
Manusiawi Nabi Ibrahim merasa berat ketika mendapatkan perintah dari Allah untuk menyembelih anaknya, yaitu nabi Ismail. Tapi kecintaan, keimanan dan ketaatan Nabi Ibrahim kepada Allah jauh lebih besar daripada kecintaan terhadap anak, istri, harta, bahkan dunia dan seisinya, menjadikan perintah yang terasa berat tersebut terasa ringan, juga di sisi lain Nabi Ibrahim yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan mereka dan Allah akan memberikan yang terbaik untuk mereka.
2.     Kesabaran
            Perintah untuk menyembelih Ismail merupakan suatu peristiwa luar biasa yang membutuhkan tingkat kesabaran yang luar biasa.  Kesabaran yang luar biasa ini  bukan hanya dimiliki oleh Nabi Ibrahim saja, tetapi dimiliki oleh seluruh keluarga, baik anaknya sebagai orang yang menjadi qurban, ataupun istrinya sebagai seorang ibu yang telah melahirkan anak yang akan diqurbankan.
3.     Ketaatan
            Qurban adalah lambang keluarga yang utuh dalam ketaatan kepada Allah. Nabi Ibrahim lambang imam yang sholeh dalam keluarga mau mengurbankan anak yang sangat dicintai dan dinanti-nantikan kehadirannya ke muka bumi karena ketaatannya kepada Allah. Nabi Ibrahim lebih memilih ketaatannya kepada Allah daripada dunia dan seisinya.
Nabi Ismail potret anak sholeh yang tidak pernah melawan orang tua. Ketika Nabi Ibrahim menyampaikan perintah Allah dalam mimpinya untuk menyembelih Ismail, anak yang sholeh ini menjawab: “Jika itu perintah Allah laksanakanlah wahai ayahku. Sesungguhnya engkau akan mendapatiku bersama orang-orang yang sabar.”[1] Sabar dalam ketaatan.
Siti Hajar role model istri sholehah yang sangat taat kepada Allah dan suaminya. Bayangkan dengan bayi yang masih merah harus menjalani hidup seorang diri di tengah lembah yang tandus, tidak pernah mengeluh karena yakin Allah akan menolongnya. Ketika Ismail akan disembelihpun Siti Hajar tidak menahan dan menentangnya. Siti Hajar ikhlas karena ketaatannya kepada Rabb nya.
4.     Keimanan
            Ketaatan adalah buah dari keimanan, keimanan hadir dari keyakinan, dan keyakinan tumbuh karena adanya hujjah dan pembuktian. Keimanan keluarga Nabi Ibrahim merupakan keimanan yang didasarkan pada keyakinan yang dalam karena mereka telah melihat bukti nyata tentang eksistensi Tuhan yang diyakini dan diimaninya.
5.     Mewujudkan keshalehan sosial
Qurban adalah wujud rasa peduli dan empati kepada sesama. Jika menyambut hari Raya Idul Fitri rasa empati terhadap fakir miskin dengan pembagian zakat fitrah, maka di hari Raya Idul Adha rasa simpati dan empati terhadap sesama dengan pembagian daging qurban.
Keshalehan individu dengan melaksanakan ibadah-ibadah mahdhah yang bersifat individual dan manfaatnya pun dirasakan secara individu. Ibadah qurban adalah ibadah yang bisa dinikmati secara individu dan bisa juga dinikmati oleh semua orang.
Wallahua’lam...semoga bermanfaat



[1] Lihat QS. Ash-Shaffat ayat 102

SEJARAH QURBAN



Asal usul ibadah qurban dalam agama Islam secara umum dimulai sejak zaman Nabi Adam as. Yaitu peristiwa antara Habil dan Qabil yang diabadikan dalam al-Quran Surat al-Maidah: 27
وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ ابْنَيْ آدَمَ بِالْحَقِّ إِذْ قَرَّبَا قُرْبَانًا فَتُقُبِّلَ مِنْ أَحَدِهِمَا وَلَمْ يُتَقَبَّلْ مِنَ الْآخَرِ قَالَ لَأَقْتُلَنَّكَ قَالَ إِنَّمَا يَتَقَبَّلُ اللَّهُ مِنَ الْمُتَّقِينَ (27)
Artinya:”Dan ceritakanlah (Muhammad) yang sebenarnya kepada mereka tentang kisah kedua puta Adam, yang keduanya mempersembahkan qurban, maka (qurban) salah seorang dati mereka berdua (Habil) yang diterima dan dari yang lain (Qabil) tidak diterima.Dia (Qabil) berkata: sungguh aku pasti akan membunuhmu. Dia (Habil) berkata: Sesungguhnya Allah hanya menerima  (amal) dari orang tang bertaqwa (QS. Al-Maidah: 27)

Ibadah qurban  juga dikaitkan dengan peristiwa yang dialami oleh Nabi Ibrahim dan anaknya, Nabi Ismail. Peristiwa penyembelihan yang dilakukan Nabi Ibrahim terhadap anaknya dimulai dari mimpi Nabi Ibrahim as. Dalam mimpi tersebut Nabi Ibrahim as mendapat perintah dari Allah SWT untuk menyembelih anaknya. Kemudian Nabi Ibrahim as membawa Ismail ke suatu tempat yang sunyi. Sebelum penyembelihan dilaksanakan, Ismail mengajukan tiga syarat:
1.      Sebelum meneyembelih, hendaknya Nabi Ibrahim menajamkan pisaunya agar Ismail cepat mati dan tidak timbul rasa kasihan maupun penyesalan dari ayahnya.
2.      Ketika disembelih, muka Ismail harus ditutupi agar tidak timbul rasa ragu dalam hati ayahnya karena rasa kasihan melihat wajah anaknya.
3.      Bila penyembelihan telah selesai, agar pakaian Ismail dibawa ke hadapan ibunya, sebagai bukti bahwa qurban telah dilaksanakan.
Nabi Ibrahim as adalah seorang Nabi yang tidak diberi keturunan selama bertahun-tahun, sampai akhirnya Siti Sarah mengizinkan Nabi Ibrahim menikahi hamba sahaya mereka bernama Siti Hajar. Dengan izin Allah Siti Hajar mengandung dan melahirkan putra mereka yang diberi nama Ismail. Setelah Ismail lahir Siti Hajar dan Ismail dibawa oleh Nabi Ibrahim ke suatu tempat, lembah  yang tandus. Ibrahim berpesan kepada istrinya Siti Hajar supaya tidak meninggalkan tempat tersebut apapun yang terjadi sampai beliau (Nabi Ibrahim) kembali. Siti Hajar dengan air mata yang berlinang menjawab: Jika ini perintah Allah, baiklah. Allh pasti akan mencukupi kebutuhan kami.
Berbagai cobaan dialami oleh siti Hajar dan Ismail di lembah yang tandus itu. Tidak ada tempat meminta pertolongan kecuali hanya kepada Allah. Mulai dengan usaha mencari air bolak balik antara bukit safa dan marwah hingga muncul sumber mata air yang sekarang kita kenal dengan air zam-zam. Allah abadikan ketaatan siti Hajar berlari-lari kecil antara safa dan marwah sebagai salah satu rukun ibadah haji yaitu sa’i.
Firman Allah:
رَبَّنَا إِنِّي أَسْكَنْتُ مِنْ ذُرِّيَّتِي بِوَادٍ غَيْرِ ذِي زَرْعٍ عِنْدَ بَيْتِكَ الْمُحَرَّمِ رَبَّنَا لِيُقِيمُوا الصَّلَاةَ فَاجْعَلْ أَفْئِدَةً مِنَ النَّاسِ تَهْوِي إِلَيْهِمْ وَارْزُقْهُمْ مِنَ الثَّمَرَاتِ لَعَلَّهُمْ يَشْكُرُونَ (37)
Artinya: Ya Tuhan, sesungguhnya aku telah menempatkan sebagian keturunan di lembah yang tidak mempunyai tanam-tanaman di dekat rumah Engkau (Baitullah) yang dihormati. Ya Tuhan (yang demikian itu) agar mereka melaksanakan sholat, maka jadikanlah hati sebagian manusia cenderung kepada mereka dan berikanlah kepada mereka rezekidari buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur. (QS. Ibrhaim:37)

Ibrahim, Siti Hajar dan Ismail berkumpul kembali setelah beberapa waktu hingga kegembiraan Ibrahim terganggu oleh mimpinya yang menakutkan. Dalam mimpinya Nabi Ibrahim mendapat wahyu bahwa ia harus mengurbankan Nabi Ismail kepada Allah. Mimpi ini begitu mengusiknya, betapa tidak, sudah lama Nabi Ibrahim menantikan memiliki anak, begitu dikaruniani anak Nabi Ibrahim harus berpisah dengan Ismail selama 12 tahun, dan begitu Ismail berumur 13 tahun ada perintah untuk mengkurbankan anak satu-satunya itu.
Kisah ini diabadikan dalam Al-Quran secara jelas :
فَبَشَّرْنَاهُ بِغُلَامٍ حَلِيمٍ (101) فَلَمَّا بَلَغَ مَعَهُ السَّعْيَ قَالَ يَا بُنَيَّ إِنِّي أَرَى فِي الْمَنَامِ أَنِّي أَذْبَحُكَ فَانْظُرْ مَاذَا تَرَى قَالَ يَا أَبَتِ افْعَلْ مَا تُؤْمَرُ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّابِرِينَ (102) فَلَمَّا أَسْلَمَا وَتَلَّهُ لِلْجَبِينِ (103) وَنَادَيْنَاهُ أَنْ يَا إِبْرَاهِيمُ (104) قَدْ صَدَّقْتَ الرُّؤْيَا إِنَّا كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (105) إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ (106) وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ (107) وَتَرَكْنَا عَلَيْهِ فِي الْآخِرِينَ (108) سَلَامٌ عَلَى إِبْرَاهِيمَ (109) كَذَلِكَ نَجْزِي الْمُحْسِنِينَ (110) إِنَّهُ مِنْ عِبَادِنَا الْمُؤْمِنِينَ (111)
Artinya: “Maka kami eri kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak yang sangat sabar (Ismail). Maka ketika anak itu sampai (pada umur) sanggup berusaha bersamanya, (Ibrahim) berkata: Wahai anakku sesungguhnya aku bermimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!, Dia (Ismail) menjawab: Wahai ayahku lakukanlah apayang diperintahkan (Allah) kepadamu, insya Allah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang sabar. Maka ketika keduanya telah berserah diri dan dia (Ibrahim) membaringkan anaknya atas pelipisnya, (untuk melaksanakan perintah Allah). Lalu Kami panggil dia, wahai Ibrahim. Sungguh engkau telah membenarkan mimpi itu. Sungguh, demikianlah kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Dan Kami abadikan untuk (Ibrahim) di kalangan orang-orang yang datang kemudian. Selamat sejahtera bagi Ibrahim. Demikianlah Kami memberi balsan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sungguh dia termasuk hamba-hamba kami yang beriman. (QS. Ash-Shaffat: 101-111)

Setelah Nabi Muhammad SAW diangkat menjadi Rasulullah, perintah qurban  bersamaan dengan perintah melaksanakan shalat pada tahun pertama beliau di Madinah, Perintah  melaksanakan ibadah qurban itu dilakukan pada hari raya ‘Idul Adha dan hari-hari Tasyrik, Perintah qurban ada di dalam surat Al-Kautsar ayat 1-3:
إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ (1) فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ (2) إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ (3)
Artinya:“Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu  nikmat yang banyak, Maka dirikanlah sholat karena Tuhanmu, dan berqurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terputus”. (QS. Al-Kautsar:1-3)

Berbicara tentang kenikmatan, Allah mengingatkan:
وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ (7)
Artinya: “Dan jika kamu menghitung nikmat Allah, tiadalah dapat kamu mengitungnya” (QS:Ibrahim: 7).

Oleh karena itu berkaitan dengan ibadah qurban yang sudah ada sejak Nabi Adam as, Nabi Ibrahim as dan Nabi Muhammad SAW. Allah berfirman SWT: “Dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berqurbanlah”. Sholat merupakan hubungan vertikal dengan Allah untuk mensyukuri nikmat Allah. Hubungan antara sesama manusia secara horisontal diwujudkan bahwa setelah shalat Idul Adha yaitu dengan berqurban memotong hewan ternak berupa kambing atau sapi untuk dibagikan kepada fakir miskin. Qurban merupakan masalah ubudiyah yang bersifat sosial  (keshalehan sosial) yang berhubungan dengan sesama manusia. Wallahua’lam bish shawab