|
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Banyak aliran dan mazhab yang timbul
sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari timbulnya aliran berlatarbelakang
politik, yang kemudian aliran tersebut berevolusi dan memicu kemunculan aliran
bercorak akidah (teologi), hingga bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan
ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Jika dilihat dengan kaca mata positif, maka
beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat Islam
adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah
umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau
berfikir.
Namun dari semua aliran yang mewarnai
perkembangan umat Islam itu, tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya
konflik dan membawa kontroversi dalam umat, khususnya aliran yang bercorak atau
berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi. Satu diantara golongan/aliran
itu adalah Mu’tazilah.
|
Banyak yang
mengidentikkan Mu’tazilah dengan aliran sesat, cenderug merusak tatanan
agama Islam, dan dihukum telah keluar dari ajaran Islam. Namun juga tidak
sedikit yang menganggap Mu’tazilah sebagai main
icon kebangkitan
umat Islam di masa keemasannya, sehingga berfikiran bahwa umat Islam mesti
menghidupkan kembali ide-ide aliran ini untuk kembali bangkit. Itu adalah
sebagian dari sekian banyak fakta lapangan yang menunjukkan bahwa kelompok ini
memang tergolong kontroversial.
Agar tidak terjebak dalam kontroversi dan
kesalahpahaman tersebut, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengkaji
kelompok ini secara objektif, dalam artian perlu adanya kajian mendalam di
setiap sisinya. Karena itu penulis mencoba menguraikan beberapa hal yang
berkaitan tentang Mu’tazilah dalam makalah ini tentang apa, siapa, dan
bagaimana kaum Mu’tazilah itu?
B. Rumusan Masalah
Untuk memperjelas arah pembahasan penulis
akan membatasi pembahasan materi yaitu:
1.
Dari mana Asal Usul Mu’tazilah?
2.
Apa saja Ajaran-ajaran Dasar
Mu’tazilah?
3.
Siapa Tokoh-tokoh
Mu’tazilah?
4.
Bagaimana
Pemikiran Mu’tazilah Tentang akal dan Wahyu?
C. Tujuan Masalah
1.
Mengetahui
Asal Usul Mu’tazilah dan Latar Belakang Munculnya
2.
Mengetahui
Ajaran-ajaran Dasar Mu’tazilah
3.
Mengetahui
Tokoh-tokoh Mu’tazilah
4.
Mengetahui
Pemikiran Mu’tazilah Tentang akal dan Wahyu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal Usul Mu’tazilah
Kelompok
pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara
tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan
dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah
mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi
Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 131
H.
Kemunculan
mu`tazilah ini bermula dari lontaran ketidaksetujuan dari Washil Bin Atha` atas
pendapat Hasan Basri yang mengatakan bahwa seorang muslim yang melakukan
kefasikan (dosa besar), maka di akhirat nanti akan disiksa lebih dahulu sesuai
dengan dosanya, kemudian akan dimasukkan ke jannah sebagai rahmat Allah
atasnya, Washil Bin Atha` menyangkal pendapat tersebut. Sebaliknya dia
mengatakan bahwa kedudukan orang mukmin yang fasik tersebut tidak lagi mukmin
dan tidak juga kafir. Sehingga kedudukannya tidak di neraka dan tidak pula di
surga. namun dia berada dalam satu posisi antara iman dan kufur. Antara surga
dan neraka (al-manzilah baina manzilatain).
Di dalam
menyebarkan ajarannya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong
Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran
bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah[1].
Seiring dengan
bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak
sektenya. Hingga kemudian para tokoh mereka mendalami buku-buku filsafat yang
banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj
mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada
akal dan mengabaikan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah)[2].
Oleh karena
itu, tidak aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan
daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’dan akal-lah sebagai kata
pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal, menurut
persangkaan mereka maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil[3].
Secara etimologis, kata “Mu’tazilah” berarti golongan yang mengasingkan atau
memisahkan diri. Dalam lembaran sejarah Islam, golongan ini pernah terjadi di
kala pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada
saat itu terdapat beberapa orang sahabat Nabi yang tidak menginginkan terlibat
dalam pertikaian tersebut. Mereka tidak ikut membaiat Ali, namun mereka memilih
bersikap netral. Beberapa tokoh yang memiliki sikap semacam ini adalah: Sa’d
bin Abi Waqqasy, Abdullah bin Umar, dan Utsman bin Zaid. Orang‑orang itu
disebut kelompok Mu’tazilah, karena mengasingkan diri dari keterlibatan dalam
pertikaian politik yang tengah terjadi antara Ali dan Mu’awiyah[4].
Apabila kata Mu’tazilah dikaitkan dalam konteks aliran‑aliran teologi, maka
Mu’tazilah adalah suatu nama golongan dalam Islam yang membawa persoalan‑persoalan
teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan‑persoalan
yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah yang dalam pembahasannya banyak memakai
akal, sehingga golongan ini sering disebut kaum rasionalis Islam[5].
Sebenarnya
nama Mu’tazilah bukanlah produk dari orang‑orang Mu’tazilah sendiri, melainkan
gelar yang diberikan oleh pihak lain untuknya, ketika Hasan al- Basri mendengar
kebid`ahan Washil Ibn Atha`, maka dia mengusirnya dari majelis, lalu Washil Ibn
Atha` memisahkan diri kemudian diikuti oleh para sahabatnya yang bernama Amr
bin Ubaid. Maka pada saat itulah orang-orang menyebut mereka telah memisahkan
diri dari pendapat umat. Sejak itulah pengikut mereka berdua disebut
Mu`tazilah.
B. Ajararan-Ajaran Dasar Mu’tazilah
Ajaran-ajaran dasar golonga Mu’tazilah
berasal dair Ibn Atha, pokok-pokok pikiran itu dirumuskan dalam ajarannya yang
disebut “Al-ushul al-Khamsah”, atau Lima ajaran dasar yaitu :
1. Al-Tauhid
2. Al-‘adl
3. Al-wa’d wa al-wa’id
4. Al-manzilah bain al-manzilatain
5. Al-‘amr bi al-ma’ruf wa al-nahi an al-munkar
1.
At-Tauhid (Ke
Maha Esaan Tuhan)
Tauhid adalah dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan milik golongan Mu’tazilah saja. Tetapi mereka menafsirkan sedemikian rupa dan mempertahankannya dengan sungguh-sungguh. Maka mereka menyebut diri mereka dengan ahl al-tauhid.
Tauhid adalah dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan milik golongan Mu’tazilah saja. Tetapi mereka menafsirkan sedemikian rupa dan mempertahankannya dengan sungguh-sungguh. Maka mereka menyebut diri mereka dengan ahl al-tauhid.
Mu’tazilah berpendapat bahwa Allah SWT itu Qadim dan yang selain-Nya
hadits (baru), Dia Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Sempurna yang tidak ada
tandingan-Nya serta tidak pantas disamakan dengan sesuatu apapun, itu saja –
bagi mereka – cukup untuk menerangkan tentang Allah itu. Sehingga dengan inti
ajaran Tauhid seperti ini dan dibarengi dengan kemampuan logika mereka ,
melahirkan ide-ide berikut :
a. Tidak mengakui sifat-sifat Allah SWT.
Mu’tazilah mengakui bahwa Allah SWT memiliki sifat seperti al-’Alim, al-Qadim, al-Qahir, al-Qadir, al-Qawi, al-’Adl, al-Murid dan sebagainya yang terkandung dalam al-asma’ al-husna, karena al-Qur’an mengakui hal tersebut.
a. Tidak mengakui sifat-sifat Allah SWT.
Mu’tazilah mengakui bahwa Allah SWT memiliki sifat seperti al-’Alim, al-Qadim, al-Qahir, al-Qadir, al-Qawi, al-’Adl, al-Murid dan sebagainya yang terkandung dalam al-asma’ al-husna, karena al-Qur’an mengakui hal tersebut.
Selanjutnya mereka membagi sifat-sifat itu ke
dalam dua kategori: Pertama, sifat yang berkenaan dengan esensi Tuhan, disebut
Shifah dzatiyah, dan Kedua, sifat yang berkenaan dengan tindakan Allah dan
berkaitan dengan makhluk, dikategorikan Shifat fi’liyah. Hanya saja Mu’tazilah
tidak mengakui eksistensi sifat-sifat tersebut sebagai suatu tambahan terhadap
Dzat Allah (za’idah ‘ala al-dzat) atau berada di luar Dzat (wara’ al-dzat)
sebagaimana pandangan Asya’irah.
Mereka berpendapat bahwa sifat-sifat itu
adalah Dzat itu sendiri (‘ain al-dzat) . Karena jika sifat itu za’idah ‘ala
al-dzat, berarti dia berada diluar Dzat, dan akan menyebabkan banyaknya jumlah
yang Qadim (ta’addud al-qudama’)[6],
yaitu: Dzat Allah, Ilmu Allah, Kekuasaan Allah, Kehidupan Allah, Kehendak Allah
dan seterusnya. Hal ini bertentangan dengan Tauhid, karena seharusnya yang
Qadim itu hanya Dzat Allah. Oleh sebab itulah sebagian besar mereka mengatakan:
الله عالم
بذاته لا بعلمه, و قادر بذاته لا بقدرته و مريد بذاته لا بارادته
“Allah Mengetahui dengan Dzat-Nya, bukan dengan Ilmu-Nya, Berkuasa
dengan Dzat-Nya bukan dengan Kuasa-Nya, dan Berkehendak dengan Dzat-Nya bukan
dengan Kehendak-Nya”.
b. Mengatakan al-Qur’an makhluk.
Mu’tazilah mengatakan bahwa Kalam tidak mungkin disamakan dengan sifat Ilmu dan Qudrah (Kuasa), sebab hakikat Kalam menurut Mu’tazilah adalah huruf-huruf yang teratur dan bunyi-bunyi yang jelas dan pasti, baik nyata maupun ghaib . Kalam bukanlah sesuatu yang memiliki hakikat logis, namun dia hanyalah sebuah istilah, yang tidak mungkin ada/terwujud kecuali melalui lidah. Dan Allah SWT sebagai Mutakallim (Yang Berfirman) menciptakan Kalam itu.
b. Mengatakan al-Qur’an makhluk.
Mu’tazilah mengatakan bahwa Kalam tidak mungkin disamakan dengan sifat Ilmu dan Qudrah (Kuasa), sebab hakikat Kalam menurut Mu’tazilah adalah huruf-huruf yang teratur dan bunyi-bunyi yang jelas dan pasti, baik nyata maupun ghaib . Kalam bukanlah sesuatu yang memiliki hakikat logis, namun dia hanyalah sebuah istilah, yang tidak mungkin ada/terwujud kecuali melalui lidah. Dan Allah SWT sebagai Mutakallim (Yang Berfirman) menciptakan Kalam itu.
Hakikat-hakikat yang mereka simpulkan inilah
yang menyebabkan mereka mengatakan bahwa kalam itu adalah sesuatu yang bersifat
baru (hadits), tidak bersifat qadim, sehingga pada gilirannya al-Qur’an sebagai
Kalamullah adalah sesuatu yang hadits, dan sesuatu yang hadits itu adalah
makhluk.
Namun timbul banyak kerancuan dan kekacauan ketika mereka mencoba menjawab “bagaimana Allah menciptakan Kalam itu?”. Inti kekacauan itu dapat dilihat ketika mereka berhadapan dengan firman Allah QS Al-Nisa’ ayat 164:
Namun timbul banyak kerancuan dan kekacauan ketika mereka mencoba menjawab “bagaimana Allah menciptakan Kalam itu?”. Inti kekacauan itu dapat dilihat ketika mereka berhadapan dengan firman Allah QS Al-Nisa’ ayat 164:
وكللم الله موسى تكليما [النساء:١٦٤]
“dan Allah telah
berbicara kepada Musa dengan langsung”
Mu’tazilah
mencoba mentakwil ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah SWT menciptakan Kalam
pada sebatang pohon yang kemudian kalam itu keluar dari pohon tersebut, lalu
Musa as. mendengarnya, atau dengan bahasa lain Allah menciptakan kemampuan bagi
pohon untuk mengeluarkan kalam yang akan disampaikan-Nya kepada Musa, lalu Musa
as. mendengar Kalamullah melalui perantaraan pohon itu.
Jadi Mu’tazilah mengatakan al-Qur’an makhluk adalah sebagai hasil nalar mereka bahwa perkataan (kalam) bukanlah salah satu sifat Allah yang Qadim seperti ilmu dan sebagainya, tapi kalam itu berupa kumpulan huruf yang teratur dan suara yang jelas, baik nyata atau ghaib.
c. Mengingkai bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata telanjang.
Mu’tazilah memandang bahwa pendapat yang mengatakan Allah dapat dilihat dengan mata telanjang di akhirat, membawa pada ide yang sangat bertentangan dengan Tauhid yaitu tasybih, menyamakan Allah SWT dengan makhluk. Karena menurut mereka, ru’yah (pandangan) adalah kontak sinar (ittishal syu’a') antara “yang melihat” dengan “yang dilihat”, dan mereka memberikan satu syarat agar ru’yah itu bisa terjadi yaitu binyah (tempat/media), dan ru’yah tersebut mesti berhubungan dengan benda nyata (maujud), dan Allah SWT bukanlah yang demikian, oleh karena itulah mereka mengatakan hal itu mustahil terjadi pada Allah SWT.
Dengan pendapat yang demikian, mereka melakukan takwilan terhadap ayat yang menggambarkan kemungkinan terjadinya ru’yah tersebut, seperti ayat:
Jadi Mu’tazilah mengatakan al-Qur’an makhluk adalah sebagai hasil nalar mereka bahwa perkataan (kalam) bukanlah salah satu sifat Allah yang Qadim seperti ilmu dan sebagainya, tapi kalam itu berupa kumpulan huruf yang teratur dan suara yang jelas, baik nyata atau ghaib.
c. Mengingkai bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata telanjang.
Mu’tazilah memandang bahwa pendapat yang mengatakan Allah dapat dilihat dengan mata telanjang di akhirat, membawa pada ide yang sangat bertentangan dengan Tauhid yaitu tasybih, menyamakan Allah SWT dengan makhluk. Karena menurut mereka, ru’yah (pandangan) adalah kontak sinar (ittishal syu’a') antara “yang melihat” dengan “yang dilihat”, dan mereka memberikan satu syarat agar ru’yah itu bisa terjadi yaitu binyah (tempat/media), dan ru’yah tersebut mesti berhubungan dengan benda nyata (maujud), dan Allah SWT bukanlah yang demikian, oleh karena itulah mereka mengatakan hal itu mustahil terjadi pada Allah SWT.
Dengan pendapat yang demikian, mereka melakukan takwilan terhadap ayat yang menggambarkan kemungkinan terjadinya ru’yah tersebut, seperti ayat:
وجوه يوميذ نا ضرة – إلى ربها ناظره
“Wajah-wajah
(orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka
melihat.” (QS. al-Qiyamah: 22-23)
Mereka
mengatakan bahwa kata (ناظرة) di sana tidak
berarti melihat (رؤية) malainkan
menunggu (انتظر) dan kata (إلى) bukanlah huruf
jar melainkan musytaq (pecahan kata) dari kata (الآلاء) yang berarti
nikmat, sehingga maksud ayat adalah: “Wajah-wajah itu menanti nikmat dari
Tuhannya”[7].
Mereka juga mentakwil ayat:
Mereka juga mentakwil ayat:
الله نور
السموت و الارض
“Allah cahaya
langit dan bumi” (QS. Al-Nur:
35)
Dengan
mengatakan bahwa bukan berarti Allah itu adalah cahaya yang bisa dilihat,
melainkan Allah memberikan cahaya kepada langit dan bumi. Sedangkan terhadap hadits yang menyatakan
orang mukmin di sorga bisa melihat Allah bahkan kondisinya sama dengan kondisi
ketika kita melihat bulan purnama, hadits ini tidak diterima oleh Mu’tazilah
dan mengatakan terdapat cacat pada Sanad-nya.
d. Mengingkari jihah (arah) bagi Allah.
Ini sejalan dengan penjelasan mereka tentang kesempurnaan Allah SWT, yaitu: “Bukan yang memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas maupun belakang dan tidak dibatasi oleh tempat”. Karena dengan menetapkan atau membatasi jihah bagi-Nya berarti menetapkan atau membatasi Allah pada suatu tempat dan tubuh (jism).
Ide seperti ini membawa mereka kepada pentakwilan kata-kata di dalam al-Qur’an yang menunjukkan tempat Allah SWT, seperti mentakwil kursi dengan ilmu-Nya, dan mentakwil istiwa’ (semayam) dengan berkuasa penuh (istila’) dan lain sebagainya.
e. Mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan kesan adanya persamaan Tuhan dengan manusia.
Demikian juga halnya dengan semua ayat yang mengesankan bahwa Allah juga memiliki anggota tubuh seperti anggota tubuh manusia. Mereka mentakwil Wajah Allah dengan Dzat Allah itu sendiri, Tangan Allah dengan Kekuasaan, Kekuatan dan Nikmat Allah dan lain sebagainya.
Ini sejalan dengan penjelasan mereka tentang kesempurnaan Allah SWT, yaitu: “Bukan yang memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas maupun belakang dan tidak dibatasi oleh tempat”. Karena dengan menetapkan atau membatasi jihah bagi-Nya berarti menetapkan atau membatasi Allah pada suatu tempat dan tubuh (jism).
Ide seperti ini membawa mereka kepada pentakwilan kata-kata di dalam al-Qur’an yang menunjukkan tempat Allah SWT, seperti mentakwil kursi dengan ilmu-Nya, dan mentakwil istiwa’ (semayam) dengan berkuasa penuh (istila’) dan lain sebagainya.
e. Mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan kesan adanya persamaan Tuhan dengan manusia.
Demikian juga halnya dengan semua ayat yang mengesankan bahwa Allah juga memiliki anggota tubuh seperti anggota tubuh manusia. Mereka mentakwil Wajah Allah dengan Dzat Allah itu sendiri, Tangan Allah dengan Kekuasaan, Kekuatan dan Nikmat Allah dan lain sebagainya.
Penolakan terhadap paham antropomorfistik
bukan atas pertimbangan akal, melainkan memiliki rujukan yang sangat kuatdi
dalam Al Quran. Mereka berpegang pada ayat:
[الشورى:١١].....ليس كمثله شئ......
Artinya: “...Tidak ada sesuatupun yang
serupa dengan Dia....”
(QS. Asy Syura; 11)
Untuk menegaskan penilaiannya terhadap
antropomorfisme, Mu’tazilah memberi takwil terhadap ayat-ayat secara lahir
menggambarkan kejisiman Tuhan, yaitu dengan cara memalingkan arti kata-kata
tersebut ke arti yang lain sehingga hilang kejisiman Tuhan. Misalnya kata
tangan (QS. Shad:75)di artikan kekuasaan dan pada kontek yang lain tangan (QS.
Al Maidah: 64) diartikan nikmat. Kata wajah (QS. Ar Rahman:27) diartikan esensi
dan zat, sedangkan al arsy (QS. Thaha: 5) diartikan kekuasaan[8]
2.
Al-Adl (Keadilan Tuhan)
Kalau dengan al-tauhid Mu’tazilah ingin mensucikan diri tuhan dari persamaan dengan makhluk, maka dengan al-‘adl kaum Mu’tazilah ingin mensucikan perbuatan-perbuatan makhluk. Hanya Tuhan yang dapat berbuat adil. Tuhan tidak dapat berbuat dzalim, tetapi sebaliknya makhluk dapat berbuat dzalim, dan tidak dapat berbuat adil. Oleh karena itu mereka menyebut diri mereka dengan ahl al-tauhid wa al-‘adl.
Kalau dengan al-tauhid Mu’tazilah ingin mensucikan diri tuhan dari persamaan dengan makhluk, maka dengan al-‘adl kaum Mu’tazilah ingin mensucikan perbuatan-perbuatan makhluk. Hanya Tuhan yang dapat berbuat adil. Tuhan tidak dapat berbuat dzalim, tetapi sebaliknya makhluk dapat berbuat dzalim, dan tidak dapat berbuat adil. Oleh karena itu mereka menyebut diri mereka dengan ahl al-tauhid wa al-‘adl.
Dengan dasar itu mereka menolak pendapat
Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia dalam semua perbuatannya tidak
mempunyai kebebasan. Bertolak dari ajaran keadilan Tuhan ini maka Tuhan mesti
memberikan hak-hak seseorang, dengan demikian Tuhan mempunyai
kewajiban-kewajiban seperti memberikan rizqi bagi manusia, mengirimkan Rasul
untuk menyampaikan wahyu kepada manusia, untuk membantu manusia dari
kelemahan-kelemahan dan sebagainya. Tujuan diciptakannya manusia untuk
beribadah kepada Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, maka harus diutus Rasul[9]
3.
Al-wa’d wa
al-wa’id (Janji dan Ancaman)
Dasar ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran tentang al-‘adl. Golongan Mu’tazilah yakni bahwa janji tuhan akan memberikan upah atau pahala bagi orang yang berbuat baik, dan memberikan ancaman akan menyiksa orang yang berbuat jahat pasti dilaksanakan, karena sesuai dengan janji dan ancaman Tuhan. Janji Tuhan untuk memberi pahala masuk syurga bagi yang berbuat baik (al Muthi’) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka (al ‘ashi)pasti terjadi, begitu pula janji Tuhan untuk memberi ampunan pada orang yang bertaubat nasuha pasti benar adanya[10]
Dasar ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran tentang al-‘adl. Golongan Mu’tazilah yakni bahwa janji tuhan akan memberikan upah atau pahala bagi orang yang berbuat baik, dan memberikan ancaman akan menyiksa orang yang berbuat jahat pasti dilaksanakan, karena sesuai dengan janji dan ancaman Tuhan. Janji Tuhan untuk memberi pahala masuk syurga bagi yang berbuat baik (al Muthi’) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka (al ‘ashi)pasti terjadi, begitu pula janji Tuhan untuk memberi ampunan pada orang yang bertaubat nasuha pasti benar adanya[10]
4.
Al-Manzilah bain al-manzilatain (Posisi di
antara dua posisi)
Prinsip ini snagat penting dalam ajaran Mu’tazilah, karena merupakan awal persoalan yagn timbul dalam masalah teologi sehingga lahir golongan Mu’tazilah. Yaitu persoalan orang yang berdosa besar, ia mati belum sempat bertobat, orang tersebut tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasiq, suatu posisi diantara dua posisi.
Prinsip ini snagat penting dalam ajaran Mu’tazilah, karena merupakan awal persoalan yagn timbul dalam masalah teologi sehingga lahir golongan Mu’tazilah. Yaitu persoalan orang yang berdosa besar, ia mati belum sempat bertobat, orang tersebut tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasiq, suatu posisi diantara dua posisi.
Golongan Khawarij berpendapat
bahwa orang tersebut menjadi kafir dan akan kekal di neraka. Golongan Murjiah
berpendapat bahwa orang tersebut tetap mukmin, tidak kekal di neraka dan
mengharapkan rahmat dan ampunan dari Allah. Dan golongan Mu’tazilah berpendapat
bahwa orang tersebut tidak mukmin dan tidak kafir tetapi fasiq dan akan kekal
di neraka, tetapi siksanya lebih ringan dari orang kafir. Pendapat ini
merupakan pendapat di antara pendapat Khawarij dan pendapat Murjiah.
5.
Al-amr bi
al-ma’ruf wa al-nahi ‘an al-munkar (Perintah untuk berbuat baik dan larangan
berbuat jahat).
Ajaran ini sebenarnya bukan hanya dimiliki oleh golongan Mu’tazilah saja, tetapi juga dimiliki oleh semua umat Islam. Tetapi ada perbedaanya, yaitu pelaksanaan ajaran tersebut menurut Mu’tazilah, bila perlu harus diwujudkan atau dilaksanakan dengan paksaan atau kekerasan. Sedang golongan lain cukup dengan penjelasan saja.
Ajaran dasar tentang amar ma’ruf nahi munkar sebenarnya sangat erat kaitannya dengan usaha pembinaan akhlak, karena hal itu berarti mendidik orang untuk berbuat baik dan melarang berbuat jahat. Ajaran ini dapat pula menjadi bukti bahwa Mu’tazilah amat menekankan pentingnya pendidikan akhlak, sebagai bukti konsep Iman dalam pandangan Mu’tazilah tidak cukup hanya dengan tashdiq (pembenaran) di hati, melainkan harus diikuti dengan amalan, dan iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan melakukan maksiat.
Bagi Mu’tazilah, prinsip ini harus dilaksanakan oleh semua orang mukmin dengan seluruh daya upaya, baik berupa lisan, tangan maupun dengan pedang sekalipun, sebagaimana yang telah diajarkan Nabi SAW dalam sabdanya.
Ajaran ini sebenarnya bukan hanya dimiliki oleh golongan Mu’tazilah saja, tetapi juga dimiliki oleh semua umat Islam. Tetapi ada perbedaanya, yaitu pelaksanaan ajaran tersebut menurut Mu’tazilah, bila perlu harus diwujudkan atau dilaksanakan dengan paksaan atau kekerasan. Sedang golongan lain cukup dengan penjelasan saja.
Ajaran dasar tentang amar ma’ruf nahi munkar sebenarnya sangat erat kaitannya dengan usaha pembinaan akhlak, karena hal itu berarti mendidik orang untuk berbuat baik dan melarang berbuat jahat. Ajaran ini dapat pula menjadi bukti bahwa Mu’tazilah amat menekankan pentingnya pendidikan akhlak, sebagai bukti konsep Iman dalam pandangan Mu’tazilah tidak cukup hanya dengan tashdiq (pembenaran) di hati, melainkan harus diikuti dengan amalan, dan iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan melakukan maksiat.
Bagi Mu’tazilah, prinsip ini harus dilaksanakan oleh semua orang mukmin dengan seluruh daya upaya, baik berupa lisan, tangan maupun dengan pedang sekalipun, sebagaimana yang telah diajarkan Nabi SAW dalam sabdanya.
Perbedaan paham mu’tazilah
dengan yang lainnya mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatana
pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan , kekerasan dapat
ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut[11].
C. Tokoh- Tokoh Mu’tazilah
C. Tokoh- Tokoh Mu’tazilah
1. Wasil bin Atha.
Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar
ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham
al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad
dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan.
Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu
al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
2. Abu Huzail al-Allaf.
Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha,
mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini,
pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran
tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti
Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik
dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang,
tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak
falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah
yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy
as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan
pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan
Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan
dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan
karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat
Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan.
Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada
manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib
mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal
itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang
kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar
dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
3. Al-Jubba’i.
Al-Jubba’i adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah.
Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT,
kewajiban manusia, dan daya akal.
Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai
sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia
berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan
sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok,
yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah
‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang
dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
4. An-Nazzam
Pendapat An Nazzam yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan.
Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal
ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan
bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan
bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai
kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya
dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari
keadaan yang demikian.
Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya,
mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa)
dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT.
Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat
didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim.
[1]
5. Al- Jahiz
Al- jahiz dalam tulisan-tulisan al-Jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai
paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah
disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan
manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada
pengaruh hukum alam.
6. Mu’ammar bin Abbad
Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. Pendapatnya
tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-Jahiz.
Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad
atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari
hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang
yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu,
bukan hasil ciptaan Tuhan.
7. Bisyr al-Mu’tamir
Ajaran Bisyr al-Mu’tamir yang penting menyangkut pertanggungjawaban
perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa
besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat
siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
8. Abu Musa al-Mudrar
Al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim,
karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia
menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak
pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
9. Hisyam bin Amr al-Fuwati
Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah
ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alas$an yang dikemukakan adalah tidak ada
gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang
memasuki surga dan neraka.
D.
Pemikiran Mu’tazilah tentang Akal dan Wahyu
Dalam teologi Islam masalah pokok yang dibahas adalah masalah ke-Tuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan. Akal yanga da pada manusia dan wahyu dari Tuhan merupakan alat untuk mendapatkan pengetahuan tentang kedua masalah tersebut. Akal, dengan daya yang ada pada manusia berusaha untuk sampai kepada Tuhan, dan dengan rahmat dan kasih sayang Tuhan, wahyu diturunkan melalui para Rasul untuk menolong manusia dari kelemahan dan kekurangannya. Konsepsi ini dapat digambarkan sebagi Tuhan Maha Tinggi di puncak alam wujud, dan manusia yang lemah berada di bawah.
Konsepsi ini merupakan sistem teologi yang dapat diterapkan pada aliran-aliran teologi yang berpendapat bahwa akal manusia dapat sampai kepada Tuhan. Tetapi yang menjadi persoalan, sampai dimana kemampuan manusia dapat mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia etrhadap Tuhan. Dan sampai seberapa jauh persoalan wahyu dalam kedua tersebut di atas.
Sou’yb, Joesoef ( 1997: 52 ) berpendapat bahwa aliran Mu’tazilah itu bertitik-tolak pada kemestian memahamkannya secara logis dan rasional. Cara aliran Mu’tazilah memahamkannya itu merupakan kekuatan yang tertahankan.
Persoalan-persoalan yang dipermasalahkan Mu’tazilah dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Masalah mengetahui Tuhan;
b. Masalah kewajiban berterima kasih kepada Tuhan;
c. Masalah mengetahui baik dan jahat;
d. Masalah kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat.
Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa keempat masalah tersebut di atas dapat dicapai melalui akal, meskipun kemampuan akal terbatas dan tidak sempurna; tetapi secara garis besar akal dapat sampai kepadanya, hanya hal-hal yang secara terinci diperlukan wahyu yang dibawa oleh para Rasul untuk menyempurnakan kekurangan dan kelemahan akal. Namun wahyu hanya bersifat menguatkan apa yang telah diketahui oleh akal, dan memberikan perincian terhadap pengetahuan yang telah dicapai oleh akal. Misalnya akal manusia dapat sampai pada mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tetapi tidak tahu bagaimana cara berterima kasih kepada Tuhan tersebut, bagaimana cara orang mengerjakan shalat, haji dan sebagainya. Dalam hal inilah peranan wahyu sangat diperlukan.
Sehubungan dengan besar kecilnya peranan akal dalam masalah mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk seperti tersebut di atas, bahkan menurut Mu’tazilah keempat masalah tersebut dapat dicapai dengan akal, maka timbullah pertanyaan apakah fungsi wahyu?
Sudah barang tentu bagi aliran-aliran yang berpendapat bahwa akal mempunyai peranan yang sangat besar, fungsi wahyu sangat kecil, sebaliknya aliran yang berpendapat peranan akal sangat kecil, fungsi wahyu menjadi sangat besar.
Bagi kaum Mu’tazilah semua pengetahuan dapat diperoleh melalui akal dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam[12].
Menurut Mu’tazilah, karena keempat masalah tersebut di atas dapat dicapai dengan akal, maka fungsi wahyu menjadi sangat kecil. Untuk mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya, wahyu dalam pendapat Mu’tazilah tidak mempunyai fungsi apa-apa; tetapi untuk mengetahui bagaiman cara melaksanakan ibadah kepada Tuhan dalam hal ini wahyu diperlukan, karena akal tidak sanggup mengetahui bagaimana cara ibadah tersebut.
M. Afif ( 2004: 107) berpendapat bahwa sikap Mu’tazilah yang memberi porsi sangat besar kepada akal dalam memahami agama terlihat dari pandangannya yang mengatakan bahwa akal dapat mengetahui yang baik dan buruk, serta dapat pula mengetahui kewajiban melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Menurut Mu’tazilah akal hanya dapat mengetahui pokok-pokok dari garis besarnya saja, adapun yang berkenaan dengan perincian pelaksanaan, akal tidak memiliki kesanggupan untuk itu, karena itu wahyu diperlukan.
Demikian pula menurut Mu’tazilah manusia tidak dapat mengetahui semua hal yang baik dan yang buruk, melainkan hanya mengetahui sebagian saja. Oleh karena itu, untuk menyempurnakan pengetahuan tentang baik dan buruk diperlukan wahyu.
Dapat disimpulkan bahwa fungsi wahyu menurut Mu’tazilah adalah sebagai berikut:
Dalam teologi Islam masalah pokok yang dibahas adalah masalah ke-Tuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan. Akal yanga da pada manusia dan wahyu dari Tuhan merupakan alat untuk mendapatkan pengetahuan tentang kedua masalah tersebut. Akal, dengan daya yang ada pada manusia berusaha untuk sampai kepada Tuhan, dan dengan rahmat dan kasih sayang Tuhan, wahyu diturunkan melalui para Rasul untuk menolong manusia dari kelemahan dan kekurangannya. Konsepsi ini dapat digambarkan sebagi Tuhan Maha Tinggi di puncak alam wujud, dan manusia yang lemah berada di bawah.
Konsepsi ini merupakan sistem teologi yang dapat diterapkan pada aliran-aliran teologi yang berpendapat bahwa akal manusia dapat sampai kepada Tuhan. Tetapi yang menjadi persoalan, sampai dimana kemampuan manusia dapat mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia etrhadap Tuhan. Dan sampai seberapa jauh persoalan wahyu dalam kedua tersebut di atas.
Sou’yb, Joesoef ( 1997: 52 ) berpendapat bahwa aliran Mu’tazilah itu bertitik-tolak pada kemestian memahamkannya secara logis dan rasional. Cara aliran Mu’tazilah memahamkannya itu merupakan kekuatan yang tertahankan.
Persoalan-persoalan yang dipermasalahkan Mu’tazilah dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Masalah mengetahui Tuhan;
b. Masalah kewajiban berterima kasih kepada Tuhan;
c. Masalah mengetahui baik dan jahat;
d. Masalah kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat.
Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa keempat masalah tersebut di atas dapat dicapai melalui akal, meskipun kemampuan akal terbatas dan tidak sempurna; tetapi secara garis besar akal dapat sampai kepadanya, hanya hal-hal yang secara terinci diperlukan wahyu yang dibawa oleh para Rasul untuk menyempurnakan kekurangan dan kelemahan akal. Namun wahyu hanya bersifat menguatkan apa yang telah diketahui oleh akal, dan memberikan perincian terhadap pengetahuan yang telah dicapai oleh akal. Misalnya akal manusia dapat sampai pada mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tetapi tidak tahu bagaimana cara berterima kasih kepada Tuhan tersebut, bagaimana cara orang mengerjakan shalat, haji dan sebagainya. Dalam hal inilah peranan wahyu sangat diperlukan.
Sehubungan dengan besar kecilnya peranan akal dalam masalah mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk seperti tersebut di atas, bahkan menurut Mu’tazilah keempat masalah tersebut dapat dicapai dengan akal, maka timbullah pertanyaan apakah fungsi wahyu?
Sudah barang tentu bagi aliran-aliran yang berpendapat bahwa akal mempunyai peranan yang sangat besar, fungsi wahyu sangat kecil, sebaliknya aliran yang berpendapat peranan akal sangat kecil, fungsi wahyu menjadi sangat besar.
Bagi kaum Mu’tazilah semua pengetahuan dapat diperoleh melalui akal dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam[12].
Menurut Mu’tazilah, karena keempat masalah tersebut di atas dapat dicapai dengan akal, maka fungsi wahyu menjadi sangat kecil. Untuk mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya, wahyu dalam pendapat Mu’tazilah tidak mempunyai fungsi apa-apa; tetapi untuk mengetahui bagaiman cara melaksanakan ibadah kepada Tuhan dalam hal ini wahyu diperlukan, karena akal tidak sanggup mengetahui bagaimana cara ibadah tersebut.
M. Afif ( 2004: 107) berpendapat bahwa sikap Mu’tazilah yang memberi porsi sangat besar kepada akal dalam memahami agama terlihat dari pandangannya yang mengatakan bahwa akal dapat mengetahui yang baik dan buruk, serta dapat pula mengetahui kewajiban melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk.
Menurut Mu’tazilah akal hanya dapat mengetahui pokok-pokok dari garis besarnya saja, adapun yang berkenaan dengan perincian pelaksanaan, akal tidak memiliki kesanggupan untuk itu, karena itu wahyu diperlukan.
Demikian pula menurut Mu’tazilah manusia tidak dapat mengetahui semua hal yang baik dan yang buruk, melainkan hanya mengetahui sebagian saja. Oleh karena itu, untuk menyempurnakan pengetahuan tentang baik dan buruk diperlukan wahyu.
Dapat disimpulkan bahwa fungsi wahyu menurut Mu’tazilah adalah sebagai berikut:
1. Menyempurnakan pengetahuan
manusia tentang baik dan buruk sehingga ada wajib al-aqliyah, yaitu
kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui melalui akal, dan ada wajib
al-syarfiyyah, yaitu kewajiban-kewajiban yang hanya diketahui melalui wahyu.
Demikian pula ada manakir al-aqliyah, yaitu larangan-larangan yang dapat
diketahui melalui akal, dan ada pula manakir al-syar’iyyah, yaitu
larangan-larangan yang hanya diketahui melalui wahyu.
2. Memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima di akhirat nanti.
Kedua fungsi tersebut di atas dapat dikatakan sebagai informasi, yaitu memberikan hal-hal yang belum diketahui akal. Dan sebagai konfirmasi, yaitu memperkuat apa yang telah diketahui oleh akal.
3. Mengingatkan manusia dari kelalaian dan mempercepat atau memperpendek jalan untuk mengetahui Tuhan.
2. Memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima di akhirat nanti.
Kedua fungsi tersebut di atas dapat dikatakan sebagai informasi, yaitu memberikan hal-hal yang belum diketahui akal. Dan sebagai konfirmasi, yaitu memperkuat apa yang telah diketahui oleh akal.
3. Mengingatkan manusia dari kelalaian dan mempercepat atau memperpendek jalan untuk mengetahui Tuhan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1. Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari
I’tazala yang berarti berpisah. Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di
Basrah, Irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha
(700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan
pendapat. Wasil bin Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin
bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin
berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran
di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan
pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain
al-manzilatain (posisi di antara dua posisi).
2. Mu’tazilah adalah aliran yang secara garis
besar sepakat dan mengikuti cara pandang Washil bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid
dalam masalah-masalah teologi, atau aliran teologi yang akar pemikirannya
berkaitan dengan pemikiran Washil bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid.
3. Mu’tazilah merupakan aliran
teologis dalam Islam yang bercorak rasional, dan berpandangan bahwa nash
(wahyu) sejalan dengan rasio akal manusia. Namun dalam perjalanan sejarahnya,
mereka banyak terpengaruh dengan metode-metode filsafat asing, sehingga hampir
saja membawa mereka kepada sikap “ekstrim” dalam menggunakan logika. Sikap
“nyaris ekstrim” ini yang berpengaruh dan tampak dalam ide-ide teologis mereka,
dan sampai pada titik klimaksnya menimbulkan fitnah besar di dalam perjalanan
sejarah umat Islam, yang diistilahkan Mihnah.
4. Mu’tazilah muncul dengan latar
belakang kasus hukum pelaku dosa besar yang telah mulai diperdebatkan oleh
Khawarij dan Murji’ah. Mereka tidak mengatakan pelaku dosa besar itu kafir dan
tidak juga mukmin, melainkan fasik. Dan jika dia meninggal dalam kondisi belum
bertaubat maka dia berada di sebuah tempat antara posisi orang mukmin dan orang
kafir, yang diistilahkan dengan al-manzilah baina al-manzilatain. Pada sisi
lain dalam perkembangannya mereka juga masuk ke ladang kasus yang diperdebatkan
Qadariyah dan Jabariyah tentang hakikat perbuatan manusia dan kaitannya dengan
takdir Tuhan.
5. Penghargaan yang tinggi terhadap
akal dan logika menyebabkan timbul banyak perbedaan pendapat di kalangan
Mu’tazilah sendiri, namun ide-ide teologis mereka disatukan dalam beberapa hal
pokok, yang dikenal dengan al-Ushul al-Khamsah: Tauhid (Keesaan), Al-’Adl
(Keadilan), Al-Wa’du wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman), Al-Manzilah Baina
al-Manzilatain (Satu Tempat diantara Dua Tempat), Al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu
‘an al-Munkar (Menegakkan yang Makruf dan Melarang Kemunkaran)
6. Dengan memahami lima hal pokok
tersebut, penulis nilai kita tidak bisa menghukum kafir kaum Mu’tazilah. Dan
memang kita tidak bisa menggeneralisasi hukum terhadap Mu’tazilah, tapi harus
dilihat di setiap permasalahan yang diangkatkannya, sehingga kita pun tidak
terjebak ke dalam sikap “nyaris ekstrim” ketika menghukum sebuah kelompok, yang
penulis yakini akan membawa dampak negatif.
7. Dengan kekayaan pembahasan
logikanya, Mu’tazilah telah memberikan banyak masukan terhadap kekayaan
khazanah keislaman. Artinya kita tidak bisa menutup mata rapat-rapat terhadap
kontribusi mereka itu, tapi juga bukan berarti menghilangkan nalar kritis
terhadap ide-ide pemikirannya. Sebagaimana yang dilakukan Imam Syatibi dalam
metode Maqashid Syari’ah, atau Muhammad Abduh dalam ide-ide pembaharuannya, dan
tokoh-tokoh lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Badawi,
Abdurrahman, Madzahib al-Islamiyyin, Beirut: Darul ‘Ilm li al-Malayin, 1983.
Al-Gharabi,
Ali Mushtafa, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, Mesir: Maktabah wa Mathba’ah Muhammad
Ali Shabih wa Awladih.
Al-Syahrastani,
Muhammad bin Abdul Karim, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Kutub
al-Ilmiyah.
Daudy, Ahmad,
Kuliah Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
Hanafi, A.,
M.A., Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995.
Jarullah,
Zuhdi, al-Mu’tazilah, Beirut: Al-Ahliyah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1974.
Nasution,
Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, 1986.
Salim,
Abdurrahman, Al-Mu’tazilah, Mausu’ah al-Firaq wa al-Madzahib fi al-’Alam
al-Islami, Kairo: al-Majilis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyah, 2007.
Shadiq, Hasan,
Judzur al-Fitnah fi al-Firaq al-Islamiyah, Kairo: Maktabah Madbuli, 1993
Abd. Al Jabbarbin Ahmad, Syarh al Ushul al khamsah,
Maktab wahbab, Kairo,1965
Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al Firaq Al Islamiyah, Dar Al
Mannar, Kairo, 1991