Rabu, 10 Oktober 2012

MEMBANGUN MILITANSI KADER DAKWAH




"Maka apabila kamu telah selesai (dari sesuatu urusan), kerjakanlah dengan sungguh-sungguh (urusan) yang lain". (Q.S. Al Insyirah: 7)

Ayyuhal Ikhwah rahimakumullah.

Allah SWT berfirman di dalam Al-Qur’an Surat 19 Ayat 12 : Ya Yahya hudzil kitaaba bi quwwah ..”.

Tatkala Allah SWT memberikan perintah kepada hamba-hamba-Nya yang ikhlas, Ia tak hanya menyuruh mereka untuk taat melaksanakannya melainkan juga harus mengambilnya dengan quwwah yang bermakna jiddiyah, kesungguhan-sungguhan.

Sejarah telah diwarnai, dipenuhi dan diperkaya oleh orang-orang yang sungguh-sungguh. Bukan oleh orang-orang yang santai, berleha-leha dan berangan-angan. Dunia diisi dan dimenangkan oleh orang-orang yang merealisir cita-cita, harapan dan angan-angan mereka dengan jiddiyah (kesungguh-sungguhan) dan kekuatan tekad.

Karena kebatilan pun dibela dengan sungguh-sungguh oleh para pendukungnya, oleh karena itulah Ali bin Abi Thalib ra menyatakan : “Al-haq yang tidak ditata dengan baik akan dikalahkan oleh Al-bathil yang tertata dengan baik”.

Ayyuhal Ikhwah rahimakumullah.

Tidak dipungkuri lagi dalam pandangan kita sebagai kader dakwah bahwa tabiat seorang mukmin sejati adalah berbuat, berbuat dan terus berbuat. Sehingga seluruh waktunya selalu diukur dengan produktivitas amalnya. Ia tidak akan pernah diam karena diam tanpa amal menjadi aib bagi orang beriman. Seorang mukmin akan terus mencermati peluang-peluang untuk selalu berbuat. Maka perlu kita ingat dalam sanubari yang paling dalam bahwa 'nganggur' dapat menjadi pintu kehancuran. Tidaklah mengherankan banyak ayat maupun hadits yang memotivasi agar selalu berbuat dan berupaya untuk menghindari diri dari sikap malas dan lemah. Malas dan lemah berbuat dianggap sebagai sikap dan sifat buruk yang harus dijauhi orang-orang beriman.

Mengingat tugas dan tanggung jawab yang kita emban sangat besar dan masih banyak agenda yang menanti untuk diselesaikan maka segeralah untuk menyiapkan diri menunaikannya. Rasanya perlu dicamkan dalam benak pikiran kita akan nasehat syaikh Abdul Wahab Azzam:

'Pikiran tak dapat dibatasi, lisan tak dapat dibungkam, anggota tubuh tak dapat diam. Karena itu jika kamu tidak disibukan dengan hal-hal besar maka kamu akan disibukan dengan hal-hal kecil'.


Ayyuhal ikhwah rahimakumullah.

Setiap kesempatan yang diberikan kepada seorang mukmin maka setiap saat itu pula ada satu kaedah perintah secara implisit untuk dapat mengukir prestasi dirinya. Agar apa yang dilakukannya dengan berputarnya waktu mampu disesuaikan dengan tuntutan zaman dan kapabilitas rijal-nya. Seperti kaedah dakwah yang memaparkan, 'setiap dakwah ada marhalah (tahapan)nya dan setiap marhalah ada tuntutannya dan setiap tuntutan ada orangnya'.

Sangat mudah untuk dipahami bila setiap waktu ada tuntutannya maka kita mesti menyelaraskan diri agar sesuai dengannya. Tuntutan ini selaras dengan amanah yang diembankan kepada kita saat ini. Dan dalam pandangan Islam setiap amanah merupakan sesuatu tugas yang tidak boleh dikhianati atau diabaikan hingga tidak dapat menunaikannya dengan baik. Inilah kesempatan emas bagi kita untuk mengukir ukiran terindah dalam hidup kita secara personal maupun kolektif agar kita mampu memberikan cermin indah bagi orang lain ataupun generasi berikutnya. Inilah saat yang tepat bagi kita mengukir prestasi. Pergunakanlah sebaik-baiknya agar kita memiliki investasi besar dalam dakwah ini.

Ayyuhal ikhwah rahimakumullah.

Kita telah mafhum bahwa ketika kita memaksimalkan tadhiyah kita untuk jihad siyasi di Pilkada 2012 nanti misalnya, maka kitapun nanti akan mengetahui balasan yang diberikan Allah atas upaya maksimal kita. Maka ikhwati fillah ada beberapaAgenda besar yang dapat kita lakukan untuk menyongsong kemenangan itu:

Pertama, Recovery tarbiyah, maksudnya adalah mengembalikan iklim tabawi seperti dahulu yang menanamkan sikap komitmen pada Islam sikap kekokohan maknawi dan militansi atas nilai-nilai dakwah. Begitu pula tentang apakah perjalanan liqa tarbawi kita selama ini sudah kita ikuti dengan sungguh-sungguh. Kita akui bahwa saat ini perjalanan liqa tarbawi ini sedikit mengalami 'gangguan', gangguan dalam artian hasil daripada Kondisi ruhaniyah dan moral para kader dakwah yang selalu menjadi pijakan dasar bagi para kader tidak lagi prima seperti dahulu. Karena itu aktivitas yang biasa dilakukan melalui kegiatan-kegiatan tarbawi serta upaya pemenuhan muasofat kader harus terus dioptimalkan. Hal ini tentu berdasarkan pada pandangan bahwa tarbiyahlah yang menjadi pijkan dakwah kita sehingga aktivitas dan kegiatan-kegiatan ini harus segera diin'asy (disegarkan) kembali.

Ayyuhal ikhwah rahimakumullah.

Allah memberikan ganjaran yang sebesar-besarnya dan derajat yang setinggi-tingginya bagi mereka yang sabar dan lulus dalam ujian kehidupan di jalan dakwah. Jika ujian, cobaan yang diberikan Allah hanya yang mudah-mudah saja tentu mereka tidak akan memperoleh ganjaran yang hebat.

Di situlah letak hikmahnya yakni bahwa seorang kader dakwah harus sungguh-sungguh dan sabar dalam meniti jalan dakwah ini. Perjuangan ini tidak bisa dijalani dengan ketidaksungguhan, azam yang lemah dan pengorbanan yang sedikit.

Ayyuhal ikhwah rahimakumullah.

Kedua, Taushi'atut Tajnid (Ekspansi Rekrutmen), sudah cukup banyak orang yang berhimpun dalam barisan dakwah ini maka kita harus memberikan hak tarbiyah mereka. Apalagi mereka pun sesungguhnya sangat menanti kehadiran kader dakwah untuk bisa membina diri mereka dan menjadikan mereka sebagai bagian dari mesin besar dakwah ini. Pada saat inirekrutmen kader pun dibuka untuk seluruh segmen, mulai dari akademisi, birokrat, komunitas2, mahasiswa, pengusaha, preman, ustad2, dll. Sehingga kita sebagai junud dakwah ini harus dapat mengantisipasi demi memperluas wilayah pembinaan di berbagai kalangan dan segmen sehingga Tidak ada lagi junud dakwah yang nganggur tidak memiliki keberanian untuk membina masyarakatnya.


Ayyuhal ikhwah rahimakumullah.

Dakwah berkembang di tangan orang-orang yang memiliki militansi, semangat juang yang tak pernah pudar. Ajaran yang mereka bawa bertahan melebihi usia mereka. Boleh jadi usia para mujahid pembawa misi dakwah tersebut tidak panjang, tetapi cita-cita, semangat dan ajaran yang mereka bawa tetap hidup sepeninggal mereka.

Apa artinya usia panjang namun tanpa isi, sehingga boleh jadi biografi kita kelak hanya berupa 3 baris kata yang dipahatkan di nisan kita : “Si Fulan lahir tanggal sekian-sekian, wafat tanggal sekian-sekian”.

Hendaknya kita melihat bagaimana kisah kehidupan Rasulullah saw dan para sahabatnya. Usia mereka hanya sekitar 60-an tahun. Satu rentang usia yang tidak terlalu panjang, namun sejarah mereka seakan tidak pernah habis-habisnya dikaji dari berbagai segi dan sudut pandang. Misalnya dari segi strategi militernya, dari visi kenegarawanannya, dari segi sosok kebapakannya dan lain sebagainya.

Ayyuhal ikhwah rahimakumullah.

Ketiga, Ta'amuq Dzaty, memperdalam kualitas dan kemampuan diri. Sudah kita ketahui bahwa semakin banyak amanah yang dipercayakan umat kepada kita maka harus semakin meningkat kualitas dan kemampuan kita untuk dapat menunaikannya. Dan sekarang amanah yang diserahkan kepada kita pun dengan urusan yang beragam. Sehingga kita pun selayaknya memperdalam kemampuan kita untuk dapat menyelesaikan urusan orang banyak yang beragam itu.



Ayyuhal ikhwah rahimakumullah.

Keempat, Taqwiyatu Billah, memperkokoh hubungan dengan Allah SWT. yang dapat menjadikan diri kita mampu dan kuat tidak lain karena hubungan yang kuat pula pada Allah SWT. sehingga kita tidak boleh mengabaikan amal-amal yang menghantar diri kita ke arah itu. Dan amaliyah ini sedapat mungkin menjadi harian kita yang selalu menghias pada jiwa dan raga kita.

"Dan katakanlah: "Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mu'min akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui akan yang ghaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan". (Q.S. At Taubah: 105).

Ayyuhal ikhwah rahimakumullah.

Kader yang tulus dan bersemangat tinggi pasti akan memiliki wawasan berfikir yang luas dan mulia. Misalnya, manusia yang memang memiliki akal akan bisa mengerti tentang berharganya cincin berlian, mereka mau berkelahi untuk memperebutkannya. Tetapi anjing yang ada di dekat cincin berlian tidak akan pernah bisa mengapresiasi cincin berlian.

Ia baru akan berlari mengejar tulang, lalu mencari tempat untuk memuaskan kerakusannya. Sampailah anjing tersebut di tepi telaga yang bening dan ia serasa melihat musuh di permukaan telaga yang dianggapnya akan merebut tulang darinya. Karena kebodohannya ia tak tahu bahwa itu adalah bayangan dirinya. Ia menerkam bayangan dirinya tersebut di telaga, hingga ia tenggelam dan mati.

Kebahagiaan sejati akan diperoleh manusia bila ia tidak bertumpu pada sesuatu yang fana dan rapuh, dan sebaliknya justru berorientasi pada keabadian.

Semoga Allah senantiasa memberikan kekuatan kepada diri kita untuk dapat melaksanakan tugas-tugas yang kita emban hari ini dan tetap memiliki jiddiyah, militansi untuk senantiasa berjuang di jalan-Nya Amien. Wallahu 'alam bishshawab

FIQHUSH SHIYAM LIL MAR'AH




Shiyam menurut bahasa  berarti menahan diri berasal dari kata
Menurut Istilah Shiyam berarti menahan diri dari dari yang membatalkan puasa mulai terbit fajar hingga terbenam matahari

Kedudukan Shiyam dalam Islam:

1. QS. Al Baqarah : 183
2. Hadits Rasulullah:


3. IIjma'  Ulama sepakat bahwa Puasa wajib hukumnya

Yang termasuk puasa wajib:

a. Puasa di bulan Ramadhan
b. Puasa Kafarat
c. Puasa Nazar

Wanita boleh meninggalkan puasa;

1. Sakit
2. Musafir
3. Hamil dan menyusui
4. Wanita tua
5. Haidh dan nifas

Syarat Wajib puasa:

a. Muslimah
b. Baligh
c. Berakal
d. Sehat
e. Mukim
f. Suci dari haidh dan nifas

Rukun Puasa:

a. Niat
b. Menahan diri dari yang membatalkan puasa mulai terbit fajar hingga terbenam matahari

Adab puasa:

1. Makan sahur
2. Tidak mengerjakan perkara yang bertentangan dengan nilai puasa seperti berbohong
3. Bersikap dermawan
4. Menyegerakan berbuka
5. Membaca doa ketika berbuka
6. Berbuka dengan ruthob (kurma segar)


Yang boleh dillakukan wanita saat berpuasa;

1. Melakukan hubungan suami istri pada malam hari
2. Masih dalam keadaan junub pada waktu shubuh
3. Mandi dan membasahi kepala jika hari terlalu panas
4. Berkumur dan memasukkan air ke dalam hidung
5. Memakai celak mata
6. Memakai parfum yang wajar
7. Memakai obat tetes mata
8. Suntik
9. Menggosok gigi
10. Berbekam, donor darh
11. Mencicipi makanan tapi tidak boleh ditelan
12. Makan dan minum karena lupa
13. Muntah yang tidak disengaja

Yang membatalkan puasa:

1. Membatalkan puasa dan hanya wajib mengqadha:

a. Makan dan minum dengan sengaja
b. Muntah dengan sengaja
c. Haidh dan nifas
d. Mengeluarkan air mani dengan sengaja dengan cara apapun
e. Niat tidak berpuasa
f. keluar dari Islam

2. Membatalakn puasa wajib mengqadha dan membayar kafarat:

-Berhubungan suami istri di siang hari di bulan Ramadhan

Shabar dan Syukur




Segala sesuatu di dunia ini, pada hakekatnya memiliki daya tarik dan
pesona keindahan. Seperti gelapnya malam akan terasa indah, manakala ada
bintang yang berkerlap-kerlip dan bulan purnama muncul. Burung merak
memiliki daya tarik, disebabkan oleh bulunya yang indah warna-warni.
Burung Beo memikat, karena suaranya yang indah dan pandai meniru. Emas,
mutiara, zamrud, kristal, banyak memikat orang, karena mempunyai pesona
yang memancar yaitu berupa kilauan sinarnya.
Nah sekarang bagaimana usaha manusia agar dirinya memiliki pesona yang
luar biasa? Maka disinilah Islam memberikan solusinya. Diantaranya melalui
sabar dan syukur yang mempunyai nilai penting untuk itu semua.
Secara etimologi, sabar (ash-shabr) berarti menahan (al-habs). Dari sini
sabar dimaknai sebagai upaya menahan diri dalam melakukan sesuatu atau
meninggalkan sesuatu untuk mencapai ridho Allah. Sabar, menurut Dzunnun
Al-Mishry, adalah menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan
agama dan bersikap tenang manakala terkena musibah, serta berlapang dada
dalam kefakiran di tengah-tengah medan kehidupan.
Lain lagi menurut syeikh Ibnu Qoyyim Al-jauziyah, bahwa sabar merupakan
budi pekerti yang bisa dibentuk oleh seseorang. Ia menahan nafsu, menahan
sedih, menahan jiwa dari kemarahan, menahan lidah dari merintih kesakitan,
dan juga menahan anggota badan dari melakukan yang tidak pantas. Sabar
merupakan ketegaran hati terhadap takdir dan hukum-hukum syari’at. Secara
umum sabar terbagi ke dalam tiga tingkatan.
Pertama, sabar dalam menghadapi sesuatu yang menyakitkan; musibah,
bencana, atau kesusahan.
Kedua, sabar dalam meninggalkan perbuatan maksiat.
Ketiga, sabar dalam menjalankan ketaatan.
Adapun contohnya apa yang terjadi pada nabi Ayyub, beliau ditinggalkan
oleh istri dan anak-anaknya tercinta meninggal dunia, kemudian ditambah
lagi dengan harta bendanya yang melimpah habis karena tertimpa bencana.
Inilah contoh sikap sabar dari yang pertama.
Adapun contoh selanjutnya, sebagaimana yang terjadi pada nabi Yusuf, Allah
SWT menguji kesabaran Yusuf dengan ujian yang lebih berat, yaitu rayuan
Siti Zulaikha, seorang wanita cantik lagi terpandang. Namun, dengan
kesabaran dan keteguhan iman, Nabi Yusuf pun mampu melewati ujian ini
dengan selamat. Padahal, saat itu Yusuf pun menyukai Zulaikha, dan suasana
pun sangat mendukung untuk melakukan maksiat.
Sedangkan contoh yang ketiga adalah kesabaran yang di miliki oleh nabi
Ibrahim dan anaknya Ismail, beliau berdua dengan tetap sabar dan taat atas
perintah Allah, meskipun saat itu sang ayah akan menyembelih anaknya
sendiri. Inilah bukti kesabaran dalam menjalani ketaatan atas
perintah-Nya.
Sabar itu indah, andaikata kita bisa memaknainya dengan benar.
Manusia seringkali berlaku egois. Ketika menginginkan sesuatu, ia berdoa
habis-habisan, sungguh-sungguh demi tercapai keinginannya. Tatkala
berhasil, ia pun melupakan Allah. Bahkan ia menganggap bahwa keberhasilan
itu adalah hasil jerih payah dirinya sendiri. Sebaliknya, saat ia gagal,
ia kecewa karenanya. Bahkan berburuk sangka kepada Allah. Padahal, rasa
kecewa, sedih, dan kesal itu lahir karena manusia terlalu berharap bahwa
kehendak Allah harus selalu cocok dengan keinginanya. Jelas dalam hal ini
ia melupakan sikap sabar dan syukur nikmat. Karenanya, beruntunglah orang
yang memiliki sikap sabar ketika musibah datang menimpa dan memiliki
syukur ketika keberuntungan datang menerpa. Dan dari sini pulalah kita
tahu bahwa antara sabar dan syukur merupakan dua hal yang saling
beriringan, berkaitan satu sama lain.
Ulama tasawwuf terdahulu, mereka membagi-bagi syukur itu atas tiga bagian
yaitu:
Syukur dengan hati
Syukur dengan lisan
Syukur dengan seluruh anggota badan
Syukur pada hati; maksudnya adalah kita meyakini, menyadari, mengetahui
bahwa segala nikmat itu bersumber dan bermuara dari Allah SWT.
Adapun syukur dengan lisan adalah penilaian hati, getaran hati yang
menjalar kepada anggota badan melalui mulutnya yang senantiasa basah,
memuji nikmat-Nya dan menyebut nama Allah berupa wirid dan dzikir seperti
tahmid, takbir, tasbih dan bentuk puji-pujian yang lain terhadap Allah.
Termasuk dalam katagori syukur pada lisan ini ialah seorang yang sentiasa
memuji-muji nikmat Allah di hadapan manusia lainya, mengajak manusia
untuk sama-sama bersyukur dan menzhohirkan kesyukuran itu melalui ibadat
dan majlis-majlis ilmu yang bertujuan untuk mengajak manusia supaya taat
dan patuh kepada Allah Ta’ala.
Selanjutnya yang termasuk dengan bersyukur pada seluruh anggota adalah
kita telah menyadari bahwa seluruh anggota badan, jiwa dan raga milik
Allah semata. Kemudian kita menggunakan dan memakainya untuk hal-hal
kebaikan juga. Dari mulai mata, telinga, tangan, kaki, mulut dan
sebagainya itu semua milik Allah dan kita harus menggunakannya untuk
keridhoan Allah juga.
Itulah tadi bentuk-bentuk kesyukuran, maka hendaknya kita untuk senantiasa
bersyukur kepada Allah yakni dengan terus memuji, baik itu dengan hati,
lisan ataupun anggota badan. Maka syukur nikmat bisa berarti bahwa kita
sentiasa ingat, sadar, memahami, mengerti, mengucapkan, melaksanakan dan
senantiasa memandang kepada Yang Memberi Nikmat yaitu Allah SWT. Dan
barang siapa yang mensyukuri nikmat-Nya, maka Allah pun akan membalasnya.
Sebagaimana firman Allah SWT:
“Dan ketika Tuhanmu memaklumkan: ‘Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti
Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari
(nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih’.” (Q.s. Ibrahim: 7)
Inilah salah satu sikap dari orang-orang yang beriman. Mereka menyadari
kelemahan mereka, di hadapan Allah, mereka memanjatkan syukur dengan
rendah diri atas setiap nikmat yang diterima. Bukan hanya kekayaan dan
harta benda yang disyukuri. Karena orang-orang yang beriman mengetahui
bahwa Allah adalah Pemilik segala sesuatu, mereka juga bersyukur atas
kesehatan, keindahan, ilmu, hikmah, kepahaman, wawasan, dan kekuatan yang
dikaruniakan kepada mereka. Mereka bersyukur karena telah dibimbing dalam
kebenaran.
Syukur dan sabar adalah kunci bagi meningkatnya keimanan seseorang pada
Allah SWT. Berbagai sarana telah disediakan bagi tumbuhnya rasa syukur dan
sabar dalam diri, baik berupa kenikmatan ataupun ujian. Syukur dan sabar
juga merupakan sarana untuk meningkatkan kwalitas diri agar lebih berharga
dalam pandangan Allah SWT.
Keindahan orang-orang yang memiliki pribadi syukur dan sabar akan tampak
dalam pola hidup kesehariannya. Ia tidak akan memiliki sikap sombong
meskipun bergelimangan harta dan kemewahan. Pribadinya terasa sejuk dan
penuh keakraban. Namun demikian, ia juga penuh dengan kegigihan untuk
tetap berjuang di jalan Allah untuk meraih keridhaan-Nya. Sungguh indah
pribadi-pribadi yang memiliki sifat syukur dan sabar dalam dirinya,
sehingga tidak tampak sama sekali dalam dirinya penyesalan dalam
penderitaan, rasa putus asa dalam ujian. Karena keindahan pribadinya
itulah, Allah merelakan diri-Nya duduk bersama golongan orang-orang
seperti ini. Allah SWT berfirman:
“…Sesungguhnya Allah bersama orang-orang yang sabar” (QS. Al-Baqarah
[2]: 153).
Demikianlah urgensi sabar dan syukur. Keduanya akan membuat manusia
menjadi pribadi yang menarik dan mempersona bagi orang-orang yang di
sekitarnya. Mudah-mudahan kita termasuk golongan orang yang memiliki sifat
ini, sehingga kemuliaan diri akan mengiringi kita selamanya.
Wa Allahu ‘alamu bi showaab.

Hukum Menggabungkan aqiqah dan qurban


Mengenai permasalahan menggabungkan niat udh-hiyah (qurban) dan aqiqah, para ulama memiliki beda pendapat.
Pendapat pertamaUdh-hiyah (qurban) tidak boleh digabungkan dengan aqiqah. Pendapat ini adalah pendapat ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan salah satu pendapat dari Imam Ahmad.
Alasan dari pendapat pertama ini karena aqiqah dan qurban memiliki sebab dan maksud tersendiri yang tidak bisa menggantikan satu dan lainnya. ‘Aqiqah dilaksanakan dalam rangka mensyukuri nikmat kelahiran seorang anak, sedangkan qurban mensyukuri nikmat hidup dan dilaksanakan pada hari An Nahr (Idul Adha).
Al Haitami –salah seorang ulama Syafi’iyah- mengatakan, “Seandainya seseorang berniat satu kambing untuk qurban dan ‘aqiqah sekaligus maka keduanya sama-sama tidak teranggap. Inilah yang lebih tepat karena maksud dari qurban dan ‘aqiqah itu berbeda.”
Ibnu Hajar Al Haitami Al Makkiy dalam Fatawa Kubronya menjelaskan, “Sebagaimana pendapat ulama madzhab kami sejak beberapa tahun silam, tidak boleh menggabungkan niat aqiqah dan qurban. Alasannya, karena yang dimaksudkan dalam qurban dan aqiqah adalah dzatnya (sehingga tidak bisa digabungkan dengan lainnya, pen).  Begitu pula keduanya memiliki sebab dan maksud masing-masing. Udh-hiyah (qurban) sebagai tebusan untuk diri sendiri, sedangkan aqiqah sebagai tebusan untuk anak yang diharap dapat tumbuh menjadi anak sholih dan berbakti, juga aqiqah dilaksanakan untuk mendoakannya.”
Pendapat kedua: Penggabungan qurban dan ‘aqiqah itu dibolehkan. Menurut pendapat ini, boleh melaksanakan qurban sekaligus dengan niat ‘aqiqah atau sebaliknya. Inilah salah satu pendapat dari Imam Ahmad, pendapat ulama Hanafiyah, pendapat Al Hasan Al Bashri, Muhammad bin Sirin dan Qotadah.
Al Hasan Al Bashri mengatakan, “Jika seorang anak ingin disyukuri dengan qurban, maka qurban tersebut bisa jadi satu dengan ‘aqiqah.” Hisyam dan Ibnu Sirin mengatakan, “Tetap dianggap sah jika qurban digabungkan dengan ‘aqiqah.”
Al Bahuti –seorang ulama Hambali- mengatakan, “Jika waktu aqiqah dan penyembelihan qurban bertepatan dengan waktu pelaksanaan qurban, yaitu hari ketujuh kelahiran atau lainnya bertepatan dengan hari Idul Adha, maka boleh melakukan aqiqah sekaligus dengan niat qurban atau melakukan qurban sekaligus dengan niat aqiqah. Sebagaimana jika hari ‘ied bertepatan dengan hari Jum’at, kita melaksanakan mandi jum’at sekaligus dengan niat mandi ‘ied atau sebaliknya.”
Pendapat ini juga dipilih oleh Syaikh Muhammad bin Ibrahim rahimahullah. Beliau mengatakan, “Jika qurban dan ‘aqiqah digabungkan, maka cukup dengan satu sembelihan untuk satu rumah. Jadi, diniatkan qurban untuk dirinya, lalu qurban itu juga diniatkan untuk ‘aqiqah.
Sebagian mereka yang berpendapat demikian, ada yang memberi syarat bahwa aqiqah dan qurban itu diatasnamakan si kecil. Pendapat yang lainnya mengatakan bahwa tidak disyaratkan demikian. Jika seorang ayah berniat untuk berqurban, maka dia juga langsung boleh niatkan aqiqah untuk anaknya.” Intinya, Syaikh Muhammad bin Ibrahim membolehkan jika qurban diniatkan sekaligus dengan aqiqah.
Point Penting dalam Penggabungan Niat
Perlu diketahui terlebih dahulu bahwa penggabungan niat  diperbolehkan jika memang memenuhi dua syarat:
1.      Kesamaan jenis.
2.      Ibadah tersebut bukan ibadah yang berdiri sendiri, artinya ia bisa diwakili oleh ibadah sejenis lainnya.
Kami contohkan di sini, bolehnya penggabungan niat shalat tahiyatul masjid dengan shalat sunnah rawatib. Dua shalat ini jenisnya sama yaitu sama-sama shalat sunnah. Mengenai shalat tahiyatul masjid, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إذَا دَخَلَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلَا يَجْلِسْ حَتَّى يُصَلِّيَ رَكْعَتَيْنِ
Jika salah seorang dari kalian memasuki masjid, maka janganlah dia duduk sampai dia mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (shalat sunnah tahiyatul masjid).” Maksud hadits ini yang penting mengerjakan shalat sunnah dua raka’at ketika memasuki masjid, bisa diwakili dengan shalat sunnah wudhu atau dengan shalat sunnah rawatib. Shalat tahiyatul masjid bukan dimaksudkan dzatnya. Asalkan seseorang mengerjakan shalat sunnah dua raka’at (apa saja shalat sunnah tersebut) ketika memasuki masjid, ia berarti telah melaksanakan perintah dalam hadits di atas.
Namun untuk kasus aqiqah dan qurban berbeda dengan shalat sunnah awatib dan shalat sunnah tahiyatul masjid. Qurban dan aqiqah memang sama-sama sejenis yaitu sama-sama daging sembelihan. Namun keduanya adalah ibadah yang berdiri sendiri dan tidak bisa digabungkan dengan lainnya. Qurban untuk tebusan diri sendiri, sedangkan aqiqah adalah tebusan untuk anak. Lihat kembali penjelasan Ibnu Hajar Al Makki di atas.
Jalan Keluar dari Masalah
Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin pernah ditanya mengenai hukum menggabungkan niat udh-hiyah (qurban) dan ‘aqiqah, jika Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak?
Syaikh rahimahullah menjawab, “Sebagian ulama berpendapat, jika hari Idul Adha bertepatan dengan hari ketujuh kelahiran anak, kemudian dilaksanakan udh-hiyah (qurban), maka tidak perlu lagi melaksanakan aqiqah (artinya qurban sudah jadi satu dengan aqiqah, pen). Sebagaimana pula jika seseorang masuk masjid dan langsung melaksanakan shalat fardhu, maka tidak perlu lagi ia melaksanakan shalat tahiyatul masjid. Alasannya, karena dua ibadah tersebut adalah ibadah sejenis dan keduanya bertemu dalam waktu yang sama. Maka satu ibadah sudah mencakup ibadah lainnya.
Akan tetapi, saya sendiri berpandangan bahwa jika Allah memberi kecukupan rizki, (ketika Idul Adha bertepatan dengan hari aqiqah), maka hendaklah ia berqurban dengan satu kambing, ditambah beraqiqah dengan satu kambing (jika anaknya perempuan) atau beraqiqah dengan dua kambing (jika anaknya laki-laki).”
Kesimpulan
1.      Dari dua pendapat di atas, kami lebih condong pada pendapat pertama yang menyatakan bahwa penggabungan niat antara aqiqah dan qurban tidak diperbolehkan, karena walaupun ibadahnya itu sejenis namun maksud aqiqah dan qurban adalah dzatnya sehingga tidak bisa digabungkan dengan yang lainnya. Pendapat pertama juga lebih hati-hati dan lebih selamat dari perselisihan yang ada.
2.      Jika memang aqiqah bertepatan dengan qurban pada Idul Adha, maka sebaiknya dipisah antara aqiqah dan qurban.
3.      Jika mampu ketika itu, laksanakanlah kedua-duanya. Artinya laksanakan qurban dengan satu kambing atau ikut urunan sapi, sekaligus laksanakan aqiqah dengan dua kambing (bagi anak laki-laki) atau satu kambing (bagi anak perempuan).
4.      Jika tidak mampu melaksanakan aqiqah dan qurban sekaligus, maka yang lebih didahulukan adalah ibadah udh-hiyah (qurban) karena waktunya bertepatan dengan hari qurban dan waktunya cukup sempit. Jika ada kelapangan rizki lagi, barulah ditunaikan aqiqah.
Wallahu a’lam bish showab.

HIKMAH IBADAH QURBAN




Tidak ada yang sia-sia dalam setiap ibadah yag Allah syariatkan kepada manusia. Semuanya itu pasti ada hikmahnya. Hanya kita saja yang kadang belum mampu menemukan dan mendapatinya. Tapi kalau saja kita mau menelusurinya pasti kita akan menafikan sia-sia. Termasuk dalam pensyariatan ibadah qurban. Setidaknya ada beberapa hikmah yang dapat kita jadikan pelajaran, di antaranya adalah:

1. Keikhlasan dan ketulusan
Yang sangat mengagumkan dari peristiwa sejarah qurban Nabi Ibrahim adalah keikhlasan dan ketulusan dalam menjalankan perintah Allah tanpa ada rasa berat hati, beban, ataupun ketidak tulusan dalam menjalankan perintah Allah . Memang Nabi Ibrahim sebagai manusia tentu akan merasa berat ketika mendapatkan perintah dari Allah untuk menyembelih anaknya, yaitu nabi Ismail. Tapi kecintaan, keimanan dan ketaatan Nabi Ibrahim kepada Allah jauh lebih besar daripada kecintaan terhadap anak, istri, harta, bahkan dunia dan seisinya, menjadikan perintah yang terasa berat tersebut terasa ringan, juga disisi lain Nabi Ibrahimpun yakin bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan mereka dan Allah akan memberikan yang terbaik untuk mereka.

2. Kesabaran
Bila kita renungi, peristiwa yang terjadi kepada Nabi Ibrahim dengan adanya perintah untuk menyembelih anaknya merupakan suatu peristiwa luar biasa yang membutuhkan tingkat kesabaran yang luar biasa. Apalagi anak yang harus diqurbankan adalah seorang anak shaleh yang telah dinanti-nantikannya selama puluhan tahun, dan ketika apa yang mereka nanti-nantikan tersebut hadir, lalu ada perintah untuk menyembelihnya, tentu ini merupakan suatu hal yang sangat berat dilakukan untuk ukuran manusia biasa.

Yang luar biasa adalah kesabaran ini bukan hanya dimiliki oleh Nabi Ibrahim saja, tetapi dimiliki oleh seluruh keluarga, baik anaknya sebagai orang yang menjadi korban, ataupun istrinya sebagai seorang ibu yang telah melahirkan anak yang akan dikorbankan. Sekali lagi dalam menjalankan perintah ini sangat dituntut adanya kesabaran yang luar biasa, dan hal ini sudah dibuktikan oleh keluarga Nabi Ibrahim, sebagaimana yang dikisahkan Allah dalam Al-Quran :

“Maka tatkala sang putra itu berumur dewasa dan bisa berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku bermimpi aku menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!”. Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.

Tatkala keduanya telah berserah diri dan Ibrahim membaringkan anaknya atas pelipisnya, Kami berseru dan memanggilnya: “Hai Ibrahim, sesungguhnya kamu telah meyakini mimpi kamu itu. Sesungguhnya demikianlah, Kami memberi balasan kepada orang-orang yang berbuat baik. Sesungguhnya ini benar-benar merupakan ujian yang nyata. Dan Kami tebus putra itu dengan seekor (kambing) sembelihan yang besar. Dan Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian”. (QS. Ash-Shaaffaat, ayat 102-108).

3. Ketaatan
Perintah yang dijalankan Nabi Ibrahim untuk menyembelih anaknya yang dicintai membuktikan ketaatan yang luar biasa kepada Allah. Nabi Ibrahim telah menjadikan Allah diatas segala-galanya, termasuk anak dan istrinya. Allah berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 131: Artinya: “Ketika Tuhannya berfirman kepadanya: “Tunduk patuhlah!” Ibrahim menjawab: “Aku tunduk patuh kepada Tuhan semesta alam”.

Dalam surat Al-Baqarah ayat 133 Allah berfirman : Artinya : “Adakah kamu hadir ketika Ya’qub kedatangan maut, ketika ia berkata kepada anak-anaknya: “Apa yang kamu sembah sepeninggalku?” Mereka menjawab: “Kami akan menyembah Tuhanmu dan Tuhan nenek moyangmu, Ibrahim, Ismail dan Ishaq, Tuhan Yang Maha Esa dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya”.

Demikian pula halnya dengan sang istri yaitu Hajar, wanita shalihah yang mempunyai ketaatan yang luar biasa kepada Allah , ketika mendengar perintah Allah dari suaminya beliau tidak berusaha menentangnya, karena ini adalah perintah Allah yang harus ditaati. Begitupun dengan anaknya yang akan menjadi “korban” tidak berusaha untuk mencegah atau mempengaruhi ayahnya untuk tidak melaksanakan perintah tersebut, malah sebaliknya, ia meyakinkan ayahnya, bahwa jka memang itu adalah perintah Allah , maka harus dilaksanakan. Allah mengabadikan perkataan Nabi Ismail kepada ayahnya dalam Alqur’an sehubungan dengan peristiwa ini:

Artinya: “Maka tatkala sang putra itu berumur dewasa dan bisa berusaha bersama Ibrahim, Ibrahim berkata: “Hai anakku, sesungguhnya aku bermimpi aku menyembelihmu, maka pikirkanlah bagaimana pendapatmu!”. Ia menjawab: “Hai bapakku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.” (QS. Ash-Shaffat, ayat 102).

Itulah ketaatan yang dicontohkan oleh keluarga Nabi Ibrahim yang merupakan contoh ketaatan yang harus diteladani. Dan buah dari ketaatan ini adalah sebagaimana yang difirmankan Allah: Artinya: “kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.” (QS. Ash-Shaffat, ayat 109).

4. Pengorbanan
Kisah penyembelihan seorang anak oleh ayahnya dikarenakan ketaatannya kepada Allah merupakan kisah pengorbanan yang luar biasa. Pengorbanan yang bukan hanya dibuktikan oleh Nabi Ibrahim saja sebagai seorang ayah, tapi juga dibuktikan oleh Ismail dan Hajar sebagai seorang anak dan istri. Ibrahim sebagai seorang ayah tentu tidak akan mau membunuh seseorang yang menjadi darah dagingnya sendiri, apalagi yang akan dikorbankan adalah orang yang selama ini dinanti-nantikan selama puluhan tahun.

Begitupun dengan Hajar, sang ibu, tentu tidak akan pernah berharap atau membayangkan bahwa anak satu-satunya yang dinanti-nantikan akan dikorbankan oleh ayahnya sendiri. Ismailpun sebagai seorang anak yang masih muda tidak akan pernah membayangkan bahwa suatu saat nyawanya akan terlepas dari jasad oleh ayahnya sendiri. Tapi demi ketaatan kepada Allah yang mereka sendiri yakin bahwa Allah tidak akan mendhalimi hambanya maka merekapun ikhlas menjalankan perintah Allah.

5. Keimanan
Ketaatan adalah buah dari keimanan, keimanan hadir dari keyakinan, dan keyakinan tumbuh karena adanya hujjah dan pembuktian. Keimanan keluarga Nabi Ibrahim merupakan keimanan yang didasarkan pada keyakinan yang dalam karena mereka telah melihat bukti nyata tentang eksistensi Tuhan yang diyakini dan diimaninya. Dunia dan seisinya adalah bukti eksistensi Tuhan, bahkan jagat raya yang memiliki bermilyar-milyar galaksi merupakan bukti yang nyata akan eksistensi Tuhan.

Itu semua adalah bukti yang membuahkan keimanan pada diri Nabi Ibrahim. Allah telah mengisahkan dalam surat Al-An’am ayat 75-79 tentang pencarian Tuhan yang dilakukan Nabi Ibrahim, yang menjadikan alam raya sebagai pembuktian adanya Tuhan. Artinya: “Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Ibrahim tanda-tanda keagungan di langit dan bumi dan agar dia termasuk orang yang yakin. Ketika malam telah gelap, dia melihat sebuah bintang dia berkata: “Inilah Tuhanku”, tetapi tatkala bintang itu tenggelam dia berkata: “Saya tidak suka kepada yang tenggelam.”

Kemudian tatkala dia melihat bulan terbit dia berkata: “Inilah Tuhanku”. Tetapi setelah bulan itu terbenam, dia berkata: “Sesungguhnya jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang yang sesat.”

Kemudian tatkala ia melihat matahari terbit, dia berkata: “Inilah Tuhanku, ini yang lebih besar”. Maka tatkala matahari itu terbenam, dia berkata: “Hai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Sesungguhnya aku menghadapkan diriku kepada Rabb yang menciptakan langit dan bumi, dengan cenderung kepada agama yang benar, dan aku bukanlah termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan.”

Disisi lain, Allah telah memberikan bukti secara langsung kepada Nabi Ibrahim yang semakin menambah keyakinan dan keimanannya, sebagaimana yang dikisahkan dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 260 :

Artinya: “Dan ketika Ibrahim berkata: “Ya Tuhanku, perlihatkanlah kepadaku bagaimana Engkau menghidupkan orang-orang mati.” Allah berfirman: “Belum yakinkah kamu ?” Ibrahim menjawab: “Aku telah meyakininya, akan tetapi agar hatiku tetap mantap.

Allah berfirman: “ambillah empat ekor burung, lalu cincanglah semuanya olehmu. “Lalu letakkan diatas tiap-tiap satu bukit satu bagian dari bagian-bagian itu, kemudian panggillah mereka, niscaya mereka datang kepadamu dengan segera.” Dan ketahuilah bahwa Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”

Buah dari apa yang dialami oleh Nabi Ibrahim adalah keimanan dan keyakinan yang sangat dalam kepada Allah, sehingga dari keimanan dan keyakinan yang dalam kepada Allah, melahirkan hal-hal sebagaimana yang telah disebutkan diatas, yaitu ketulusan dan keikhlasan, kesabaran, juga ketaatan. Sehingga apapun bentuk yang diperintahkan Allah, niscaya akan dilaksanakan dengan penuh keikhlasan, kesabaran dan ketundukan. Dan kisah pengorbanan Nabi Ibrahim merupakan pembuktian kualitas keimanannya kepada Allah.

TIPS KELUARGA SAKINAH



Pembaca yang budiman, telah disebutkan tadi bahwasanya setiap pribadi, terkhusus mereka yang telah berumah tangga, pasti dan sangat berkeinginan untuk merasakan kehidupan yang sakinah, sehingga kita menyaksikan berbagai macam cara dan usaha serta berbagai jenis metode ditempuh, yang mana semuanya itu dibangun diatas presepsi yang berbeda dalam mencapai tujuan kehidupan yang sakinah tadi. Maka nampak di pandangan kita sebagian orang ada yang berusaha mencari dan menumpuk harta kekayaan sebanyak-banyaknya, karena mereka menganggap bahwa dengan harta itulah akan diraih kehidupan yang sakinah. Ada pula yang senantiasa berupaya untuk menyehatkan dan memperindah tubuhnya, karena memang di benak mereka kehidupan yang sakinah itu terletak pada kesehatan fisik dan keindahan bentuk tubuh. Disana ada juga yang berpandangan bahwa kehidupan yang sakinah bisa diperoleh semata-mata pada makanan yang lezat dan beraneka ragam, tempat tinggal yang luas dan megah, serta pasangan hidup yang rupawan, sehingga mereka berupaya dengan sekuat tenaga untuk mendapatkan itu semua. Akan tetapi, pembaca yang budiman, perlu kita ketahui dan pahami terlebih dahulu apa sebenarnya hakekat kehidupan yang sakinah dalam sebuah kehidupan rumah tangga.
Sesungguhnya hakekat kehidupan yang sakinah adalah suatu kehidupan yang dilandasi mawaddah warohmah (cinta dan kasih sayang) dari Allah subhanahu wata’alaPencipta alam semesta ini. Yakni sebuah kehidupan yang dirihdoi Allah, yang mana para pelakunya/orang yang menjalani kehidupan tersebut senantiasa berusaha dan mencari keridhoan Allah dan rasulNya, dengan cara melakukan setiap apa yang diperintahkan dan meninggalkan segala apa yang dilarang oleh Allah dan rasulNya.
Maka kesimpulannya, bahwa hakekat sebuah kehidupan rumah tangga yang sakinah adalah terletak pada realisasi/penerapan nilai-nilai agama dalam kehidupan berumah tangga yang bertujuan mencari ridho Allah subhanahu wata’ala. Karena memang hakekat ketenangan jiwa (sakinah) itu adalah ketenangan yang terbimbing dengan agama dan datang dari sisi Allah subhanahu wata’ala, sebagaimana firman Allah (artinya):
“Dia-lah yang telah menurunkan sakinah (ketenangan) ke dalam hati orang-orang yang beriman agar keimanan mereka bertambah di samping keimanan mereka (yang telah ada).” (Al Fath: 4)
BIMBINGAN RASULULLAH DALAM KEHiDUPAN BERUMAH TANGGA
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selaku uswatun hasanah (suri tauladan yang baik) yang patut dicontoh telah membimbing umatnya dalam hidup berumah tangga agar tercapai sebuah kehidupan rumah tangga yang sakinah mawaddah warohmah. Bimbingan tersebut baik secara lisan melalui sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallammaupun secara amaliah, yakni dengan perbuatan/contoh yang beliau shalallahu ‘alaihi wasallam lakukan. Diantaranya adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallamsenantiasa menghasung seorang suami dan isteri untuk saling ta’awun (tolong menolong, bahu membahu, bantu membantu) dan bekerja sama dalam bentuk saling menasehati dan saling mengingatkan dalam kebaikan dan ketakwaan, sebagaimana sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
اسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ فَإِنَّ الْمَرْأَةَ خُلِقَتْ مِنْ ضِلَعٍ وَإِنَّ أَعْوَجَ شَيْءٍ فِي الضِّلَعِ أَعْلَاهُ فَإِنْ ذَهَبْتَ تُقِيمُهُ كَسَرْتَهُ وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ فَاسْتَوْصُوا بِالنِّسَاءِ
“Nasehatilah isteri-isteri kalian dengan cara yang baik, karena sesungguhnya para wanita diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok dan yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah bagian atasnya (paling atas), maka jika kalian (para suami) keras dalam meluruskannya (membimbingnya), pasti kalian akan mematahkannya. Dan jika kalian membiarkannya (yakni tidak membimbingnya), maka tetap akan bengkok. Nasehatilah isteri-isteri (para wanita) dengan cara yang baik.” (Muttafaqun ‘alaihi. Hadits shohih, dari shahabat Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu)
Dalam hadits tersebut, kita melihat bagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallammembimbing para suami untuk senantiasa mendidik dan menasehati isteri-isteri mereka dengan cara yang baik, lembut dan terus-menerus atau berkesinambungan dalam menasehatinya. Hal ini ditunjukkan dengan sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam:
وَإِنْ تَرَكْتَهُ لَمْ يَزَلْ أَعْوَجَ
yakni “jika kalian para suami tidak menasehati mereka (para isteri), maka mereka tetap dalam keadaan bengkok,” artinya tetap dalam keadaan salah dan keliru. Karena memang wanita itu lemah dan kurang akal dan agamanya, serta mempunyai sifat kebengkokan karena diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok sebagaimana disebutkan dalam hadits tadi, sehingga senantiasa butuh terhadap nasehat.
Akan tetapi tidak menutup kemungkinan juga bahkan ini dianjurkan bagi seorang isteri untuk memberikan nasehat kepada suaminya dengan cara yang baik pula, karena nasehat sangat dibutuhkan bagi siapa saja. Dan bagi siapa saja yang mampu hendaklah dilakukan. Allah subhanahu wata’ala berfirman (artinya):
“Dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran.” (Al ‘Ashr: 3)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الدِّيْنُ النَّصِيْحَةُ
“Agama itu nasehat.” (HR. Muslim no. 55)
Maka sebuah rumah tangga akan tetap kokoh dan akan meraih suatu kehidupan yang sakinah, insya Allah, dengan adanya sikap saling menasehati dalam kebaikan dan ketakwaan.
DIANTARA TIPS/CARA MERAIH KEHIDUPAN YANG SAKINAH
1. Berdzikir
Ketahuilah, dengan berdzikir dan memperbanyak dzikir kepada Allah, maka seseorang akan memperoleh ketenangan dalam hidup (sakinah). Allah subhanahu wata’alaberfirman (artinya):
“Ketahuilah, dengan berdzikir kepada Allah, (maka) hati (jiwa) akan (menjadi) tenang.”(Ar Ra’d: 28)
Baik dzikir dengan makna khusus, yaitu dengan melafazhkan dzikir-dzikir tertentu yang telah disyariatkan, misal:
أَسْتَغْفِرُالله ,
dan lain-lain, maupun dzikir dengan makna umum, yaitu mengingat, sehingga mencakup/meliputi segala jenis ibadah atau kekuatan yang dilakukan seorang hamba dalam rangka mengingat Allah subhanahu wata’ala, seperti sholat, shoum (puasa),shodaqoh, dan lain-lain.
2. Menuntut ilmu agama
Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَا اجْتَمَعَ قَوْمٌ فِي بَيْتٍ مِنْ بُيُوتِ اللهِ يَتْلُونَ كِتَابَ اللهِ وَيَتَدَارَسُونَهُ بَيْنَهُمْ إِلاَّ نَزَلَتْ عَلَيْهِمُ السَّكِيْنَةُ
“Tidaklah berkumpul suatu kaum/kelompok disalah satu rumah dari rumah-rumah Allah (masjid), (yang mana) mereka membaca Al Qur`an dan mengkajinya diantara mereka, kecuali akan turun (dari sisi Allah subhanahu wata’ala) kepada mereka as sakinah (ketenangan).” (Muttafaqun ‘alaihi. Hadits shohih, dari shahabat Abu Hurairahradhiallahu ‘anhu)
Dalam hadits diatas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberikan kabar gembira bagi mereka yang mempelajari Al Qur`an (ilmu agama), baik dengan mempelajari cara membaca maupun dengan membaca sekaligus mengaji makna serta tafsirnya, yaitu bahwasanya Allah akan menurunkan as sakinah (ketenangan jiwa) pada mereka.
Demikianlah diantara beberapa hal yang bisa dijadikan tips untuk meraih dan membina rumah tangga yang sakinah. Wallahu a’lam. Semoga kajian ringkas ini dapat kita terapkan dalam hidup berkeluarga sehingga Allah menjadikan keluarga kita keluarga yang sakinah mawaddah warohmah. Amiin, Ya Rabbal alamiin.