Kamis, 19 Desember 2013

Makalah MU'TAZILAH


 
BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Banyak aliran dan mazhab yang timbul sepanjang sejarah umat Islam. Mulai dari timbulnya aliran berlatarbelakang politik, yang kemudian aliran tersebut berevolusi dan memicu kemunculan aliran bercorak akidah (teologi), hingga bermacam mazhab Fikih, Ushul Fikih dan ilmu-ilmu keislaman lainnya.
Jika dilihat dengan kaca mata positif, maka beragamnya aliran dan mazhab dalam Islam itu menunjukkan bahwa umat Islam adalah umat yang kaya dengan corak pemikiran. Ini berarti umat Islam adalah umat yang dinamis, bukan umat yang statis dan bodoh yang tidak pernah mau berfikir.
Namun dari semua aliran yang mewarnai perkembangan umat Islam itu, tidak sedikit juga yang mengundang terjadinya konflik dan membawa kontroversi dalam umat, khususnya aliran yang bercorak atau berkonsentrasi dalam membahas masalah teologi. Satu diantara golongan/aliran itu adalah Mu’tazilah.
1
 
Banyak yang mengidentikkan Mu’tazilah dengan aliran sesat, cenderug merusak tatanan agama Islam, dan dihukum telah keluar dari ajaran Islam. Namun juga tidak sedikit yang menganggap Mu’tazilah sebagai main icon kebangkitan umat Islam di masa keemasannya, sehingga berfikiran bahwa umat Islam mesti menghidupkan kembali ide-ide aliran ini untuk kembali bangkit. Itu adalah sebagian dari sekian banyak fakta lapangan yang menunjukkan bahwa kelompok ini memang tergolong kontroversial.
Agar tidak terjebak dalam kontroversi dan kesalahpahaman tersebut, maka perlu dilakukan usaha-usaha untuk mengkaji kelompok ini secara objektif, dalam artian perlu adanya kajian mendalam di setiap sisinya. Karena itu penulis mencoba menguraikan beberapa hal yang berkaitan tentang Mu’tazilah dalam makalah ini tentang apa, siapa, dan bagaimana kaum Mu’tazilah itu?
B.     Rumusan Masalah
Untuk memperjelas arah pembahasan  penulis  akan membatasi pembahasan materi yaitu:
1.         Dari mana Asal Usul Mu’tazilah?
2.         Apa saja Ajaran-ajaran  Dasar  Mu’tazilah?
3.         Siapa Tokoh-tokoh Mu’tazilah?
4.         Bagaimana Pemikiran Mu’tazilah Tentang akal dan Wahyu?
C.     Tujuan Masalah
1.         Mengetahui Asal Usul Mu’tazilah dan Latar Belakang Munculnya
2.         Mengetahui Ajaran-ajaran  Dasar  Mu’tazilah
3.         Mengetahui Tokoh-tokoh Mu’tazilah
4.         Mengetahui Pemikiran Mu’tazilah Tentang akal dan Wahyu







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Asal Usul Mu’tazilah
Kelompok pemuja akal ini muncul di kota Bashrah (Irak) pada abad ke-2 Hijriyah, antara tahun 105-110 H, tepatnya di masa pemerintahan khalifah Abdul Malik bin Marwan dan khalifah Hisyam bin Abdul Malik. Pelopornya adalah seorang penduduk Bashrah mantan murid Al-Hasan Al-Bashri yang bernama Washil bin Atha’ Al-Makhzumi Al-Ghozzal. Ia lahir di kota Madinah pada tahun 80 H dan wafat pada tahun 131 H.  
Kemunculan mu`tazilah ini bermula dari lontaran ketidaksetujuan dari Washil Bin Atha` atas pendapat Hasan Basri yang mengatakan bahwa seorang muslim yang melakukan kefasikan (dosa besar), maka di akhirat nanti akan disiksa lebih dahulu sesuai dengan dosanya, kemudian akan dimasukkan ke jannah sebagai rahmat Allah atasnya, Washil Bin Atha` menyangkal pendapat tersebut. Sebaliknya dia mengatakan bahwa kedudukan orang mukmin yang fasik tersebut tidak lagi mukmin dan tidak juga kafir. Sehingga kedudukannya tidak di neraka dan tidak pula di surga. namun dia berada dalam satu posisi antara iman dan kufur. Antara surga dan neraka (al-manzilah baina manzilatain).
Di dalam menyebarkan ajarannya, ia didukung oleh ‘Amr bin ‘Ubaid (seorang gembong Qadariyyah kota Bashrah) setelah keduanya bersepakat dalam suatu pemikiran bid’ah, yaitu mengingkari taqdir dan sifat-sifat Allah[1].
Seiring dengan bergulirnya waktu, kelompok Mu’tazilah semakin berkembang dengan sekian banyak sektenya. Hingga kemudian para tokoh mereka mendalami buku-buku filsafat yang banyak tersebar di masa khalifah Al-Makmun. Maka sejak saat itulah manhaj mereka benar-benar terwarnai oleh manhaj ahli kalam (yang berorientasi pada akal dan mengabaikan dalil-dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah)[2].
Oleh karena itu, tidak aneh bila kaidah nomor satu mereka berbunyi: “Akal lebih didahulukan daripada syariat (Al Qur’an, As Sunnah dan Ijma’dan akal-lah sebagai kata pemutus dalam segala hal. Bila syariat bertentangan dengan akal, menurut persangkaan mereka maka sungguh syariat tersebut harus dibuang atau ditakwil[3].
Secara etimologis, kata “Mu’tazilah” berarti golongan yang mengasingkan atau memisahkan diri. Dalam lembaran sejarah Islam, golongan ini pernah terjadi di kala pertikaian antara Ali bin Abi Thalib dengan Muawiyah bin Abi Sufyan. Pada saat itu terdapat beberapa orang sahabat Nabi yang tidak menginginkan terlibat dalam pertikaian tersebut. Mereka tidak ikut membaiat Ali, namun mereka memilih bersikap netral. Beberapa tokoh yang memiliki sikap semacam ini adalah: Sa’d bin Abi Waqqasy, Abdullah bin Umar, dan Utsman bin Zaid. Orang‑orang itu disebut kelompok Mu’tazilah, karena mengasingkan diri dari keterlibatan dalam pertikaian politik yang tengah terjadi antara Ali dan Mu’awiyah[4].
Apabila kata Mu’tazilah dikaitkan dalam konteks aliran‑aliran teologi, maka Mu’tazilah adalah suatu nama golongan dalam Islam yang membawa persoalan‑persoalan teologi yang lebih mendalam dan bersifat filosofis dari pada persoalan‑persoalan yang dibawa kaum Khawarij dan Murji’ah yang dalam pembahasannya banyak memakai akal, sehingga golongan ini sering disebut kaum rasionalis Islam[5].
Sebenarnya nama Mu’tazilah bukanlah produk dari orang‑orang Mu’tazilah sendiri, melainkan gelar yang diberikan oleh pihak lain untuknya, ketika Hasan al- Basri mendengar kebid`ahan Washil Ibn Atha`, maka dia mengusirnya dari majelis, lalu Washil Ibn Atha` memisahkan diri kemudian diikuti oleh para sahabatnya yang bernama Amr bin Ubaid. Maka pada saat itulah orang-orang menyebut mereka telah memisahkan diri dari pendapat umat. Sejak itulah pengikut mereka berdua disebut Mu`tazilah.

B.     Ajararan-Ajaran Dasar Mu’tazilah
Ajaran-ajaran dasar golonga Mu’tazilah berasal dair Ibn Atha, pokok-pokok pikiran itu dirumuskan dalam ajarannya yang disebut “Al-ushul al-Khamsah”, atau Lima ajaran dasar yaitu :
1.  Al-Tauhid
2.  Al-‘adl
3.  Al-wa’d wa al-wa’id
4.  Al-manzilah bain al-manzilatain
5.  Al-‘amr bi al-ma’ruf wa al-nahi an al-munkar
1.            At-Tauhid (Ke Maha Esaan Tuhan)
            Tauhid adalah dasar Islam pertama dan utama. Sebenarnya tauhid ini bukan milik golongan Mu’tazilah saja. Tetapi mereka menafsirkan sedemikian rupa dan mempertahankannya dengan sungguh-sungguh. Maka mereka menyebut diri mereka dengan ahl al-tauhid.
Mu’tazilah berpendapat  bahwa Allah SWT itu Qadim dan yang selain-Nya hadits (baru), Dia Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Sempurna yang tidak ada tandingan-Nya serta tidak pantas disamakan dengan sesuatu apapun, itu saja – bagi mereka – cukup untuk menerangkan tentang Allah itu. Sehingga dengan inti ajaran Tauhid seperti ini dan dibarengi dengan kemampuan logika mereka , melahirkan ide-ide berikut :
           a.  Tidak mengakui sifat-sifat Allah SWT.
            Mu’tazilah mengakui bahwa Allah SWT memiliki sifat seperti al-’Alim, al-Qadim, al-Qahir, al-Qadir, al-Qawi, al-’Adl, al-Murid dan sebagainya yang terkandung dalam al-asma’ al-husna, karena al-Qur’an mengakui hal tersebut.
Selanjutnya mereka membagi sifat-sifat itu ke dalam dua kategori: Pertama, sifat yang berkenaan dengan esensi Tuhan, disebut Shifah dzatiyah, dan Kedua, sifat yang berkenaan dengan tindakan Allah dan berkaitan dengan makhluk, dikategorikan Shifat fi’liyah. Hanya saja Mu’tazilah tidak mengakui eksistensi sifat-sifat tersebut sebagai suatu tambahan terhadap Dzat Allah (za’idah ‘ala al-dzat) atau berada di luar Dzat (wara’ al-dzat) sebagaimana pandangan Asya’irah.
Mereka berpendapat bahwa sifat-sifat itu adalah Dzat itu sendiri (‘ain al-dzat) . Karena jika sifat itu za’idah ‘ala al-dzat, berarti dia berada diluar Dzat, dan akan menyebabkan banyaknya jumlah yang Qadim (ta’addud al-qudama’)[6], yaitu: Dzat Allah, Ilmu Allah, Kekuasaan Allah, Kehidupan Allah, Kehendak Allah dan seterusnya. Hal ini bertentangan dengan Tauhid, karena seharusnya yang Qadim itu hanya Dzat Allah. Oleh sebab itulah sebagian besar mereka mengatakan:
الله عالم بذاته لا بعلمه, و قادر بذاته لا بقدرته و مريد بذاته لا بارادته
                                                                                                   “Allah Mengetahui dengan Dzat-Nya, bukan dengan Ilmu-Nya, Berkuasa dengan Dzat-Nya bukan dengan Kuasa-Nya, dan Berkehendak dengan Dzat-Nya bukan dengan Kehendak-Nya”.
            b.   Mengatakan al-Qur’an makhluk.
            Mu’tazilah mengatakan bahwa Kalam tidak mungkin disamakan dengan sifat Ilmu dan Qudrah (Kuasa), sebab hakikat Kalam menurut Mu’tazilah adalah huruf-huruf yang teratur dan bunyi-bunyi yang jelas dan pasti, baik nyata maupun ghaib . Kalam bukanlah sesuatu yang memiliki hakikat logis, namun dia hanyalah sebuah istilah, yang tidak mungkin ada/terwujud kecuali melalui lidah. Dan Allah SWT sebagai Mutakallim (Yang Berfirman) menciptakan Kalam itu.
            Hakikat-hakikat yang mereka simpulkan inilah yang menyebabkan mereka mengatakan bahwa kalam itu adalah sesuatu yang bersifat baru (hadits), tidak bersifat qadim, sehingga pada gilirannya al-Qur’an sebagai Kalamullah adalah sesuatu yang hadits, dan sesuatu yang hadits itu adalah makhluk.
            Namun timbul banyak kerancuan dan kekacauan ketika mereka mencoba menjawab “bagaimana Allah menciptakan Kalam itu?”. Inti kekacauan itu dapat dilihat ketika mereka berhadapan dengan firman Allah QS Al-Nisa’ ayat 164:
وكللم الله موسى تكليما [النساء:١٦٤]
“dan Allah telah berbicara kepada Musa dengan langsung”
             Mu’tazilah mencoba mentakwil ayat ini dengan mengatakan bahwa Allah SWT menciptakan Kalam pada sebatang pohon yang kemudian kalam itu keluar dari pohon tersebut, lalu Musa as. mendengarnya, atau dengan bahasa lain Allah menciptakan kemampuan bagi pohon untuk mengeluarkan kalam yang akan disampaikan-Nya kepada Musa, lalu Musa as. mendengar Kalamullah melalui perantaraan pohon itu.
           Jadi Mu’tazilah mengatakan al-Qur’an makhluk adalah sebagai hasil nalar mereka bahwa perkataan (kalam) bukanlah salah satu sifat Allah yang Qadim seperti ilmu dan sebagainya, tapi kalam itu berupa kumpulan huruf yang teratur dan suara yang jelas, baik nyata atau ghaib.
           c.   Mengingkai bahwa Allah SWT dapat dilihat dengan mata telanjang.
           Mu’tazilah memandang bahwa pendapat yang mengatakan Allah dapat dilihat dengan mata telanjang di akhirat, membawa pada ide yang sangat bertentangan dengan Tauhid yaitu tasybih, menyamakan Allah SWT dengan makhluk. Karena menurut mereka, ru’yah (pandangan) adalah kontak sinar (ittishal syu’a') antara “yang melihat” dengan “yang dilihat”, dan mereka memberikan satu syarat agar ru’yah itu bisa terjadi yaitu binyah (tempat/media), dan ru’yah tersebut mesti berhubungan dengan benda nyata (maujud), dan Allah SWT bukanlah yang demikian, oleh karena itulah mereka mengatakan hal itu mustahil terjadi pada Allah SWT.
           Dengan pendapat yang demikian, mereka melakukan takwilan terhadap ayat yang menggambarkan kemungkinan terjadinya ru’yah tersebut, seperti ayat:
وجوه يوميذ نا ضرة – إلى ربها ناظره
“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Tuhannyalah mereka melihat.” (QS. al-Qiyamah: 22-23)
          Mereka mengatakan bahwa kata (ناظرة) di sana tidak berarti melihat (رؤية) malainkan menunggu (انتظر) dan kata (إلى) bukanlah huruf jar melainkan musytaq (pecahan kata) dari kata (الآلاء) yang berarti nikmat, sehingga maksud ayat adalah: “Wajah-wajah itu menanti nikmat dari Tuhannya”[7].
Mereka juga mentakwil ayat:
الله نور السموت و الارض
“Allah cahaya langit dan bumi” (QS. Al-Nur: 35)
           Dengan mengatakan bahwa bukan berarti Allah itu adalah cahaya yang bisa dilihat, melainkan Allah memberikan cahaya kepada langit dan bumi. Sedangkan terhadap hadits yang menyatakan orang mukmin di sorga bisa melihat Allah bahkan kondisinya sama dengan kondisi ketika kita melihat bulan purnama, hadits ini tidak diterima oleh Mu’tazilah dan mengatakan terdapat cacat pada Sanad-nya.
           d.    Mengingkari jihah (arah) bagi Allah.
            Ini sejalan dengan penjelasan mereka tentang kesempurnaan Allah SWT, yaitu: “Bukan yang memiliki batasan (dzi jihat) kanan, kiri, depan, belakang, atas maupun belakang dan tidak dibatasi oleh tempat”. Karena dengan menetapkan atau membatasi jihah bagi-Nya berarti menetapkan atau membatasi Allah pada suatu tempat dan tubuh (jism).
Ide seperti ini membawa mereka kepada pentakwilan kata-kata di dalam al-Qur’an yang menunjukkan tempat Allah SWT, seperti mentakwil kursi dengan ilmu-Nya, dan mentakwil istiwa’ (semayam) dengan berkuasa penuh (istila’) dan lain sebagainya.
           e.   Mentakwilkan ayat-ayat yang memberikan kesan adanya persamaan Tuhan    dengan manusia.

            Demikian juga halnya dengan semua ayat yang mengesankan bahwa Allah juga memiliki anggota tubuh seperti anggota tubuh manusia. Mereka mentakwil Wajah Allah dengan Dzat Allah itu sendiri, Tangan Allah dengan Kekuasaan, Kekuatan dan Nikmat Allah dan lain sebagainya.
Penolakan terhadap paham antropomorfistik bukan atas pertimbangan akal, melainkan memiliki rujukan yang sangat kuatdi dalam Al Quran. Mereka berpegang pada ayat:
[الشورى:١١].....ليس كمثله شئ......
Artinya: “...Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia....”
                                                                (QS. Asy Syura; 11)
Untuk menegaskan penilaiannya terhadap antropomorfisme, Mu’tazilah memberi takwil terhadap ayat-ayat secara lahir menggambarkan kejisiman Tuhan, yaitu dengan cara memalingkan arti kata-kata tersebut ke arti yang lain sehingga hilang kejisiman Tuhan. Misalnya kata tangan (QS. Shad:75)di artikan kekuasaan dan pada kontek yang lain tangan (QS. Al Maidah: 64) diartikan nikmat. Kata wajah (QS. Ar Rahman:27) diartikan esensi dan zat, sedangkan al arsy (QS. Thaha: 5) diartikan kekuasaan[8]
2.                   Al-Adl (Keadilan Tuhan)
           Kalau dengan al-tauhid Mu’tazilah ingin mensucikan diri tuhan dari persamaan dengan makhluk, maka dengan al-‘adl kaum Mu’tazilah ingin mensucikan perbuatan-perbuatan makhluk. Hanya Tuhan yang dapat berbuat adil. Tuhan tidak dapat berbuat dzalim, tetapi sebaliknya makhluk dapat berbuat dzalim, dan tidak dapat berbuat adil. Oleh karena itu mereka menyebut diri mereka dengan ahl al-tauhid wa al-‘adl.
Dengan dasar itu mereka menolak pendapat Jabariyah yang mengatakan bahwa manusia dalam semua perbuatannya tidak mempunyai kebebasan. Bertolak dari ajaran keadilan Tuhan ini maka Tuhan mesti memberikan hak-hak seseorang, dengan demikian Tuhan mempunyai kewajiban-kewajiban seperti memberikan rizqi bagi manusia, mengirimkan Rasul untuk menyampaikan wahyu kepada manusia, untuk membantu manusia dari kelemahan-kelemahan dan sebagainya. Tujuan diciptakannya manusia untuk beribadah kepada Nya. Agar tujuan tersebut berhasil, maka harus diutus Rasul[9]
3.                 Al-wa’d wa al-wa’id (Janji dan Ancaman)
            Dasar ajaran ini merupakan lanjutan dari ajaran tentang al-‘adl. Golongan Mu’tazilah yakni  bahwa janji tuhan akan memberikan upah atau pahala bagi orang yang berbuat baik, dan memberikan ancaman akan menyiksa orang yang berbuat jahat pasti dilaksanakan, karena sesuai dengan janji dan ancaman Tuhan. Janji Tuhan untuk memberi pahala masuk syurga bagi yang berbuat baik (al Muthi’) dan mengancam dengan siksa neraka atas orang yang durhaka (al ‘ashi)pasti terjadi, begitu pula janji Tuhan untuk memberi ampunan pada orang yang bertaubat nasuha pasti benar adanya[10]           
4.                  Al-Manzilah bain al-manzilatain (Posisi di antara dua posisi)
               Prinsip ini snagat penting dalam ajaran Mu’tazilah, karena merupakan awal persoalan yagn timbul dalam masalah teologi sehingga lahir golongan Mu’tazilah. Yaitu persoalan orang yang berdosa besar, ia mati belum sempat bertobat, orang tersebut tidak mukmin dan tidak pula kafir, tetapi fasiq, suatu posisi diantara dua posisi.
                Golongan Khawarij berpendapat bahwa orang tersebut menjadi kafir dan akan kekal di neraka. Golongan Murjiah berpendapat bahwa orang tersebut tetap mukmin, tidak kekal di neraka dan mengharapkan rahmat dan ampunan dari Allah. Dan golongan Mu’tazilah berpendapat bahwa orang tersebut tidak mukmin dan tidak kafir tetapi fasiq dan akan kekal di neraka, tetapi siksanya lebih ringan dari orang kafir. Pendapat ini merupakan pendapat di antara pendapat Khawarij dan pendapat Murjiah.
5.                  Al-amr bi al-ma’ruf wa al-nahi ‘an al-munkar (Perintah untuk berbuat baik dan larangan berbuat jahat).
               Ajaran ini sebenarnya bukan hanya dimiliki oleh golongan Mu’tazilah saja, tetapi juga dimiliki oleh semua umat Islam. Tetapi ada perbedaanya, yaitu pelaksanaan ajaran tersebut menurut Mu’tazilah, bila perlu harus diwujudkan atau dilaksanakan dengan paksaan atau kekerasan. Sedang golongan lain cukup dengan penjelasan saja.
             Ajaran dasar tentang amar ma’ruf nahi munkar sebenarnya sangat erat kaitannya dengan usaha pembinaan akhlak, karena hal itu berarti mendidik orang untuk berbuat baik dan melarang berbuat jahat. Ajaran ini dapat pula menjadi bukti bahwa Mu’tazilah amat menekankan pentingnya pendidikan akhlak, sebagai bukti konsep Iman dalam pandangan Mu’tazilah tidak cukup hanya dengan tashdiq (pembenaran) di hati, melainkan harus diikuti dengan amalan, dan iman bertambah dengan ketaatan dan berkurang dengan melakukan maksiat.
             Bagi Mu’tazilah, prinsip ini harus dilaksanakan oleh semua orang mukmin dengan seluruh daya upaya, baik berupa lisan, tangan maupun dengan pedang sekalipun, sebagaimana yang telah diajarkan Nabi SAW dalam sabdanya.
               Perbedaan paham mu’tazilah dengan yang lainnya mengenai ajaran kelima ini terletak pada tatana pelaksanaannya. Menurut Mu’tazilah, jika memang diperlukan , kekerasan dapat ditempuh untuk mewujudkan ajaran tersebut[11].
C.  Tokoh- Tokoh Mu’tazilah
1.      Wasil bin Atha.
              Wasil bin Atha adalah orang pertama yang meletakkan kerangka dasar ajaran Muktazilah. Adatiga ajaran pokok yang dicetuskannya, yaitu paham al-manzilah bain al-manzilatain, paham Kadariyah (yang diambilnya dari Ma’bad dan Gailan, dua tokoh aliran Kadariah), dan paham peniadaan sifat-sifat Tuhan. Dua dari tiga ajaran itu kemudian menjadi doktrin ajaran Muktazilah, yaitu al-manzilah bain al-manzilatain dan peniadaan sifat-sifat Tuhan.
2.      Abu Huzail al-Allaf.
             Abu Huzail al-‘Allaf (w. 235 H), seorang pengikut aliran Wasil bin Atha, mendirikan sekolah Mu’tazilah pertama di kotaBashrah. Lewat sekolah ini, pemikiran Mu’tazilah dikaji dan dikembangkan. Sekolah ini menekankan pengajaran tentang rasionalisme dalam aspek pemikiran dan hukum Islam.
              Aliran teologis ini pernah berjaya pada masa Khalifah Al-Makmun (Dinasti Abbasiyah). Mu’tazilah sempat menjadi madzhab resmi negara. Dukungan politik dari pihak rezim makin mengokohkan dominasi mazhab teologi ini. Tetapi sayang, tragedi mihnah telah mencoreng madzhab rasionalisme dalam Islam ini.
              Abu Huzail al-Allaf adalah seorang filosof Islam. Ia mengetahui banyak falsafah yunani dan itu memudahkannya untuk menyusun ajaran-ajaran Muktazilah yang bercorak filsafat. Ia antara lain membuat uraian mengenai pengertian nafy as-sifat. Ia menjelaskan bahwa Tuhan Maha Mengetahui dengan pengetahuan-Nya dan pengetahuan-Nya ini adalah Zat-Nya, bukan Sifat-Nya; Tuhan Maha Kuasa dengan Kekuasaan-Nya dan Kekuasaan-Nya adalah Zat-Nya dan seterusnya. Penjelasan dimaksudkan oleh Abu-Huzail untuk menghindari adanya yang kadim selain Tuhan karena kalau dikatakan ada sifat (dalam arti sesuatu yang melekat di luar zat Tuhan), berarti sifat-Nya itu kadim. Ini akan membawa kepada kemusyrikan.
               Ajarannya yang lain adalah bahwa Tuhan menganugerahkan akal kepada manusia agar digunakan untuk membedakan yang baik dan yang buruk, manusia wajib mengerjakan perbuatan yang baik dan menjauhi perbuatan yang buruk. Dengan akal itu pula menusia dapat sampai pada pengetahuan tentang adanya Tuhan dan tentang kewajibannya berbuat baik kepada Tuhan. Selain itu ia melahirkan dasar-dasar dari ajaran as-salãh wa al-aslah.
3.      Al-Jubba’i.
            Al-Jubba’i adalah guru Abu Hasan al-Asy’ari, pendiri aliran Asy’ariah. Pendapatnya yang masyhur adalah mengenai kalam Allah SWT, sifat Allah SWT, kewajiban manusia, dan daya akal.
            Mengenai sifat Allah SWT, ia menerangkan bahwa Tuhan tidak mempunyai sifat; kalau dikatakan Tuhan berkuasa, berkehendak, dan mengetahui, berarti Ia berkuasa, berkehendak, dan mengetahui melalui esensi-Nya, bukan dengan sifat-Nya. Lalu tentang kewajiban manusia, ia membaginya ke dalam dua kelompok, yakni kewajiban-kewajiban yang diketahui manusia melalui akalnya (wãjibah ‘aqliah) dan kewajiban-kewajiban yang diketahui melaui ajaran-ajaran yang dibawa para rasul dan nabi (wãjibah syar’iah).
4.      An-Nazzam
           Pendapat An Nazzam yang terpenting adalah mengenai keadilan Tuhan. Karena Tuhan itu Maha Adil, Ia tidak berkuasa untuk berlaku zalim. Dalam hal ini berpendapat lebih jauh dari gurunya, al-Allaf. Kalau Al-Allaf mangatakan bahwa Tuhan mustahil berbuat zalim kepada hamba-Nya, maka an-Nazzam menegaskan bahwa hal itu bukanlah hal yang mustahil, bahkan Tuhan tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat zalim. Ia berpendapat bahwa pebuatan zalim hanya dikerjakan oleh orang yang bodoh dan tidak sempurna, sedangkan Tuhan jauh dari keadaan yang demikian.
           Ia juga mengeluarkan pendapat mengenai mukjizat al-Quran. Menurutnya, mukjizat al-quran terletak pada kandungannya, bukan pada uslūb (gaya bahasa) dan balāgah (retorika)-Nya. Ia juga memberi penjelasan tentang kalam Allah SWT. Kalam adalah segalanya sesuatu yang tersusun dari huruf-huruf dan dapat didengar. Karena itu, kalam adalah sesuatu yang bersifat baru dan tidak kadim. [1]
5.      Al- Jahiz
            Al- jahiz dalam tulisan-tulisan al-Jahiz Abu Usman bin Bahar dijumpai paham naturalism atau kepercayaan akan hukum alam yang oleh kaum muktazilah disebut Sunnah Allah. Ia antara lain menjelaskan bahwa perbuatan-perbuatan manusia tidaklah sepenuhnya diwujudkan oleh manusia itu sendiri, malainkan ada pengaruh hukum alam.
6.      Mu’ammar bin Abbad
             Mu’ammar bin Abbad adalah pendiri muktazilah aliran Baghdad. Pendapatnya tentang kepercayaan pada hukum alam. Pendapatnya ini sama dengan pendapat al-Jahiz. Ia mengatakan bahwa Tuhan hanya menciptakan benda-benda materi. Adapun al-‘arad atau accidents (sesuatu yang datang pada benda-benda) itu adalah hasil dari hukum alam. Misalnya, jika sebuah batu dilemparkan ke dalam air, maka gelombang yang dihasilkan oleh lemparan batu itu adalah hasil atau kreasi dari batu itu, bukan hasil ciptaan Tuhan.
7.      Bisyr al-Mu’tamir
             Ajaran Bisyr al-Mu’tamir yang penting menyangkut pertanggungjawaban perbuatan manusia. Anak kecil baginya tidak dimintai pertanggungjawaban atas perbuatannya di akhirat kelak karena ia belum mukalaf. Seorang yang berdosa besar kemudian bertobat, lalu mengulangi lagi berbuat dosa besar, akan mendapat siksa ganda, meskipun ia telah bertobat atas dosa besarnya yang terdahulu.
8.      Abu Musa al-Mudrar
           Al-Mudrar dianggap sebagai pemimpin muktazilah yang sangat ekstrim, karena pendapatnya yang mudah mengafirkan orang lain.Menurut Syahristani,ia menuduh kafir semua orang yang mempercayai kekadiman Al-Quran. Ia juga menolak pendapat bahwa di akhirat Allah SWT dapat dilihat dengan mata kepala.
9.      Hisyam bin Amr al-Fuwati
              Al-Fuwati berpendapat bahwa apa yang dinamakan surga dan neraka hanyalah ilusi, belum ada wujudnya sekarang. Alas$an yang dikemukakan adalah tidak ada gunanya menciptakan surga dan neraka sekarang karena belum waktunya orang memasuki surga dan neraka.
D.    Pemikiran Mu’tazilah tentang Akal dan Wahyu
            Dalam teologi Islam masalah pokok yang dibahas adalah masalah ke-Tuhanan dan kewajiban-kewajiban manusia kepada Tuhan. Akal yanga da pada manusia dan wahyu dari Tuhan merupakan alat untuk mendapatkan pengetahuan tentang kedua masalah tersebut. Akal, dengan daya yang ada pada manusia berusaha untuk sampai kepada Tuhan, dan dengan rahmat dan kasih sayang Tuhan, wahyu diturunkan melalui para Rasul untuk menolong manusia dari kelemahan dan kekurangannya. Konsepsi ini dapat digambarkan sebagi Tuhan Maha Tinggi di puncak alam wujud, dan manusia yang lemah berada di bawah.
            Konsepsi ini merupakan sistem teologi yang dapat diterapkan pada aliran-aliran teologi yang berpendapat bahwa akal manusia dapat sampai kepada Tuhan. Tetapi yang menjadi persoalan, sampai dimana kemampuan manusia dapat mengetahui Tuhan dan kewajiban-kewajiban manusia etrhadap Tuhan. Dan sampai seberapa jauh persoalan wahyu dalam kedua tersebut di atas.
             Sou’yb, Joesoef ( 1997: 52 ) berpendapat bahwa aliran Mu’tazilah itu bertitik-tolak pada kemestian memahamkannya secara logis dan rasional. Cara aliran Mu’tazilah memahamkannya itu merupakan kekuatan yang tertahankan.
             Persoalan-persoalan yang dipermasalahkan Mu’tazilah dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Masalah mengetahui Tuhan;
b. Masalah kewajiban berterima kasih kepada Tuhan;
c. Masalah mengetahui baik dan jahat;
d. Masalah kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat.
             Aliran Mu’tazilah berpendapat bahwa keempat masalah tersebut di atas dapat dicapai melalui akal, meskipun kemampuan akal terbatas dan tidak sempurna; tetapi secara garis besar akal dapat sampai kepadanya, hanya hal-hal yang secara terinci diperlukan wahyu yang dibawa oleh para Rasul untuk menyempurnakan kekurangan dan kelemahan akal. Namun wahyu hanya bersifat menguatkan apa yang telah diketahui oleh akal, dan memberikan perincian terhadap pengetahuan yang telah dicapai oleh akal. Misalnya akal manusia dapat sampai pada mengetahui kewajiban manusia berterima kasih kepada Tuhan, tetapi tidak tahu bagaimana cara berterima kasih kepada Tuhan tersebut, bagaimana cara orang mengerjakan shalat, haji dan sebagainya. Dalam hal inilah peranan wahyu sangat diperlukan.
             Sehubungan dengan besar kecilnya peranan akal dalam masalah mengetahui Tuhan, kewajiban mengetahui Tuhan, mengetahui baik dan buruk dan kewajiban mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk seperti tersebut di atas, bahkan menurut Mu’tazilah keempat masalah tersebut dapat dicapai dengan akal, maka timbullah pertanyaan apakah fungsi wahyu?
              Sudah barang tentu bagi aliran-aliran yang berpendapat bahwa akal mempunyai peranan yang sangat besar, fungsi wahyu sangat kecil, sebaliknya aliran yang berpendapat peranan akal sangat kecil, fungsi wahyu menjadi sangat besar.
             Bagi kaum Mu’tazilah semua pengetahuan dapat diperoleh melalui akal dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam[12].
            Menurut Mu’tazilah, karena keempat masalah tersebut di atas dapat dicapai dengan akal, maka fungsi wahyu menjadi sangat kecil. Untuk mengetahui Tuhan dan sifat-sifat-Nya, wahyu dalam pendapat Mu’tazilah tidak mempunyai fungsi apa-apa; tetapi untuk mengetahui bagaiman cara melaksanakan ibadah kepada Tuhan dalam hal ini wahyu diperlukan, karena akal tidak sanggup mengetahui bagaimana cara ibadah tersebut.
              M. Afif ( 2004: 107) berpendapat bahwa sikap Mu’tazilah yang memberi porsi sangat besar kepada akal dalam memahami agama terlihat dari pandangannya yang mengatakan bahwa akal dapat mengetahui yang baik dan buruk, serta dapat pula mengetahui kewajiban melakukan yang baik dan meninggalkan yang buruk.
             Menurut Mu’tazilah akal hanya dapat mengetahui pokok-pokok dari garis besarnya saja, adapun yang berkenaan dengan perincian pelaksanaan, akal tidak memiliki kesanggupan untuk itu, karena itu wahyu diperlukan.
             Demikian pula menurut Mu’tazilah manusia tidak dapat mengetahui semua hal yang baik dan yang buruk, melainkan hanya mengetahui sebagian saja. Oleh karena itu, untuk menyempurnakan pengetahuan tentang baik dan buruk diperlukan wahyu.
              Dapat disimpulkan bahwa fungsi wahyu menurut Mu’tazilah adalah sebagai berikut:
1.  Menyempurnakan pengetahuan manusia tentang baik dan buruk sehingga ada wajib al-aqliyah, yaitu kewajiban-kewajiban yang dapat diketahui melalui akal, dan ada wajib al-syarfiyyah, yaitu kewajiban-kewajiban yang hanya diketahui melalui wahyu. Demikian pula ada manakir al-aqliyah, yaitu larangan-larangan yang dapat diketahui melalui akal, dan ada pula manakir al-syar’iyyah, yaitu larangan-larangan yang hanya diketahui melalui wahyu.
2. Memberi penjelasan tentang perincian hukuman dan upah yang akan diterima di akhirat nanti.
              Kedua fungsi tersebut di atas dapat dikatakan sebagai informasi, yaitu memberikan hal-hal yang belum diketahui akal. Dan sebagai konfirmasi, yaitu memperkuat apa yang telah diketahui oleh akal.
3. Mengingatkan manusia dari kelalaian dan mempercepat atau memperpendek jalan untuk mengetahui Tuhan.













BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.      Secara harfiah Mu’tazilah adalah berasal dari I’tazala yang berarti berpisah. Aliran Mu’taziliyah (memisahkan diri) muncul di Basrah, Irak pada abad 2 H. Kelahirannya bermula dari tindakan Wasil bin Atha (700-750 M) berpisah dari gurunya Imam Hasan al-Bashri karena perbedaan pendapat. Wasil bin Atha berpendapat bahwa muslim berdosa besar bukan mukmin bukan kafir yang berarti ia fasik. Imam Hasan al-Bashri berpendapat mukmin berdosa besar aliran Mu’tazilah yang menolak pandangan-pandangan kedua aliran di atas. Bagi Mu’tazilah orang yang berdosa besar tidaklah kafir, tetapi bukan pula mukmin. Mereka menyebut orang demikian dengan istilah al-manzilah bain al-manzilatain (posisi di antara dua posisi).
2.      Mu’tazilah adalah aliran yang secara garis besar sepakat dan mengikuti cara pandang Washil bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid dalam masalah-masalah teologi, atau aliran teologi yang akar pemikirannya berkaitan dengan pemikiran Washil bin ‘Atha’ dan ‘ Amru bin Ubaid.
3.      Mu’tazilah merupakan aliran teologis dalam Islam yang bercorak rasional, dan berpandangan bahwa nash (wahyu) sejalan dengan rasio akal manusia. Namun dalam perjalanan sejarahnya, mereka banyak terpengaruh dengan metode-metode filsafat asing, sehingga hampir saja membawa mereka kepada sikap “ekstrim” dalam menggunakan logika. Sikap “nyaris ekstrim” ini yang berpengaruh dan tampak dalam ide-ide teologis mereka, dan sampai pada titik klimaksnya menimbulkan fitnah besar di dalam perjalanan sejarah umat Islam, yang diistilahkan Mihnah.
4.      Mu’tazilah muncul dengan latar belakang kasus hukum pelaku dosa besar yang telah mulai diperdebatkan oleh Khawarij dan Murji’ah. Mereka tidak mengatakan pelaku dosa besar itu kafir dan tidak juga mukmin, melainkan fasik. Dan jika dia meninggal dalam kondisi belum bertaubat maka dia berada di sebuah tempat antara posisi orang mukmin dan orang kafir, yang diistilahkan dengan al-manzilah baina al-manzilatain. Pada sisi lain dalam perkembangannya mereka juga masuk ke ladang kasus yang diperdebatkan Qadariyah dan Jabariyah tentang hakikat perbuatan manusia dan kaitannya dengan takdir Tuhan.
5.      Penghargaan yang tinggi terhadap akal dan logika menyebabkan timbul banyak perbedaan pendapat di kalangan Mu’tazilah sendiri, namun ide-ide teologis mereka disatukan dalam beberapa hal pokok, yang dikenal dengan al-Ushul al-Khamsah: Tauhid (Keesaan), Al-’Adl (Keadilan), Al-Wa’du wa al-Wa’id (Janji dan Ancaman), Al-Manzilah Baina al-Manzilatain (Satu Tempat diantara Dua Tempat), Al-Amru bi al-Ma’ruf wa al-Nahyu ‘an al-Munkar (Menegakkan yang Makruf dan Melarang Kemunkaran)
6.      Dengan memahami lima hal pokok tersebut, penulis nilai kita tidak bisa menghukum kafir kaum Mu’tazilah. Dan memang kita tidak bisa menggeneralisasi hukum terhadap Mu’tazilah, tapi harus dilihat di setiap permasalahan yang diangkatkannya, sehingga kita pun tidak terjebak ke dalam sikap “nyaris ekstrim” ketika menghukum sebuah kelompok, yang penulis yakini akan membawa dampak negatif.
7.      Dengan kekayaan pembahasan logikanya, Mu’tazilah telah memberikan banyak masukan terhadap kekayaan khazanah keislaman. Artinya kita tidak bisa menutup mata rapat-rapat terhadap kontribusi mereka itu, tapi juga bukan berarti menghilangkan nalar kritis terhadap ide-ide pemikirannya. Sebagaimana yang dilakukan Imam Syatibi dalam metode Maqashid Syari’ah, atau Muhammad Abduh dalam ide-ide pembaharuannya, dan tokoh-tokoh lainnya.














DAFTAR PUSTAKA
Al-Badawi, Abdurrahman, Madzahib al-Islamiyyin, Beirut: Darul ‘Ilm li al-Malayin, 1983.
Al-Gharabi, Ali Mushtafa, Tarikh al-Firaq al-Islamiyah, Mesir: Maktabah wa Mathba’ah Muhammad Ali Shabih wa Awladih.
Al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah.
Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, Jakarta: Bulan Bintang, 1997.
Hanafi, A., M.A., Pengantar Theology Islam, Jakarta: PT. Al Husna Zikra, 1995.
Jarullah, Zuhdi, al-Mu’tazilah, Beirut: Al-Ahliyah li al-Nasyr wa al-Tauzi’, 1974.
Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.
Salim, Abdurrahman, Al-Mu’tazilah, Mausu’ah al-Firaq wa al-Madzahib fi al-’Alam al-Islami, Kairo: al-Majilis al-A’la li al-Syu’un al-Islamiyah, 2007.
Shadiq, Hasan, Judzur al-Fitnah fi al-Firaq al-Islamiyah, Kairo: Maktabah Madbuli, 1993
Abd. Al Jabbarbin Ahmad, Syarh al Ushul al khamsah, Maktab wahbab, Kairo,1965
Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al Firaq Al Islamiyah, Dar Al Mannar, Kairo, 1991



           [1] Al-Syahrastani, Muhammad bin Abdul Karim, al-Milal wa al-Nihal, Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah,hal. 46-48
            [2] Ibid, hal. 29
            [3]Kata pengantar kitab Al-Intishar Firraddi ‘alal Mu’tazilatil-Qadariyyah Al-Asyrar, 1/65
            [4] Al‑Fakhuri, 1957: 141
           [5] Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986.

              [6] Abd. Al Jabbar bin Ahmad, Syarh al Ushul al khamsah, Maktab wahbab, Kairo,1965, hal. 196
               [7] Abd. Al Jabbar bin Ahmad, Syarh al Ushul al khamsah, Maktab wahbab, Kairo,1965, hal. 227
              [8] Abd. Al Jabbar bin Ahmad, Syarh al Ushul al khamsah, Maktab wahbab, Kairo,1965
               [9] Mahmud Mazru’ah, Tarikh Al Firaq Al Islamiyah, Dar Al Mannar, Kairo, 1991, hal.130-131
              [10] Ibid, hal. 138-139
              [11]Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 1986, hal. 56

            [12] Nasution, Harun, Teologi Islam; Aliran-Aliran, Sejarah Analisa Perbandingan, Jakarta: Penerbit

Makalah "Dakwah dan Strategi Pemberdayaan Ummat

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang
Dimensi dakwah yang sering kali terabaikan oleh para dai dan ulama adalah persoalan pengembangan masyarakat. Sekarang ini, umat Islam telah berjumlah lebih dari satu miliar orang yang diharapkan akan terus meningkat.
Banyak bagian dari dunia Muslim yang tertinggal secara teknologi dan ekonomi. Mereka sangat menderita dalam memenuhi kebutuhannya setiap hari dan sangat gagap terhadap perkembangan teknologi. Akibatnya, komunikasi ilmu pengetahuan dan informasi agama Islam yang mestinya dengan mudah bisa diakses, karena kedua kesulitan itulah, menjadikan mereka terus terbelakang dan terus mengalami pembodohan. 
Untuk menanggulangi hal itu, tentu saja dibutuhkan kerja sama untuk mengentaskan kemiskinan dan melakukan pemberdayaan terhadap mereka yang terbelakang. Hal itu bisa berwujud dalam bentuk pendidikan keterampilan, pembukaan lapangan kerja, penanggulangan pemakaian obat-obat terlarang, atau pelatihan teknologi tepat guna. 
Agenda itu mesti segera dijalankan dengan kerja sama antara organisasi Islam dan pemerintah atau lembaga lain. Sebab, pada dasarnya, tujuan dakwah adalah untuk menyejahterakan umat manusia di muka bumi dan akhirat nanti. Bila keadaan mereka terus merasa tertekan, kesusahan, dan mengalami pembodohan; bagaimana mungkin ibadah yang menekankan pada ketenangan dan kekhusyukan dapat mereka jalankan?
Hal itulah yang seharusnya juga menjadi tantangan dalam dakwah Islam. Para dai atau mubaligh hendaknya juga ada yang mendalami persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat. Dalam analisis tentang perubahan-perubahan kemasyarakatan, pembangunan dan pemberdayaan masyarakat adalah bentuk dakwah yang mesti dilakukan. Berdasarkan sebuah hadis Nabi SAW dinyatakan, "Kefakiran dapat membawa ke kekufuran." 
B.     Rumusan Masalah
Berdasar masalah tersebut di atas, maka rumusan masalah dalam makalah ini adalah sebagai berikut:
1.      Apa pengertian dakwah?
2.      Apa pengertian Strategi Pemberdayaan umat?
3.      Bagaimana pendekatan dakwah dalam  pemberdayaan umat?
C.     Tujuan
1.      Mengetahui pengertian dakwah
2.      Mengetahui pengertian Strategi Pemberdayaan umat
3.      Mengetahui pendekatan dakwah dalam  pemberdayaan umat







BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Dakwah
Dakwah, sebagaimana dipahami, adalah ajakan atau seruan untuk menciptakan suasana damai dan tenteram serta penuh kesejukan dan mampu membawa perubahan dalam mengamalkan ajaran serta nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata.
Hal ini  sangat relevan dengan kondisi kita saat ini. Kondisi kerusuhan, mudah tersinggung, gampang terprovokasi, haruslah diubah menjadi kondisi yang penuh dengan keramahan, rendah hati, dan rahmatan lil ‘alamin.
 Pengertian di atas dikembangkan lebih lanjut oleh Ali Mahfudz, bahwasanya Dakwah itu adalah mendorong manusia kepada kebaikan dan petunjuk, menyuruhkepada yang ma’ruf dan mencegah berbuat yang munkar, agarmendapat kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Asep Muhidin, Dakwah adalah upaya kegiatan mengajak atau menyeru ummat manusia agar berada di jalan Allah (sistem Islami) yang sesuai dengan fitrah dan kehanifannya secara integral, baik melalui kegiatan lisan dan tulisan atau kegiatan nalar dan perbuatan, sebagai upaya pengejawantahan nilai-nilai kebaikan dan kebenaran spiritual yang universal sesuai dengan dasar Islam[1]  
Inti dakwah memang pada pengertiannya mengajak manusia untuk berbuat kebajikan dan menghindari dari keburukan. Ajakan tersebut dilakukan dengan cara yang lemah lembutdan menyejukkan, dengan tujuan tegaknya Agama Islam dan berjalannya sistem Islam dalam kehidupan individu, keluarga, dan masyarakat.
Dengan kata lain, Dakwah sebenarnya bertujuan untuk menghidupkan atau memberdayakan, sehingga masyarakat memperoleh momentum untuk meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan serta menimbulkan suasana yang kondusif bagi tegaknya nilai-nilai Agama. Hal ini ditegaskan oleh llah SWT dalam Al Quran surat al Anfal:24
يآيهاالذين امنوا استجيبوا لله و للرسول اذا دعاكم لما يحييكم
Artinya:” Wahai orang yang beriman, perkenankanlah seruan Allah dan Rasul Nya, apabila ia menyeru kamu kepada apa-apa yang menghidupkan (rohani dan jasmani) kamu”.
Dengan demikian, dakwah pada hakikatnya adalah panggilan Allah dan Rasul Nya, panggilan yang membawa kepada upaya untuk menghidupkan, atau dengan kata lain panggilan untuk memberdayakan.
B.     Pengertian  Strategi Pemberdayaan Ummat
Strategi adalah siasat untuk mencapai suatu tujuan dengan  sedikit pengorbanan.
Pemberdayaan ummat adalah pengembangan kemampuan masyarakat sehingga dapat menyelesaikan masalah dan dapat mengambil keputusan secara bebas dan mandiri.
Pengertian  pemberdayaan dapat disamakan dengan istilah pengembangan (emvowerment) atau dapat pula di samakan dengan istilah pembangunan (development).[2]  Istilah pemberdayaan menurut Mc. Ardle (1989) yang dikutip oleh Hery Hikmat, adalah sebagai proses pengambilan keputusan oleh orang-orang yang secara konsekuen melaksanakan keputusan tersebut.[3]
Dalam tinjauan historis istilah pengembangan masyarakat diadopsi dari bangsa Inggris dimana kantor pemerintah kolonial Inggris mengeluarkan suatu memoranda yang berisikan tentang cara untuk meningkatkan kehidupan masyarakat di daerah koloni (bangsa Inggris), yang disebut dengan nama Pengembangan Masyarakat. Memoranda tersebut berisikan tiga kebijakan yang dikeluarkan pada tahun 1944, yaitu
1). Peningkatan kondisi kehidupan dan kesejahteraan masyarakat.
2). Peningkatan   taraf hidup ekonomi masyarakat.
3). Pengembangan institusi dan kekuatan politik.[4]
C. Pendekatan Dakwah dalam Pemberdayaan ummat
Bila kita ingin melakukan proses pemberdayaan umat melalui dakwah Islam, maka sekurang-kurangnya ada lima langkah issue dakwah yang harus diambil, yaitu:
Pertamamateri dakwah sebagai ajakan atau seruan kepada Islam dan petunjuk Allah harus dikemas secara sistemik dalam pemahaman setiap individu dan masyarakat muslim.  Pemahaman sistemik ini dapat dibangun melalui penghayatan dan pengamalan ajaran Islam secara holistik dan komprehensif dari berbagai aspek ajaran Islam yang mencakup aspek aqidah, aspek ibadah, aspek akhlak, dan aspek mu'amalah.  Selama ini pemahaman tentang berbagai aspek ajaran Islam tersebut ditangkap secara parsial dan terpilah-pilah, tidak utuh.
Secara sistemik keempat dimensi ajaran tersebut seharusnya merupakan kesatuan dan kebulatan utuh, yang terpisahkan hanya dalam tataran diskursus akademik, bukan dalam tataran praktis.  Oleh sebab itu, adalah suatu kezaliman bila seseorang berbuat semata-mata hanya atas perimbangan halal dan haram dengan mengabaikan sama sekali aspek al-husn (kebaikan) dan aspek al-qubh (keburukan), atau menyingkirkan sama sekali sisi al-mahmudah(terpuji) dan al-mazmumah (tercela).
Adalah suatu kenyataan bahwa tema-tema dakwah selama ini dikemas hanya dalam pendekatan parsial, tidak menyeluruh dan tidak sistemik.  Hal ini akan berakibat timbulnya pemahaman keagamaan yang tidak mampu membangun kaitan dan sinergi antara aqidah, ibadah, akhlak, dan mu'amalah.  Aqidah umat memang terlihat sudah bertauhid, tetapi akhlaknya belum mencerminkan akhlak Islam.  Ibadah umat memang sudah terlihat taat dan tertib, tetapi mua'amalahnya belum mengindahkan prinsip-prinsip muamalah yang diajarkan oleh Islam.
Kedua, karena dakwah pada hakikatnya adalah proses yang menghidupkan atau yang memberdayakan, baik terhadap individu maupun masyarakat, maka harus ada upaya untuk melakukan itu.  Di era otonomi daerah seperti sekarang ini, dakwah harus ditujukan kepada upaya untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat secara bersama.  Upaya tersebut dapat dilakukan melalui upaya-upaya menumbuhkan kreatifitas untuk meningkatkan taraf hidup, baik secara individu maupun keluarga, atau secara bersama-sama.
Inilah yang disebut dengan konsep dakwah bil hal, melalui pengembangan industri kecil dan menengah, yang dalam pertumbuhan konkritnya ditunjukkan dengan pengembangan Baitul Mal wat Tamwil di sentra-sentra kegiatan pengajian dan majlis taklim.  Di samping itu, juga melalui penumbuhan gerakan menyimpan dan menabung secara massal, yang produktifitasnya ditujukan untuk meningkatkan taraf hidup tersebut.
Ketiga, merumuskan materi dakwah yang berkaitan dengan ajakan dan dorongan kepada masyarakat agar berpartisipasi dalam proses pembangunan daerah dan menggali potensi daerah sendiri untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat daerah tersebut.  Hal ini dapat dilakukan melalui peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia di daerah, di samping memperbesar potensi daerah tersebut untuk mengembangkan diri, yang kemudian diharapkan bisa mengatasi problema yang selalu timbul dalam bentuk kerentanan hubungan antar etnis, polemik pencuatan issu putera daerah, dan sebagainya.
Peningkatan kualitas SDM menjadi sangat strategis dikemas dalam tema-tema dakwah bila dikaitkan dengan tentangan ke depan, di mana bangsa kita akan memasuki era pasar bebas di kawasan ASEAN, yang waktunya tidak lama lagi akan kita masuki.
Keempatdakwah tampil dengan wajah sejuk dan damai dengan melalui penekanan peningkatan kualitas akhlak mulia yang termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari. Secara esensial dakwah semestinya muncul dengan pendekatan mengajak, bukan menghakimi, apalagi bernuansa provokatif.  Tema-tema yang berkaitan dengan ukhuwah Islamiyah atau kesetiakawanan sosial haruslah menjadi agenda utama.  Amar makruf dan Nahyi Munkar sebagai bagian esensial dakwah perlu ditampilkan secara ramah dan menyejukkan.
Dengan demikian, esensi dari diturunkannya Islam melalui pengutusan Rasulullah Saw. untuk menciptakan rahmat bagi semesta alam (rahmatan lil ‘alamin) bukan berhenti pada slogan.  Ia haruslah terwujud dalam kenyataan.   Dengan kemasan dakwah seperti itu, berbagai problema yang timbul di tengah masyarakat dapat diatasi dengan pendekatan persuasif dan penuh kedamaian.
Kelima, di atas semuanya itu, dakwah juga harus berbicara tentang tema memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.  Kesadaran akan eksistensi  Negara Kesatuan Republik Indonesia harus selalu disegar-bugarkan, harus ditumbuh-suburkan secara terus menerus.  Tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa peletak dasar dari berdirinya Republik ini pada hakekatnya berdiri di atas kesadaran tersebut. Pendekatan dakwah dalam pemberdayaan
        Pendekatan proses, proses perencanaan dakwah dimulai dari menentukan siapa dainya, siapa sasarannya, apa metodenya, apa materinya, bagaimana hasilnya, dan bagaimana cara mengevaluasinya.
        Pendekatan system, komponen dakwah selain unsur dakwah juga konponen di luar yaitu ideologi/faham, alat dakwah, dan kebudayaan.
        Pendekatan teknologis, pemanfaatan perkembangan alat teknologi.
        Pendekatan ekonomis, melalui penciptaan lapangan kerja.
        Pendekatan evaluatif , menilai kegiatan yang sudah dilakukan.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
1.      Dakwah adalah ajakan atau seruan untuk menciptakan suasana damai dan tenteram serta penuh kesejukan dan mampu membawa perubahan dalam mengamalkan ajaran serta nilai-nilai Islam dalam kehidupan nyata.
2.      Strategi  Pemberdayaan ummat adalah cara atau siasat pengembangan kemampuan masyarakat sehingga dapat menyelesaikan masalah dan dapat mengambil keputusan secara bebas dan mandiri untuk mencapai tujuan yang diinginkan
3.      Dalam melakukan proses pemberdayaan umat melalui dakwah Islam ada lima langkah issue dakwah:
a.       Materi dakwah sebagai ajakan atau seruan kepada Islam dan petunjuk Allah harus dikemas secara sistemik dalam pemahaman setiap individu dan masyarakat muslim.
b.      Dakwah pada hakikatnya adalah proses yang menghidupkan atau yang memberdayakan, baik terhadap individu maupun masyarakat, maka harus ada upaya untuk melakukan itu.
c.       Merumuskan materi dakwah yang berkaitan dengan ajakan dan dorongan kepada masyarakat agar berpartisipasi dalam proses pembangunan daerah dan menggali potensi daerah sendiri untuk sebesar-besar kemakmuran masyarakat.
d.      Dakwah tampil dengan wajah sejuk dan damai dengan melalui penekanan peningkatan kualitas akhlak mulia yang termanifestasi dalam kehidupan sehari-hari.
e.       dakwah juga harus berbicara tentang tema memelihara persatuan dan kesatuan bangsa.
4.      Pendekatan dakwah dalam pemberdayaan melalui:
        Pendekatan proses, proses perencanaan dakwah dimulai dari menentukan siapa dainya, siapa sasarannya, apa metodenya, apa materinya, bagaimana hasilnya, dan bagaimana cara mengevaluasinya.
        Pendekatan system, komponen dakwah selain unsur dakwah juga konponen di luar yaitu ideologi/faham, alat dakwah, dan kebudayaan.
        Pendekatan teknologis, pemanfaatan perkembangan alat teknologi.
        Pendekatan ekonomis, melalui penciptaan lapangan kerja.
        Pendekatan evaluatif , menilai kegiatan yang sudah dilakukan









DAFTAR PUSTAKA
Amrullah Ahmad, Dakwah Islam dan Perubahan Sosial, 1982
Harry Hikmat, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, (Bandung : Humaniora
Utama Press, 2004) cet. Ke-2
Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan Intervensi Komunitas,     ( Jakarta :Lembaga Penerbut FE. UI, 2003)
Nanih Machendrawati dan Agus Ahmad Syafe’i Pengembangan Masyarakat Islam Dari Idiologi Sampai Tradisi, ( Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001)
Soetandyo Wingnyosoebroto, Dakwah Pemberdayaan Masyarakat: Paradigma Aksi Metodologi,  Pustaka Pesantren 2005



[1] Asep Muhidin, Dakwah Dalam Perspektif Al-Qura’an: Studi Kritis Atas Visi, Misi dan Wawasan, Bandung: Pustaka Setia, 2002, hal. 19
[2] Nanih Machendrawati dan Agus Ahmad Syafe’i Pengembangan Masyarakat Islam Dari Idiologi Sampai Tradisi, ( Bandung : Remaja Rosdakarya, 2001) hal.42
[3] Harry Hikmat, Strategi Pemberdayaan Masyarakat, (Bandung : Humaniora
Utama Press, 2004) cet. Ke-2, hal. 3
[4] Isbandi Rukminto Adi, Pemberdayaan, Pengembangan Masyarakat dan
Intervensi Komunitas ( Jakarta : Lembaga Penerbut FE. UI, 2003) cet. Ke-1, hal.
197-198