Selasa, 09 Oktober 2012

Tarbiyah Dzatiyah




Dua Jenis Tarbiyah dalam Jamaah
      Tarbiyah rasmiyyah
     Melalui halaqah/usrah/katibah
     Masanya pendek (2 – 3 jam) dalam seminggu
     Maddahnya terbatas (sesuai manhaj)
     Bersifat stimulus
      Tarbiyah ghairu rasmiyyah (tarbiyah dzatiyah)
     Melalui sarana yang lebih beraneka
     Masanya panjang
     Maddahnya tidak terbatas
     Bersifat pendalaman
Bentuk Tarbiyah Dzatiyah (1)
      Membaca kembali maddah yang telah disampaikan oleh Murabbi
      Menulis kembali (merapikan atau menyempurnakan) maddah yang telah disampaikan oleh Murabbi
      Menyampaikan kembali maddah yang telah disampaikan oleh Murabbi
Bentuk Tarbiyah Dzatiyah (2)
      Membaca buku yang menjadi rujukan maddah yang telah disampaikan oleh Murabbi
      Menghafalkan ayat atau hadits yang disebutkan dalam maddah yang telah disampaikan oleh Murabbi
      Membaca tafsir ayat atau syarah hadits yang disampaikan oleh Murabbi
      Membaca buku lain yang berkaitan dengan maddah yang telah disampaikan oleh Murabbi ataupun yang tidak berkaitan
Bentuk Tarbiyah Dzatiyah (3)
      Menunaikan tugas-tugas yang telah diperintahkan oleh Murabbi
      Membiasakan amaliyah ruhaniyah
     Memperbanyak sujud
     Tilawah al-Qur’an
     Dzikir yang banyak
     Infaq fi sabilillah
     Shaum sunnah
Bentuk Tarbiyah Dzatiyah (4)
      Mengikuti seminar atau daurah dalam tema apapun
      Mengikuti sekolah atau kursus
      Pengalaman dalam menunaikan amanah di dalam Jamaah atau sosial kemasyarakatan atau politik atau bisnis
Contoh-contoh Pribadi yang Melakukan Tarbiyah Dzatiyah
      Mush’ab bin Umair
     Selama setahun dikirim ke Madinah sendirian à tidak liqa’ dengan Rasul SAW
     Mampu mengislamkan beberapa pemimpin dan penduduk Madinah, sehingga pada Bai’atul Aqabah II menjadi 72 orang
      Muadz bin Jabal
     Dikirim ke Yaman
     Ditanya landasan ilmu yang dimiliki: Kitabullah, Sunnah Rasul, dan Ijtihad 


Tarbiyah Dzatiyah dicirikan dalam wujud semangat untuk meraih berbagai kebaikan, sekaligus daya tahan diri yang kuat untuk dapat menghindari keburukan.
Dua hal itulah yang dimiliki para nabi dan salafus-shalih. Sejarah mencatat bagaimana Rasulullah Muhammad saw memperjuangkan Islam dengan semangat yang begitu mempesona. Beliau tanamkan semangat kebenaran dalam diri para sahabatnya. Beliau wariskan semangat kebenaran bagi kita. Dengan semangat kebenaran itulah Islam terus diperjuangkan ke seluruh penjuru dunia. Rasulullah juga dikaruniai Allah kemampuan untuk menjauhi keburukan.
Sejak kecil diriwayatkan bahwa beliau selalu menghindari permainan yang tidak berguna. Memasuki kehidupan berkeluarga dengan kesibukan berniaga. Mengisi usia ‘rawan’ (30-40 tahun) dengan menyendiri dan bertafakur di Gua Hira. Hingga dapat dikatakan bahwa sebelum memasuki masa kenabian tarbiyah dzatiyah memang telah Allah karuniakan kepadanya dan semakin mempesona ketika beliau telah diangkat menjadi Rasul dengan membawa Al Qur’an sebagi petunjuk bagi kita semua.. Dan tidaklah berlebihan bila Aisyah mengatakan “Akhlaq Nabi Muhammad itu adalah Al Qur’an.” Teladan tambahan -disamping pribadi Rasulullah saw- adalah tarbiyah dzatiyah yang diperankan oleh Nabi Yusuf as. Tanpa sanak famili, beliau tumbuh berkembang menjadi pribadi kuat, cerdas dan amanah. Ketampanannya tidak membuat beliau lupa diri dan tetap menyadari pengawasan Allah. Kekayaannya malah menjadikan ia dermawan. Ilmunya tak menjadikan dia sombong, Perlakuan keji saudara-saudaranya tak sedikitpun menanamkan dendam. Dan tengoklah betapa cintanya ia pada ayahnya (Nabi Ya’qub), sebagaimana ayahnya juga mencintainya.
Sesuatu yang begitu berat untuk dihadapi adalah derasnya nafsu syaithan. Betapa terkadang atau bahkan seringkali kita terjerumus pada godaan syaithan baik dalam skala kecil maupun besar. Bahwa selain Nabi dan manusia-manusia terpilih, adalah kebanyakan kita rentan terhadap dosa. Dosa bukan hanya monopoli ahli maksiat, melainkan juga menghinggapi para ustadz, ulama dan para pemimpin organisasi Islam. Dosa tentu saja akan mengurangi nilai kita di mata siapa saja, membuat kita malu pada Allah dan orang-orang beriman dan memperberat timbangan keburukan kita nanti di yaumil akhir. Untuk itulah kita harus senantiasa waspada menghindari dosa sekecil apapun.
Dengan tarbiyah dzatiyah kita mencoba untuk istiqamah secara mandiri. Namun bukan berarti kita mengecilkan atau tidak lagi memerlukan peran guru, melainkan menjadikan diri kita lebih mendominasi proses ketakwaan. Bahkan keinginan kita untuk terus berguru dan menghormati peran guru diharap muncul dari kematangan tarbiyah dzatiyah kita.
Berikut ini adalah sejumlah agenda yang mungkin bisa membantu mematangkan tarbiyah dzatiyah kita:
·         Tanamkan motivasi kuat untuk menjadikan diri sebagai ujung tombak resistensi pengaruh-pengaruh buruk dan penjagaan serta perjuangan nilai-nilai Islam “SIAPA LAGI KALAU BUKAN KITA YG MENJADI BENTENG UNTUK MENAHAN ARUS KEMAKSIYATAN DAN DOSA”
·         Terus evaluasi dan tafakkur mengenali kekurangan diri, mewaspadai berbagai faktor yang dapat melemahkan. “MUHASABAH”
·         Tingkatkan kualitas diri dengan terus membaca, mendengar, berlatih, bertanya, bertafakur dan meminta masukan atau nasihat “TERUS BELAJAR”
·         Terus mamanfaatkan waktu dan menjadwal rutinitas guna menghindari terbuangnya kesempatan dengan percuma, karena seringkali kelalaian terhadap waktu dan ketiadaan penjadwalan merupakan faktor awal kegagalan tarbiyah dzatiyah. “MENGATUR WAKTU”
·         Tetaplah berdoa, bertobat dan bersedekah guna pemeliharaan kesalihan dan kebersihan diri, karena kondisi diri yang bersih akan membantu proses tarbiyah dzatiyah.“TAZKIYATUN NAFS”
“Dan bekerjalah kalian, nanti pasti Allah, Rasul dan orang-orang beriman akan melihat hasil kerja kalian. Dan kalian akan dikembalikan kepada Allah yang mengetahui segala yang ghaib dan nyata. Dan akan diberitakan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan di dunia.” (QS 9:105)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar