Dua Jenis Tarbiyah dalam Jamaah
• Tarbiyah
rasmiyyah
– Melalui
halaqah/usrah/katibah
– Masanya pendek
(2 – 3 jam) dalam seminggu
– Maddahnya
terbatas (sesuai manhaj)
– Bersifat
stimulus
• Tarbiyah ghairu
rasmiyyah (tarbiyah dzatiyah)
– Melalui sarana
yang lebih beraneka
– Masanya panjang
– Maddahnya tidak
terbatas
– Bersifat
pendalaman
Bentuk Tarbiyah Dzatiyah (1)
• Membaca kembali
maddah yang telah disampaikan oleh Murabbi
• Menulis kembali
(merapikan atau menyempurnakan) maddah yang telah disampaikan oleh Murabbi
• Menyampaikan
kembali maddah yang telah disampaikan oleh Murabbi
Bentuk Tarbiyah Dzatiyah (2)
• Membaca buku
yang menjadi rujukan maddah yang telah disampaikan oleh Murabbi
• Menghafalkan
ayat atau hadits yang disebutkan dalam maddah yang telah disampaikan oleh
Murabbi
• Membaca tafsir
ayat atau syarah hadits yang disampaikan oleh Murabbi
• Membaca buku
lain yang berkaitan dengan maddah yang telah disampaikan oleh Murabbi ataupun
yang tidak berkaitan
Bentuk Tarbiyah Dzatiyah (3)
• Menunaikan tugas-tugas
yang telah diperintahkan oleh Murabbi
• Membiasakan
amaliyah ruhaniyah
– Memperbanyak
sujud
– Tilawah
al-Qur’an
– Dzikir yang
banyak
– Infaq fi
sabilillah
– Shaum sunnah
Bentuk Tarbiyah Dzatiyah (4)
• Mengikuti
seminar atau daurah dalam tema apapun
• Mengikuti
sekolah atau kursus
• Pengalaman dalam
menunaikan amanah di dalam Jamaah atau sosial kemasyarakatan atau politik atau bisnis
Contoh-contoh Pribadi yang Melakukan Tarbiyah Dzatiyah
• Mush’ab bin
Umair
– Selama setahun
dikirim ke Madinah sendirian à tidak liqa’ dengan Rasul SAW
– Mampu
mengislamkan beberapa pemimpin dan penduduk Madinah, sehingga pada Bai’atul
Aqabah II menjadi 72 orang
• Muadz bin Jabal
– Dikirim ke Yaman
– Ditanya landasan
ilmu yang dimiliki: Kitabullah, Sunnah Rasul, dan Ijtihad
Tarbiyah Dzatiyah
dicirikan dalam wujud semangat untuk meraih berbagai kebaikan, sekaligus daya
tahan diri yang kuat untuk dapat menghindari keburukan.
Dua hal itulah yang dimiliki para nabi dan
salafus-shalih. Sejarah mencatat bagaimana Rasulullah Muhammad saw
memperjuangkan Islam dengan semangat yang begitu mempesona. Beliau tanamkan
semangat kebenaran dalam diri para sahabatnya. Beliau wariskan semangat
kebenaran bagi kita. Dengan semangat kebenaran itulah Islam terus diperjuangkan
ke seluruh penjuru dunia. Rasulullah juga dikaruniai Allah kemampuan untuk
menjauhi keburukan.
Sejak kecil diriwayatkan bahwa beliau selalu
menghindari permainan yang tidak berguna. Memasuki kehidupan berkeluarga dengan
kesibukan berniaga. Mengisi usia ‘rawan’ (30-40 tahun) dengan menyendiri dan
bertafakur di Gua Hira. Hingga dapat dikatakan bahwa sebelum memasuki masa
kenabian tarbiyah dzatiyah memang telah Allah karuniakan kepadanya dan semakin
mempesona ketika beliau telah diangkat menjadi Rasul dengan membawa Al Qur’an
sebagi petunjuk bagi kita semua.. Dan tidaklah berlebihan bila Aisyah
mengatakan “Akhlaq Nabi Muhammad itu adalah Al Qur’an.” Teladan tambahan
-disamping pribadi Rasulullah saw- adalah tarbiyah dzatiyah yang diperankan
oleh Nabi Yusuf as. Tanpa sanak famili, beliau tumbuh berkembang menjadi
pribadi kuat, cerdas dan amanah. Ketampanannya tidak membuat beliau lupa diri
dan tetap menyadari pengawasan Allah. Kekayaannya malah menjadikan ia dermawan.
Ilmunya tak menjadikan dia sombong, Perlakuan keji saudara-saudaranya tak
sedikitpun menanamkan dendam. Dan tengoklah betapa cintanya ia pada ayahnya
(Nabi Ya’qub), sebagaimana ayahnya juga mencintainya.
Sesuatu yang begitu berat untuk dihadapi adalah
derasnya nafsu syaithan. Betapa terkadang atau bahkan seringkali kita
terjerumus pada godaan syaithan baik dalam skala kecil maupun besar. Bahwa
selain Nabi dan manusia-manusia terpilih, adalah kebanyakan kita rentan
terhadap dosa. Dosa bukan hanya monopoli ahli maksiat, melainkan juga
menghinggapi para ustadz, ulama dan para pemimpin organisasi Islam. Dosa tentu
saja akan mengurangi nilai kita di mata siapa saja, membuat kita malu pada
Allah dan orang-orang beriman dan memperberat timbangan keburukan kita nanti di
yaumil akhir. Untuk itulah kita harus senantiasa waspada menghindari dosa
sekecil apapun.
Dengan tarbiyah dzatiyah kita mencoba untuk istiqamah
secara mandiri. Namun bukan berarti kita mengecilkan atau tidak lagi memerlukan
peran guru, melainkan menjadikan diri kita lebih mendominasi proses ketakwaan.
Bahkan keinginan kita untuk terus berguru dan menghormati peran guru diharap
muncul dari kematangan tarbiyah dzatiyah kita.
Berikut ini adalah sejumlah agenda yang mungkin bisa
membantu mematangkan tarbiyah dzatiyah kita:
·
Tanamkan motivasi
kuat untuk menjadikan diri sebagai ujung tombak resistensi pengaruh-pengaruh
buruk dan penjagaan serta perjuangan nilai-nilai Islam “SIAPA LAGI KALAU BUKAN
KITA YG MENJADI BENTENG UNTUK MENAHAN ARUS KEMAKSIYATAN DAN DOSA”
·
Terus evaluasi dan
tafakkur mengenali kekurangan diri, mewaspadai berbagai faktor yang dapat
melemahkan. “MUHASABAH”
·
Tingkatkan kualitas
diri dengan terus membaca, mendengar, berlatih, bertanya, bertafakur dan
meminta masukan atau nasihat “TERUS BELAJAR”
·
Terus mamanfaatkan
waktu dan menjadwal rutinitas guna menghindari terbuangnya kesempatan dengan
percuma, karena seringkali kelalaian terhadap waktu dan ketiadaan penjadwalan
merupakan faktor awal kegagalan tarbiyah dzatiyah. “MENGATUR WAKTU”
·
Tetaplah berdoa,
bertobat dan bersedekah guna pemeliharaan kesalihan dan kebersihan diri, karena
kondisi diri yang bersih akan membantu proses tarbiyah dzatiyah.“TAZKIYATUN
NAFS”
“Dan bekerjalah kalian, nanti pasti Allah, Rasul dan
orang-orang beriman akan melihat hasil kerja kalian. Dan kalian akan
dikembalikan kepada Allah yang mengetahui segala yang ghaib dan nyata. Dan akan
diberitakan kepada kalian apa yang telah kalian kerjakan di dunia.” (QS 9:105)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar