Jauhnya sebagian umat Islam dari ajaran agamanya
mengakibatkan mereka tak mampu membedakan antara ajaran agama atau bukan.
Sesuatu yang merupakan ajaran agama terkadang dipandang bukan ajaran agama.
Sebaliknya, sesuatu yang bukan ajaran agama justru dipandang sebagai ajaran
agama.
Di sinilah peran ilmu syar’i sangat penting dan
menentukan, sehingga seseorang tak salah dalam mengklasifikasikan suatu
persoalan, ushuliyah kah (pokok/prinsip) atau tergolong masalah furu’iyah
(cabang) yang di dalamnya terbuka pintu ijtihad dan perbedaan pendapat.
Di sisi lain, ada beberapa persoalan yang secara jelas
termasuk yang diada-adakan dalam agama ini yang seharusnya ditinggalkan karena
tidak berdasarkan dalil yang jelas dan tegas, tetapi diamalkan oleh sebagian
besar umat Islam.
Untuk mengetahui dan menimbang dengan adil
permasalahan ini, maka marilah kita menyimak artikel-artikel di bawah ini
dengan harapan semoga bermanfa’at.
Keutamaan Bulan Rajab
Jawabnya, mari kita simak apa yang dituturkan oleh
Ibnu Hajar, “Tidak terdapat hadits shahih yang layak untuk dijadikan hujjah
mengenai keutamaan bulan Rajab, berpuasa padanya, berpuasa dengan sesuatu
tertentu (hari-hari tertentu) darinya ataupun melakukan shalat malam secara
khusus padanya. Sudah ada orang yang terlebih dahulu memastikan akan hal ini
dari padaku, yaitu Imam Abu Isma’il al-Harawy, al-Hâfizh. Kami meriwayatkan
darinya dengan sanad yang shahih, demikian juga riwayat dari ulama selainnya.”
(Lihat kitab Tabyin al-‘Ajab Fî Mâ Warada Fî Fadlli Rajab karya Ibn
Hajar, h.6; as-Sunan wal al-Mubtada’ât karya asy-Syuqairy, h.125)
Beliau juga berkata, “Sedangkan mengenai
hadits-hadits yang berbicara tentang keutamaan bulan Rajab, keutamaan berpuasa
padanya atau berpuasa dengan sesuatu darinya secara jelas, maka dapat
dikategorikan kepada dua jenis; hadits-hadits yang lemah (Dla’îf) dan
hadits-hadits palsu (Maudlû’). Kami memaparkan hadits-hadits yang lemah
tersebut dan kami isyaratkan juga kepada hadits-hadits yang palsunya…”(Lihat
Tabyîn, Ibid., h.8). Lalu beliau memaparkan satu per satu hadits-hadits
tersebut)
Seputar Shalat Raghâ`ib
Pertama, sifatnya (spesifikasinya).
Mengenai sifat/spesifikasinya terdapat hadits yang
palsu (Maudlû’) dari Anas, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam., bahwa
beliau bersabda,
“Tidaklah seseorang yang berpuasa pada hari Kamis (Kamis pertama dalam bulan Rajab), kemudian dia melakukan shalat antara ‘Isya dan tengah malam, yakni pada malam Jum’at sebanyak 12 raka’at, dengan membaca pada setiap raka’atnya surat al-Fatihah satu kali dan surat ‘Innâ Anzalnâhu..(al-Qadr)’ sebanyak tiga kali, dan ‘Qul huwallâhu Ahad’ sebanyak 12 kali, antara setiap dua raka’at dipisahkan oleh satu salam, setelah menyelesaikan shalatnya, dia membaca shalawat kepadaku sebanyak 70 kali, mengucapkan ‘Subbûhun Quddûsun Rabbul Malâ`ikati War Rûh’ di dalam sujudnya sebanyak 70 kali, kemudian mengangkat kepalanya (I’tidal) seraya mengucapkan ‘Rabbighfir warham wa tajâwaz ‘amma ta’lam, innaka antal ‘azîzul a’zham’ sebanyak 70 kali, lalu mengucapkan bacaan yang sama seperti pada sujud pertama, kemudian memintakan hajatnya kepada Allah ; maka sesungguhnya ia pasti akan dikabulkan.” …Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bersabda, “Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seorang hamba laki dan wanita pun yang melakukan shalat ini kecuali akan diampuni Allah seluruh dosanya sekalipun sebanyak buih di lautan, sebanyak bilangan pasir, seberat gunung-gemunung dan sebanyak daun-daun pepohonan. Sebanyak 700 orang dari anggota keluarganya akan diberi syafa’at pada hari Kiamat sekalipun mereka itu orang-orang yang dipastikan masuk neraka.” (Lihat, Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn karya al-Ghazaly, Jld.I, h.202; Tabyîn, Ibid.,h.22-24)
“Tidaklah seseorang yang berpuasa pada hari Kamis (Kamis pertama dalam bulan Rajab), kemudian dia melakukan shalat antara ‘Isya dan tengah malam, yakni pada malam Jum’at sebanyak 12 raka’at, dengan membaca pada setiap raka’atnya surat al-Fatihah satu kali dan surat ‘Innâ Anzalnâhu..(al-Qadr)’ sebanyak tiga kali, dan ‘Qul huwallâhu Ahad’ sebanyak 12 kali, antara setiap dua raka’at dipisahkan oleh satu salam, setelah menyelesaikan shalatnya, dia membaca shalawat kepadaku sebanyak 70 kali, mengucapkan ‘Subbûhun Quddûsun Rabbul Malâ`ikati War Rûh’ di dalam sujudnya sebanyak 70 kali, kemudian mengangkat kepalanya (I’tidal) seraya mengucapkan ‘Rabbighfir warham wa tajâwaz ‘amma ta’lam, innaka antal ‘azîzul a’zham’ sebanyak 70 kali, lalu mengucapkan bacaan yang sama seperti pada sujud pertama, kemudian memintakan hajatnya kepada Allah ; maka sesungguhnya ia pasti akan dikabulkan.” …Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bersabda, “Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seorang hamba laki dan wanita pun yang melakukan shalat ini kecuali akan diampuni Allah seluruh dosanya sekalipun sebanyak buih di lautan, sebanyak bilangan pasir, seberat gunung-gemunung dan sebanyak daun-daun pepohonan. Sebanyak 700 orang dari anggota keluarganya akan diberi syafa’at pada hari Kiamat sekalipun mereka itu orang-orang yang dipastikan masuk neraka.” (Lihat, Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn karya al-Ghazaly, Jld.I, h.202; Tabyîn, Ibid.,h.22-24)
Kedua, Ucapan Para Ulama Mengenainya.
- Imam
an-Nawawy
“Ia (shalat Raghâ`ib) adalah perbuatan
bid’ah yang buruk lagi munkar (yang harus diingkari dengan sangat), mengandung
beberapa kemungkaran. Karena itu, wajib ‘ain untuk ditinggalkan dan tidak
melakukannya serta mengingkari pelakunya.” (Lihat, Fâtâwa al-Imâm an-Nawawy,
h.57)
- Ibnu Taimiyyah
Beliau mengatakan, “Adapun shalat
Raghâ`ib tersebut tidak ada asalnya sama sekali bahkan ia perbuatna bid’ah,
tidak dianjurkan baik melakukannya secara berjama’ah ataupun sendiri-sendiri.
Di dalam Shahih Muslim terdapat hadits yang shahih bahwasanya Nabi Shallallahu
‘Alaihi Wasallam, melarang untuk mengkhususkan malam Jum’at dengan shalat
malam, atau hari Jum’at dengan berpuasa. Sedangkan atsar (hadits) yang
menyebutkan hal itu adalah bohong dan palsu menurut kesepakatan para ulama dan
tidak seorang ulama Salaf dan para imam pun yang menyebutkan ada asalnya
.”(Lihat, Fatâwa Ibn Taimiyyah, Jld.XXIII, h.132, 134, 135)
Dalam hal ini, ath-Thurthûsyiy telah menjelaskan
perihal bagaimana mula terjadinya,“Abu Muhammad al-Maqdisy memberitahukan
kepadaku seraya berkata, ‘Kami di Baitul Maqdis (Palestina), tidak mengenal
sama sekali apa itu shalat Raghâ`ib yang dikerjakan pada bulan Rajab dan
Sya’ban. Awal mula terjadinya di tempat kami, yaitu pada tahun 448 H. Ketika
itu, seorang laki-laki yang berasal dari Nables (Tripoli Lebanon) datang ke
Baitul Maqdis, ia dikenal dengan nama Ibnu Abi al-Hamrâ` yang suaranya amat
bagus. Pada malam Nisfu Sya’ban (pertengahan bulan, tgl 15) dia melakukan
shalat malam di Masjid Aqsha….[hingga ke perkataannya: ) “Adapun mengenai
shalat Rajab, tidak pernah terjadi pada kami di Baitul Maqdis kecuali setelah
tahun 480 H. Kami tidak pernah melihat ataupun mendengar tentangnya sebelum
itu.”(Lihat, al-Hawâdits Wa al-Bida’, h.103)
Dan di antara para ulama yang dengan tegas menyatakan
kepalsuan hadits mengenai shalat Raghâ`ib tersebut adalah: Ibn al-Jauziy di
dalam kitabnya, al-Maudlû’ât, Al-Hâfizh Abu al-Khaththâb dan Abu Syâmmah
(lihat, al-Bâ’its ‘Ala Inkâr al-Bida’ Wa al-Hawâdits, h.61-67)
Sedangkan para ulama yang menyatakan secara tegas
kebid’ahan perbuatan tersebut adalah: Ibn al-Hâjj (lihat, al-Madkhal, Jld.I,
h.211), Ibn Rajab, Abu Ismâ’îl al-Anshâry, Abu Bakar as-Sam’âny, dan Abu
al-Fadll bin Nâshir (lihat, Lathâ`if al-Ma’ârif, tahqiq al-Ustadz Yâsîn
as-Sawwâs, h.228) Dan lain-lain (lihat, Muqaddimah Musâjalah al-‘Izz bin
‘Abd as-Salam Wa Ibn ash-Shalâh, h.87)
Sebuah Pengakuan Memalukan
Abu Syâmmah berkata, “Betapa banyak imam masjid yang
berkata kepadaku, ‘Sesungguhnya shalat itu tidak dikerjakan kecuali untuk
menjaga hati (perasaan) orang-orang awam terhadapnya dan agar tetap berada di
masjid karena takut dicopot.!’ Dalam hal ini, mereka telah melakukan shalat
tanpa niat yang shahih (benar) dan pelecehan terhadap kondisi berdiri tegak di
hadapan Allah Ta’ala. Andaikata hanya dengan alasan ini saja perbuatan
ini dianggap sebagai bid’ah, maka tentulah sudah cukup. Jadi, setiap orang yang
meyakini disyari’atkannya shalat ini atau menilainya baik, maka faktor utamanya
adalah alasan tersebut; tergiur dengan orang awam terhadap apa yang mereka
yakini dan berdusta terhadap syari’at karenanya. Andaikata mereka itu diberi
pengarahan dan diperkenalkan dengan hal ini setahun demi setahun, tentulah
mereka sudah tidak melakukan itu lagi dan membatalkanya akan tetapi karena
takut lenyapnya kekuasaan para pencinta bid’ah dan orang-orang yang
menghidupkannya. Wallah al-Muwaffiq. Dulu para pemimpin Ahli Kitab tidak mau
masuk Islam gara-gara takut kepemimpinan spritual mereka hilang. Karena itu,
turunlah terhadap mereka ayat [surat al-Baqarah, ayat 79].” (lihat, al-Bâ’its
‘Ala Inkâr al-Bida’ Wa al-Hawâdits, h.105)
Hal-Hal Lain Yang Berkenaan Dengan Bulan Rajab
Dan banyak lagi hal-hal yang terkait dengan bulan
Rajab namun tidak ada landasannya yang kuat, seperti:
- Peringatan
Isra` Mi’raj.
Kita sepakat bahwa peristiwa ini
benar terjadi terhadap Rasulullah namun tidak terdapat dalil-dalil yang akurat
kapan tepatnya perisitwa ini terjadi. Karena itu, Ibnu Hajar di dalam kitab Fath
al-Bâry sampai menyebutkan sepuluhan pendapat.
Mengenai bahwa ia terjadi tanggal 27
Rajab, di sini akan kami sebutkan beberapa perkataan ulama:
- Ibnu
Hajar mengenai Ibnu Duhayyah, “Sebagian para pengarang cerita menyebutkan
bahwa isra` terjadi pada bulan Rajab. Dia berkata, ‘hal itu bohong
belaka.’ “ (lihat, Tabyîn, Op.cit)
- Ibnu
Rajab berkata, “Diriwayatkan dengan sanad yang tidak shahih, dari
al-Qâsim bin Muhammad bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam
melakukan isra` pada tanggal 27 Rajab namun hal itu diingkari oleh
Ibrahim al-Harby dan ulama selainnya.” (Lihat, Zâd al-Ma’âd, karya
Ibnu al-Qayyim, Jld.I, h.275; Fath al-Bâry, karya Ibn Hajar,
jld.VII, h.242-243, perbedaan yang terjadi adalah seputar mi’raj (naik ke
langit) lalu beliau menjelaskan bahwa ia terjadi pada bulan Rajab, ada
yang menyebutkan, pada bulan Rabi’ul Akhir, bulan Ramadlan atau bulan
syawwal dan yang benar adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu
Taimiyyah berikut.
- Ibn
Taimiyyah berkata, “Tidak ada dalil yang dikenal baik mengenai bulannya,
pertengahannya ataupun apa hakikatnya bahkan riwayat-riwayat mengenai hal
itu terputus dan berbeda-beda, tidak ada satupun yang dapat dipastikan.”
(Lihat, Lathâ`if al-Ma’ârif karya Ibn Rajab, h.233)Jadi,
kalaupun penentuan mengenai terjadinya malam isra` mi’raj itu valid,
pastilah tidak akan disyari’atkan juga kepada siapapun untuk
mengkhususkannya dengan sesuatu karena tidak ada hadits yang shahih dari
Nabi ataupun salah seorang shahabat atau tabi’in bahwa mereka menjadikan
kekhususan tersendiri bagi malam Isra` dari yang lainnya apalagi sampai
mengadakan perayaan untuk memperingatinya, di samping bid’ah-bid’ah dan
perbuatan-perbuatan munkar lainnya yang dilakukan pada perayaan itu.”
- Menyembelih
dan semisalnya.
Secara umum, menyembelih karena
Allah pada bulan Rajab tidaklah dilarang seperti pada bulan-bulan lainnya,
namun Ahli Jahiliyyah selalu menyembelih sembelihan pada bulan Rajab ini, yang
disebut dengan ‘Atîrah. Mengenainya terdapat perbedaan pendapat di kalangan
para ulama, namun pendapat yang rajih (kuat) adalah bahwa pada mulanya ia
dibenarkan tetapi kemudian dinasakh (dihapus). (Lihat, Lathâ`if,
Op.cit., h.227; al-I’tibâr Fî an-Nâsikh Wa al-Mansûkh Min al-آtsâr karya al-Hâzimy, h.388-390)
Al-Hasan al-Bashry berkata, “Di
dalam Islam tidak ada lagi ‘Atîrah sebab ia hanya ada pada masa
Jahiliyyah di mana salah seorang mereka (orang-orang Jahiliyyah) berpuasa dan
melakukan ritual ‘Atîrah (menyembelih pada bulan Rajab). (Lihat, Lathâ`if,
ibid.,)
Ibn Rajab berkata, “Sama hukumnya
dengan menyembelih pada bulan Rajab (‘Atîrah), menjadikannya (bulan
Rajab) sebagai hari besar (perayaan) seperti makan manisan dsb. (Lihat, Lathâ`if,
ibid.,)
- Mengkhususkan
I’tikaf Dan Puasa.
Ibn Rajab berkata, “Tidak ada
sesuatupun (hadits ataupun atsar) yang shahih dari Nabi Shallahu ‘Alaihi
Wasallam, maupun dari para shahabatnya terkait dengan keutamaan berpuasa pada
bulan Rajab secara khusus.” ((Lihat, Lathâ`if, ibid.,h.228)
Ibnu Taimiyyah juga menyebutkan
bahwa semua yang terkait dengan puasa pada bulan Rajab secara khusus adalah
Dla’îf (lemah) bahkan Mawdlû’ (palsu). Beliau juga menyebutkan bahwa di dalam
kitab Sunan Ibn Mâjah terdapat hadits yang menyatakan pelarangan puasa
pada bulan Rajab sekalipun sanadnya perlu ditinjau kembali, namun –kata beliau-
terdapat Atsar yang shahih dari Umar bin al-Khaththab bahwa dia memukuli
tangan orang-orang agar meletakkan makanan pada bulan Rajab (maksudnya, agar
makan) seraya berkata, “Jangan samakan ia dengan bulan Ramadlan. ”Sementara
mengkhususkan tiga bulan; Rajab, Sya’ban dan Ramadlan untuk melakukan I’tikaf,
tidak terdapat juga perintah atas hal itu. Yang semestinya, bahwa siapa saja
yang melakukan puasa yang disyari’atkan dan dalam keadaan puasa itu dia ingin
beri’tikaf, maka tidak disangkal lagi kebolehannya. (Lihat, Majmû’
al-Fatawa, Op.cit.,Jld.XXV, h.290-292)
Perlu diketahui, bahwa tidak
dibolehkannya berpuasa secara khusus pada bulan Ramadlan, bukan berarti tidak
boleh berpuasa sunnah padanya seperti dalil-dalil umum yang menganjurkan
berpuasa senin-kamis, hari Bîdl (tiga hari dalam setiap bulan hijriah; tgl
13,14,15) dan sehari puasa sehari berbuka.
Menurut ath-Thurthûsyiy, hal itu
dinilai makruh hukumnya karena salah satu dari tiga aspek:
- Bila
kaum Muslimin mengkhususkannya pada setiap tahun di mana orang-orang awam
dan orang yang tidak mengerti tentang syari’at bahwa ia hukumnya wajib
sebagaimana puasa Ramadlan karena kelihatan sekali puasa tersebut (bulan
Rajab) dilakukan orang.
- Meyakini
bahwa melakukan puasa Rajab secara khusus itu merupakan sunnah yang valid
dari Rasulullah seperti halnya sunnah-sunnah Rawatib.
- Meyakini
bahwa melakukan puasa pada bulan Rajab tersebut memiliki pahala khusus
yang melebihi pahala pada bulan lainnya, bahwa ia sama kedudukannya
dengan puasa ‘Asyura` dan seperti keutamaan shalat akhir malam atas
pangkal malamnya. Jadi, disini dalam rangka keutamaan (Fadlâ`il) bukan
sunnah atau fardlu. Ath-Thurthûsyiy mengomentari, “Andaikata memang
demikian, tentu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, telah menjelaskanhya
ataupun melakukannya sekalipun hanya sekali seumur hidup. Manakala beliau
tidak melakukan hal itu, maka tidak benar (batil) bahwa ia memiliki
keutamaan yang khusus. (Lihat, al-Bida’ wa al-Hawâdits, h.110-111;
Tabyîn, Op.cit., h.37-38)
- Melakukan
Umrah.
Ada sebagian orang yang secara
khusus pada bulan Rajab sangat antusias melakukan umrah karena menganggapnya
memiliki keutamaan tersendiri. Ini tidak ada landasannya sama sekali. Imam
al-Bukhary meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar yang berkata, “Sesungguhnya Rasulullah
melakukan empat kali umrah salah satunya di bulan Rajab. ‘Aisyah berkata,
‘Semoga Allah merahmati Abu ‘Abdirrahman (Ibn ‘Umar), tidaklah beliau melakukan
umrah melainkan dia selalu menyaksikannya padahal beliau tidak pernah melakukan
umrah pada bulan Rajab.’” (Lihat, Shahih al-Bukhary, hadtis no.1776)
Ibnu al-‘Aththâr mengatakan bahwa
ada kebiasaan penduduk Mekkah melakukan banyak umrah pada bulan Rajab padahal
tidak ada landasannya. (Lihat, al-Musâjalah, Op.cit.,h.56; Fatâwa
asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahimi, Jld.VI, h.131)
Syaikh Ibnu Bâz juga menyatakan
bahwa sebaik-baik waktu untuk melakukan umrah adalah pada bulan Ramadlan
berdasarkan sabda Rasulullah, “Umrah pada bulan Ramadlan menyamai pahala
haji.” Setelah itu, pada bulan Dzulqa’dah karena semua umrahnya terjadi
pada bulan ini, sebagaimana hal ini merupakan pesan dari firman Allah agar kita
meneladani Rasulullah. [Q.s.,al-Ahzâb:21]. (Lihat, Fatâwa Islâmiyyah,
editor Ust.Muhammad al-Musnid, Jld.II, h.303-304)
- Mengeluarkan
Zakat.
Ada sebagian negara yang biasanya
mengeluarkan zakat pada bulan Rajab.
Ibnu Rajab menyatakan bahwa hal ini
tidak ada landasannya di dalam as-Sunnah maupun dari pada ulama Salaf. Beliau
menegaskan bahwa manakala sudah mencapai nishab dan sudah mencapi haul (putaran
setahun penuh) maka wajib zakat. (Lihat, Lathâ`if, Op.cit.,h.231-232)
Kritik Terhadap Sebagian Da’i
Ada sebagian da’i yang masih melakukan berbagai macam
ritual pada bulan-bulan tertentu, termasuk bulan Rajab padahal mereka yakin
sekali hal itu tidak disyari’atkan alias bid’ah namun mereka melakukannya
karena alasan khawatir orang-orang hanya sibuk saja tanpa melakukan ibadah
apapun bila mereka meninggalkan bid’ah-bid’ah yang biasa mereka lakukan itu.
Di samping bid’ah merupakan dosa yang amat besar
setelah kesyirikan, orientasi di dalam berdakwah dan cara merubah yang seperti
ini sangatlah berbahaya dan bertentangan dengan petunjuk Rasulullah Shallallaahu
‘alaihi wa sallam. Sewajibnya, orang-orang diajak untuk melakukan murni
sunnah yang tidak akan lurus dien ini tanpanya.
Sufyan ats-Tsawry berkata, “Para ulama fiqih sering
berkata, ‘tidaklah suatu ucapan mantap (lurus) kecuali diimplementasikan
melalui perbuatan dan tidaklah ucapan dan perbuatan itu akan lurus kecuali
melalui niat dan tidaklah akan lurus perkataan, perbuatan dan niat itu kecuali
dengan melakukannya sesuai dengan sunnah.” (Lihat, al-Ibânah al-Kubra,
karya Ibn Baththah, Jld.I, h.333)
Sepatutnya mereka (sebagian da’i) belajar as-Sunnah,
mengajarkannya dan mengajak diri mereka dan orang-orang sekitar mereka untuk
memperaktikkannya sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam., bersabda, “Barangsiapa
yang melakukan suatu amalan (dalam agama) yang tidak pernah kami lakukan, maka
ia tertolak.”
Alangkah indahnya ucapan Abu al-’Aliyah saat berkata
kepada sebagian sahabatnya, “Pelajarilah Islam; bila sudah kamu pelajari, maka
janganlah kamu benci terhadapnya. Hendaklah kalian berpegang teguh kepada jalan
yang lurus (ash-Shirath al-Mustaqim), sebab ia adalah Islam itu sendiri dan
janganlah kamu melenceng dari jalan yang lurus itu ke kanan atau ke kiri.
Hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnah Nabi kalian dan hati-hatilah
terhadap hawa nafsu-hawa nafsu ini yang melemparkan permusuhan dan kebencian di
antara para pemiliknya…” (Lihat, Ibid.,h.338)
Sebelumnya, Hudzaifah pernah berkata, “Wahai para
Qâri` (penghafal al-Qur’an), luruslah (mantaplah) sebab kalian sudah sekian
jauh didahului dan jika kalian mengambil arah kanan atau kiri, maka pastilah
kalian akan tersesat dengan sangat jauh sekali.” (Lihat, al-Bida’ Wa
an-Nahyu ‘Anha karya Ibn Wadldlâh, h.10-11)
Khatimah
Para da’i dan umat saat ini dituntut untuk semata
mengikuti Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dalam hal apapun sama
persis seratus persen dengan tuntutan agar mereka semata berbuat ikhlash karena
Allah Ta’ala bila mereka ingin diri mereka selamat dan agama mereka mendapatkan
pertolongan dan berjaya. (Baca firman Allah, QS. al-Kahfi:110; al-Hajj: 40)
Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua ke
jalan kebaikan sebab Dia-lah Penunjuk jalan kebaikan. (Abu Hafshoh)
(Sumber: Diambil dari artikel berjudul, Fadlâ`il
Syahr Rajab Fî al-Mîzân, karya Faishal bin ‘Aly al-Ba’dâny, dengan sedikit
perubahan redaksi baik pengurangan atau penambahan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar