Rabu, 20 Juni 2012

KEUTAMAAN BULAN RA'JAB



Jauhnya sebagian umat Islam dari ajaran agamanya mengakibatkan mereka tak mampu membedakan antara ajaran agama atau bukan. Sesuatu yang merupakan ajaran agama terkadang dipandang bukan ajaran agama. Sebaliknya, sesuatu yang bukan ajaran agama justru dipandang sebagai ajaran agama.
Di sinilah peran ilmu syar’i sangat penting dan menentukan, sehingga seseorang tak salah dalam mengklasifikasikan suatu persoalan, ushuliyah kah (pokok/prinsip) atau tergolong masalah furu’iyah (cabang) yang di dalamnya terbuka pintu ijtihad dan perbedaan pendapat.
Di sisi lain, ada beberapa persoalan yang secara jelas termasuk yang diada-adakan dalam agama ini yang seharusnya ditinggalkan karena tidak berdasarkan dalil yang jelas dan tegas, tetapi diamalkan oleh sebagian besar umat Islam.
Untuk mengetahui dan menimbang dengan adil permasalahan ini, maka marilah kita menyimak artikel-artikel di bawah ini dengan harapan semoga bermanfa’at.
Keutamaan Bulan Rajab
Jawabnya, mari kita simak apa yang dituturkan oleh Ibnu Hajar, “Tidak terdapat hadits shahih yang layak untuk dijadikan hujjah mengenai keutamaan bulan Rajab, berpuasa padanya, berpuasa dengan sesuatu tertentu (hari-hari tertentu) darinya ataupun melakukan shalat malam secara khusus padanya. Sudah ada orang yang terlebih dahulu memastikan akan hal ini dari padaku, yaitu Imam Abu Isma’il al-Harawy, al-Hâfizh. Kami meriwayatkan darinya dengan sanad yang shahih, demikian juga riwayat dari ulama selainnya.” (Lihat kitab Tabyin al-‘Ajab Fî Mâ Warada Fî Fadlli Rajab karya Ibn Hajar, h.6; as-Sunan wal al-Mubtada’ât karya asy-Syuqairy, h.125)
Beliau juga berkata, “Sedangkan mengenai hadits-hadits yang berbicara tentang keutamaan bulan Rajab, keutamaan berpuasa padanya atau berpuasa dengan sesuatu darinya secara jelas, maka dapat dikategorikan kepada dua jenis; hadits-hadits yang lemah (Dla’îf) dan hadits-hadits palsu (Maudlû’). Kami memaparkan hadits-hadits yang lemah tersebut dan kami isyaratkan juga kepada hadits-hadits yang palsunya…”(Lihat Tabyîn, Ibid., h.8). Lalu beliau memaparkan satu per satu hadits-hadits tersebut)
Seputar Shalat Raghâ`ib
Pertama, sifatnya (spesifikasinya).
Mengenai sifat/spesifikasinya terdapat hadits yang palsu (Maudlû’) dari Anas, dari Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam., bahwa beliau bersabda,
“Tidaklah seseorang yang berpuasa pada hari Kamis (Kamis pertama dalam bulan Rajab), kemudian dia melakukan shalat antara ‘Isya dan tengah malam, yakni pada malam Jum’at sebanyak 12 raka’at, dengan membaca pada setiap raka’atnya surat al-Fatihah satu kali dan surat ‘Innâ Anzalnâhu..(al-Qadr)’ sebanyak tiga kali, dan ‘Qul huwallâhu Ahad’ sebanyak 12 kali, antara setiap dua raka’at dipisahkan oleh satu salam, setelah menyelesaikan shalatnya, dia membaca shalawat kepadaku sebanyak 70 kali, mengucapkan ‘Subbûhun Quddûsun Rabbul Malâ`ikati War Rûh’ di dalam sujudnya sebanyak 70 kali, kemudian mengangkat kepalanya (I’tidal) seraya mengucapkan ‘Rabbighfir warham wa tajâwaz ‘amma ta’lam, innaka antal ‘azîzul a’zham’ sebanyak 70 kali, lalu mengucapkan bacaan yang sama seperti pada sujud pertama, kemudian memintakan hajatnya kepada Allah ; maka sesungguhnya ia pasti akan dikabulkan.” …Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, bersabda, “Demi Yang jiwaku berada di tangan-Nya, tidak ada seorang hamba laki dan wanita pun yang melakukan shalat ini kecuali akan diampuni Allah seluruh dosanya sekalipun sebanyak buih di lautan, sebanyak bilangan pasir, seberat gunung-gemunung dan sebanyak daun-daun pepohonan. Sebanyak 700 orang dari anggota keluarganya akan diberi syafa’at pada hari Kiamat sekalipun mereka itu orang-orang yang dipastikan masuk neraka.” (Lihat, Ihyâ` ‘Ulûm ad-Dîn karya al-Ghazaly, Jld.I, h.202; Tabyîn, Ibid.,h.22-24)
Kedua, Ucapan Para Ulama Mengenainya.
  • Imam an-Nawawy
“Ia (shalat Raghâ`ib) adalah perbuatan bid’ah yang buruk lagi munkar (yang harus diingkari dengan sangat), mengandung beberapa kemungkaran. Karena itu, wajib ‘ain untuk ditinggalkan dan tidak melakukannya serta mengingkari pelakunya.” (Lihat, Fâtâwa al-Imâm an-Nawawy, h.57)
  • Ibnu Taimiyyah
Beliau mengatakan, “Adapun shalat Raghâ`ib tersebut tidak ada asalnya sama sekali bahkan ia perbuatna bid’ah, tidak dianjurkan baik melakukannya secara berjama’ah ataupun sendiri-sendiri. Di dalam Shahih Muslim terdapat hadits yang shahih bahwasanya Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, melarang untuk mengkhususkan malam Jum’at dengan shalat malam, atau hari Jum’at dengan berpuasa. Sedangkan atsar (hadits) yang menyebutkan hal itu adalah bohong dan palsu menurut kesepakatan para ulama dan tidak seorang ulama Salaf dan para imam pun yang menyebutkan ada asalnya .”(Lihat, Fatâwa Ibn Taimiyyah, Jld.XXIII, h.132, 134, 135)
Dalam hal ini, ath-Thurthûsyiy telah menjelaskan perihal bagaimana mula terjadinya,“Abu Muhammad al-Maqdisy memberitahukan kepadaku seraya berkata, ‘Kami di Baitul Maqdis (Palestina), tidak mengenal sama sekali apa itu shalat Raghâ`ib yang dikerjakan pada bulan Rajab dan Sya’ban. Awal mula terjadinya di tempat kami, yaitu pada tahun 448 H. Ketika itu, seorang laki-laki yang berasal dari Nables (Tripoli Lebanon) datang ke Baitul Maqdis, ia dikenal dengan nama Ibnu Abi al-Hamrâ` yang suaranya amat bagus. Pada malam Nisfu Sya’ban (pertengahan bulan, tgl 15) dia melakukan shalat malam di Masjid Aqsha….[hingga ke perkataannya: ) “Adapun mengenai shalat Rajab, tidak pernah terjadi pada kami di Baitul Maqdis kecuali setelah tahun 480 H. Kami tidak pernah melihat ataupun mendengar tentangnya sebelum itu.”(Lihat, al-Hawâdits Wa al-Bida’, h.103)
Dan di antara para ulama yang dengan tegas menyatakan kepalsuan hadits mengenai shalat Raghâ`ib tersebut adalah: Ibn al-Jauziy di dalam kitabnya, al-Maudlû’ât, Al-Hâfizh Abu al-Khaththâb dan Abu Syâmmah (lihat, al-Bâ’its ‘Ala Inkâr al-Bida’ Wa al-Hawâdits, h.61-67)
Sedangkan para ulama yang menyatakan secara tegas kebid’ahan perbuatan tersebut adalah: Ibn al-Hâjj (lihat, al-Madkhal, Jld.I, h.211), Ibn Rajab, Abu Ismâ’îl al-Anshâry, Abu Bakar as-Sam’âny, dan Abu al-Fadll bin Nâshir (lihat, Lathâ`if al-Ma’ârif, tahqiq al-Ustadz Yâsîn as-Sawwâs, h.228) Dan lain-lain (lihat, Muqaddimah Musâjalah al-‘Izz bin ‘Abd as-Salam Wa Ibn ash-Shalâh, h.87)
Sebuah Pengakuan Memalukan
Abu Syâmmah berkata, “Betapa banyak imam masjid yang berkata kepadaku, ‘Sesungguhnya shalat itu tidak dikerjakan kecuali untuk menjaga hati (perasaan) orang-orang awam terhadapnya dan agar tetap berada di masjid karena takut dicopot.!’ Dalam hal ini, mereka telah melakukan shalat tanpa niat yang shahih (benar) dan pelecehan terhadap kondisi berdiri tegak di hadapan Allah Ta’ala. Andaikata hanya dengan alasan ini saja perbuatan ini dianggap sebagai bid’ah, maka tentulah sudah cukup. Jadi, setiap orang yang meyakini disyari’atkannya shalat ini atau menilainya baik, maka faktor utamanya adalah alasan tersebut; tergiur dengan orang awam terhadap apa yang mereka yakini dan berdusta terhadap syari’at karenanya. Andaikata mereka itu diberi pengarahan dan diperkenalkan dengan hal ini setahun demi setahun, tentulah mereka sudah tidak melakukan itu lagi dan membatalkanya akan tetapi karena takut lenyapnya kekuasaan para pencinta bid’ah dan orang-orang yang menghidupkannya. Wallah al-Muwaffiq. Dulu para pemimpin Ahli Kitab tidak mau masuk Islam gara-gara takut kepemimpinan spritual mereka hilang. Karena itu, turunlah terhadap mereka ayat [surat al-Baqarah, ayat 79].” (lihat, al-Bâ’its ‘Ala Inkâr al-Bida’ Wa al-Hawâdits, h.105)
Hal-Hal Lain Yang Berkenaan Dengan Bulan Rajab
Dan banyak lagi hal-hal yang terkait dengan bulan Rajab namun tidak ada landasannya yang kuat, seperti:
  • Peringatan Isra` Mi’raj.
Kita sepakat bahwa peristiwa ini benar terjadi terhadap Rasulullah namun tidak terdapat dalil-dalil yang akurat kapan tepatnya perisitwa ini terjadi. Karena itu, Ibnu Hajar di dalam kitab Fath al-Bâry sampai menyebutkan sepuluhan pendapat.
Mengenai bahwa ia terjadi tanggal 27 Rajab, di sini akan kami sebutkan beberapa perkataan ulama:
    • Ibnu Hajar mengenai Ibnu Duhayyah, “Sebagian para pengarang cerita menyebutkan bahwa isra` terjadi pada bulan Rajab. Dia berkata, ‘hal itu bohong belaka.’ “ (lihat, Tabyîn, Op.cit)
    • Ibnu Rajab berkata, “Diriwayatkan dengan sanad yang tidak shahih, dari al-Qâsim bin Muhammad bahwa Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam melakukan isra` pada tanggal 27 Rajab namun hal itu diingkari oleh Ibrahim al-Harby dan ulama selainnya.” (Lihat, Zâd al-Ma’âd, karya Ibnu al-Qayyim, Jld.I, h.275; Fath al-Bâry, karya Ibn Hajar, jld.VII, h.242-243, perbedaan yang terjadi adalah seputar mi’raj (naik ke langit) lalu beliau menjelaskan bahwa ia terjadi pada bulan Rajab, ada yang menyebutkan, pada bulan Rabi’ul Akhir, bulan Ramadlan atau bulan syawwal dan yang benar adalah sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Taimiyyah berikut.
    • Ibn Taimiyyah berkata, “Tidak ada dalil yang dikenal baik mengenai bulannya, pertengahannya ataupun apa hakikatnya bahkan riwayat-riwayat mengenai hal itu terputus dan berbeda-beda, tidak ada satupun yang dapat dipastikan.” (Lihat, Lathâ`if al-Ma’ârif karya Ibn Rajab, h.233)Jadi, kalaupun penentuan mengenai terjadinya malam isra` mi’raj itu valid, pastilah tidak akan disyari’atkan juga kepada siapapun untuk mengkhususkannya dengan sesuatu karena tidak ada hadits yang shahih dari Nabi ataupun salah seorang shahabat atau tabi’in bahwa mereka menjadikan kekhususan tersendiri bagi malam Isra` dari yang lainnya apalagi sampai mengadakan perayaan untuk memperingatinya, di samping bid’ah-bid’ah dan perbuatan-perbuatan munkar lainnya yang dilakukan pada perayaan itu.”
  • Menyembelih dan semisalnya.
Secara umum, menyembelih karena Allah pada bulan Rajab tidaklah dilarang seperti pada bulan-bulan lainnya, namun Ahli Jahiliyyah selalu menyembelih sembelihan pada bulan Rajab ini, yang disebut dengan ‘Atîrah. Mengenainya terdapat perbedaan pendapat di kalangan para ulama, namun pendapat yang rajih (kuat) adalah bahwa pada mulanya ia dibenarkan tetapi kemudian dinasakh (dihapus). (Lihat, Lathâ`if, Op.cit., h.227; al-I’tibâr Fî an-Nâsikh Wa al-Mansûkh Min al-آtsâr karya al-Hâzimy, h.388-390)
Al-Hasan al-Bashry berkata, “Di dalam Islam tidak ada lagi ‘Atîrah sebab ia hanya ada pada masa Jahiliyyah di mana salah seorang mereka (orang-orang Jahiliyyah) berpuasa dan melakukan ritual ‘Atîrah (menyembelih pada bulan Rajab). (Lihat, Lathâ`if, ibid.,)
Ibn Rajab berkata, “Sama hukumnya dengan menyembelih pada bulan Rajab (‘Atîrah), menjadikannya (bulan Rajab) sebagai hari besar (perayaan) seperti makan manisan dsb. (Lihat, Lathâ`if, ibid.,)
  • Mengkhususkan I’tikaf Dan Puasa.
Ibn Rajab berkata, “Tidak ada sesuatupun (hadits ataupun atsar) yang shahih dari Nabi Shallahu ‘Alaihi Wasallam, maupun dari para shahabatnya terkait dengan keutamaan berpuasa pada bulan Rajab secara khusus.” ((Lihat, Lathâ`if, ibid.,h.228)
Ibnu Taimiyyah juga menyebutkan bahwa semua yang terkait dengan puasa pada bulan Rajab secara khusus adalah Dla’îf (lemah) bahkan Mawdlû’ (palsu). Beliau juga menyebutkan bahwa di dalam kitab Sunan Ibn Mâjah terdapat hadits yang menyatakan pelarangan puasa pada bulan Rajab sekalipun sanadnya perlu ditinjau kembali, namun –kata beliau- terdapat Atsar yang shahih dari Umar bin al-Khaththab bahwa dia memukuli tangan orang-orang agar meletakkan makanan pada bulan Rajab (maksudnya, agar makan) seraya berkata, “Jangan samakan ia dengan bulan Ramadlan. ”Sementara mengkhususkan tiga bulan; Rajab, Sya’ban dan Ramadlan untuk melakukan I’tikaf, tidak terdapat juga perintah atas hal itu. Yang semestinya, bahwa siapa saja yang melakukan puasa yang disyari’atkan dan dalam keadaan puasa itu dia ingin beri’tikaf, maka tidak disangkal lagi kebolehannya. (Lihat, Majmû’ al-Fatawa, Op.cit.,Jld.XXV, h.290-292)
Perlu diketahui, bahwa tidak dibolehkannya berpuasa secara khusus pada bulan Ramadlan, bukan berarti tidak boleh berpuasa sunnah padanya seperti dalil-dalil umum yang menganjurkan berpuasa senin-kamis, hari Bîdl (tiga hari dalam setiap bulan hijriah; tgl 13,14,15) dan sehari puasa sehari berbuka.
Menurut ath-Thurthûsyiy, hal itu dinilai makruh hukumnya karena salah satu dari tiga aspek:
    • Bila kaum Muslimin mengkhususkannya pada setiap tahun di mana orang-orang awam dan orang yang tidak mengerti tentang syari’at bahwa ia hukumnya wajib sebagaimana puasa Ramadlan karena kelihatan sekali puasa tersebut (bulan Rajab) dilakukan orang.
    • Meyakini bahwa melakukan puasa Rajab secara khusus itu merupakan sunnah yang valid dari Rasulullah seperti halnya sunnah-sunnah Rawatib.
    • Meyakini bahwa melakukan puasa pada bulan Rajab tersebut memiliki pahala khusus yang melebihi pahala pada bulan lainnya, bahwa ia sama kedudukannya dengan puasa ‘Asyura` dan seperti keutamaan shalat akhir malam atas pangkal malamnya. Jadi, disini dalam rangka keutamaan (Fadlâ`il) bukan sunnah atau fardlu. Ath-Thurthûsyiy mengomentari, “Andaikata memang demikian, tentu Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam, telah menjelaskanhya ataupun melakukannya sekalipun hanya sekali seumur hidup. Manakala beliau tidak melakukan hal itu, maka tidak benar (batil) bahwa ia memiliki keutamaan yang khusus. (Lihat, al-Bida’ wa al-Hawâdits, h.110-111; Tabyîn, Op.cit., h.37-38)
  • Melakukan Umrah.
Ada sebagian orang yang secara khusus pada bulan Rajab sangat antusias melakukan umrah karena menganggapnya memiliki keutamaan tersendiri. Ini tidak ada landasannya sama sekali. Imam al-Bukhary meriwayatkan dari Ibnu ‘Umar yang berkata, “Sesungguhnya Rasulullah melakukan empat kali umrah salah satunya di bulan Rajab. ‘Aisyah berkata, ‘Semoga Allah merahmati Abu ‘Abdirrahman (Ibn ‘Umar), tidaklah beliau melakukan umrah melainkan dia selalu menyaksikannya padahal beliau tidak pernah melakukan umrah pada bulan Rajab.’” (Lihat, Shahih al-Bukhary, hadtis no.1776)
Ibnu al-‘Aththâr mengatakan bahwa ada kebiasaan penduduk Mekkah melakukan banyak umrah pada bulan Rajab padahal tidak ada landasannya. (Lihat, al-Musâjalah, Op.cit.,h.56; Fatâwa asy-Syaikh Muhammad bin Ibrahimi, Jld.VI, h.131)
Syaikh Ibnu Bâz juga menyatakan bahwa sebaik-baik waktu untuk melakukan umrah adalah pada bulan Ramadlan berdasarkan sabda Rasulullah, “Umrah pada bulan Ramadlan menyamai pahala haji.” Setelah itu, pada bulan Dzulqa’dah karena semua umrahnya terjadi pada bulan ini, sebagaimana hal ini merupakan pesan dari firman Allah agar kita meneladani Rasulullah. [Q.s.,al-Ahzâb:21]. (Lihat, Fatâwa Islâmiyyah, editor Ust.Muhammad al-Musnid, Jld.II, h.303-304)
  • Mengeluarkan Zakat.
Ada sebagian negara yang biasanya mengeluarkan zakat pada bulan Rajab.
Ibnu Rajab menyatakan bahwa hal ini tidak ada landasannya di dalam as-Sunnah maupun dari pada ulama Salaf. Beliau menegaskan bahwa manakala sudah mencapai nishab dan sudah mencapi haul (putaran setahun penuh) maka wajib zakat. (Lihat, Lathâ`if, Op.cit.,h.231-232)
Kritik Terhadap Sebagian Da’i
Ada sebagian da’i yang masih melakukan berbagai macam ritual pada bulan-bulan tertentu, termasuk bulan Rajab padahal mereka yakin sekali hal itu tidak disyari’atkan alias bid’ah namun mereka melakukannya karena alasan khawatir orang-orang hanya sibuk saja tanpa melakukan ibadah apapun bila mereka meninggalkan bid’ah-bid’ah yang biasa mereka lakukan itu.
Di samping bid’ah merupakan dosa yang amat besar setelah kesyirikan, orientasi di dalam berdakwah dan cara merubah yang seperti ini sangatlah berbahaya dan bertentangan dengan petunjuk Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Sewajibnya, orang-orang diajak untuk melakukan murni sunnah yang tidak akan lurus dien ini tanpanya.
Sufyan ats-Tsawry berkata, “Para ulama fiqih sering berkata, ‘tidaklah suatu ucapan mantap (lurus) kecuali diimplementasikan melalui perbuatan dan tidaklah ucapan dan perbuatan itu akan lurus kecuali melalui niat dan tidaklah akan lurus perkataan, perbuatan dan niat itu kecuali dengan melakukannya sesuai dengan sunnah.” (Lihat, al-Ibânah al-Kubra, karya Ibn Baththah, Jld.I, h.333)
Sepatutnya mereka (sebagian da’i) belajar as-Sunnah, mengajarkannya dan mengajak diri mereka dan orang-orang sekitar mereka untuk memperaktikkannya sebab Nabi Shallallahu ‘Alaihi Wasallam., bersabda, “Barangsiapa yang melakukan suatu amalan (dalam agama) yang tidak pernah kami lakukan, maka ia tertolak.”
Alangkah indahnya ucapan Abu al-’Aliyah saat berkata kepada sebagian sahabatnya, “Pelajarilah Islam; bila sudah kamu pelajari, maka janganlah kamu benci terhadapnya. Hendaklah kalian berpegang teguh kepada jalan yang lurus (ash-Shirath al-Mustaqim), sebab ia adalah Islam itu sendiri dan janganlah kamu melenceng dari jalan yang lurus itu ke kanan atau ke kiri. Hendaklah kalian berpegang teguh kepada sunnah Nabi kalian dan hati-hatilah terhadap hawa nafsu-hawa nafsu ini yang melemparkan permusuhan dan kebencian di antara para pemiliknya…” (Lihat, Ibid.,h.338)
Sebelumnya, Hudzaifah pernah berkata, “Wahai para Qâri` (penghafal al-Qur’an), luruslah (mantaplah) sebab kalian sudah sekian jauh didahului dan jika kalian mengambil arah kanan atau kiri, maka pastilah kalian akan tersesat dengan sangat jauh sekali.” (Lihat, al-Bida’ Wa an-Nahyu ‘Anha karya Ibn Wadldlâh, h.10-11)
Khatimah
Para da’i dan umat saat ini dituntut untuk semata mengikuti Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa sallam, dalam hal apapun sama persis seratus persen dengan tuntutan agar mereka semata berbuat ikhlash karena Allah Ta’ala bila mereka ingin diri mereka selamat dan agama mereka mendapatkan pertolongan dan berjaya. (Baca firman Allah, QS. al-Kahfi:110; al-Hajj: 40)
Semoga Allah memberikan taufiq kepada kita semua ke jalan kebaikan sebab Dia-lah Penunjuk jalan kebaikan. (Abu Hafshoh)
(Sumber: Diambil dari artikel berjudul, Fadlâ`il Syahr Rajab Fî al-Mîzân, karya Faishal bin ‘Aly al-Ba’dâny, dengan sedikit perubahan redaksi baik pengurangan atau penambahan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar