Dari fakta-fakta
sejarah di atas dapat diambil pelajaran sebagai berikut:
Pertama
Kemuliaan seorang da’i atau
reformer (pembaharu) merupakan daya penarik masyarakat. Sebab biasanya
masyarakat itu akan menyepelekan da’i atau reformer; jika mereka tahu dia berasal
dan dibesarkan dalam suasana kehidupan yang tidak terhormat atau dari satu
keturunan yang rendahan. Kalau kelemahan ini tidak ada pada seorang da’i, maka
itu berarti tertutup cela-cela yang dapat membuat orang-orang menyepelekannya.
Andaikata masih juga, dapatlah dipastikan penyepelean dan keengganannya
menerima ajakan-ajakan sang da’i hanyalah diada-adakan belaka, dicari-cari.
Agaknya inilah dasarnya Kaisar Heraklius menanyakan perihal keturunan Nabi
Saw. kepada Abu Sofyan yang sengaja datang ke Istananya, guna menyampaikan surat Nabi yang berisi
ajakan untuk masuk ke dalam agama Islam.
Ø Bagaimana
kedudukan keturunannya (Nabi) di kalangan kalian ? Tanya Heraklius.
Ø Muhammad
Saw. itu berasal dan keturunan yang sangat terhormat di kalangan kami, jawab
Abu Sofyan.
Ø Setelah
tanya jawab itu selesai, Kaisar pun menjelaskan mengapa ia mempertanyakan hal
itu. Saya tanyakan kepadamu perihal keturunan Nabi Muhammad ini, bukan karena
aku tidak tahu sama sekali. Semula saya sudah mengira beliau mempunyai keturunan
yang mulia. Ingatlah, Tuhan selalu memilih orang mulia di kalangan
masyarakatnya untuk dijadikan Rasul, dan selalu dan keturunan yang terhormat
pula, kata Kaisar.
Memang
benar agama Islam tidak mengukur amal perbuatan seseorang berdasarkan atas mulia
atau tidaknya keturunan orang yang bersangkutan, akan tetapi tergabungnya
kemuliaan keturunan dengan kemuliaan amal perbuatan pada diri seseorang
tentulah lebih memungkinkannya menduduki kedudukan yang lebih tinggi dan
mendekatkan kepada kesuksesan, ketimbang orang yang tidak memiliki kedua hal
itu. Nabi Saw. sendiri pernah bersabda:
فَخِيَارُكُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُكُمْ
فِي الْإِسْلَامِ إِذَا فَقُهُوا
~?“Orang yang terhormat di antara kamu di masa jahiliyah adalah juga
terhormat di dalam Islam, jika mereka paham.” (HR. Bukhari)
Kedua
Dalam menjalankan
misi pasti terdapat penderitaan-penderitaan yang seimbang dengan penderitaan
hidup yang dialami anak yatim piatu atau derita-derita lainnya.
Kepiatuannya sejak masih kecil membuat beliau (Nabi) menghayati benar makna-makna
kemanusiaan, penuh kasih sayang kepada anak-anak yatim, orang-orang yang
menderita atau teranٌiaya. Pengalaman
itu juga membuat beliau gigih memperjuangkan dan membela nasib orang-orang
itu.
Seorang da’i
seyogianya memiliki rasa prikemanusiaan yang tinggi, karena dengan itulah dia
akan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orangorang yang lemah. Akan
tetapi perasaan kemanusiaan ini tidak akan mencapai kadar yang tinggi, tanpa
dia sendiri pernah mengecap penderitaan seperti yang diderita oleh anak-anak
yatim, orangorang miskin dan fakir tersebut
Ketiga
Kehidupan seorang
da’i dalam lingkungan yang lebih alami dan jauh dari kesemerawutan kehidupan,
merupakan salah satu faktor kejernihan dan kuatnya pikiran, fisik dan jiwa
serta lurusnya jalan pikiran itu sendiri. Oleh karena itu terpilihnya bangsa
Arab untuk menyampaikan risalah Islam bukanlah hal yang kebetulan dan
serampangan, tetapi karena mereka itu bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa
tetangganya terhitung sebagai bangsa yang paling bersih jiwanya, cara berpikir
dan akhlaknya. Lagi pula lebih ulet dalam menghadapi peperangan demi da’wah dan
demi tersebarnya risalah Islam ke seantero dunia.
Keempat
Penggerak da’wah
atau pemimpinnya tidak akan begitu meyakinkan, kecuali jika dia memiliki kecerdasan
dan kepekaan. Orang yang bodoh atau tidak cerdik sangat sulit untuk dijadikan
pemimpin dalam bidang pemikiran, perbaikan masyarakat dan kerohaniaan. Sudah
menjadi hukum alam, orang yang bodoh tidak mungkin diangkat menjadi pemimpin,
dalam bidang apapun kalau pun dipaksakan juga tentulah akan mengakibatkan
kehancuran, dan sang pemimpin itu sendiri pasti dijauhi masyarakat yang
dipimpinnya.
Kelima
Sebaiknya seorang
da’i hidup sehari-hari dengan hasil usahanya sendiri atau dengan jalan
lain yang baik, tidak dengan jalan yang hina dan tercela. Para da’i yang
sebenarnya, dan terhormat tentu .tidak sudi hidup tergantung kepada pemberian
orang lain. Masihkah masyarakatnya menaruh rasa hormat, jika da’i-da’i itu
telah menghinakan dirinya sendiri dengan mengemis dan menanti pemberian orang
lain, walaupun tidak secara terang-terangan? Bila ada da’i yang menda’wahkan
ajaran-ajaran atau petunjuk-petunjuk tertentu, padahal mereka minta dan
meminta lagi harta orang lain dengan berbagai alasan, maka dapatlah dipastikan,
mereka itu menghina diri sendiri. Bagaimanakah gerangan tanggapan masyarakat,
tetangga dan orang-orang yang tidak menyukai cara-cara itu terhadap mereka?
Bagaimana mtmgkin da’i-da’i seperti itu bisa sukses menyerukan dan menda’wahkan
akhlak mulia. Masih mungkinkah mereka mampu melawan orang-orang yang suka
berbuat aniaya lagi merusak, dan masihkah bisa memerangi kejahatan? Masih
pantaskah mereka berkoak-koak untuk menumbuhkan jiwa besar dan mantap di hati
para pendengarnya?
Keenam
Kemantapan dan
baiknya riwayat hidup seorang da’i pada masa mudanya juga merupakan faktor
kesuksesannya mengajak orang lain ke jalan Allah Swt. memperbaiki akhlak dan
memerangi kemungkaran. Sebab dengan riwayat hidup seperti itu tidak akan ada
orang yang mengungkit-ungkit cacat dan celanya semasa dia belum lagi melakukan
da’wah. Banyak da’i yang menyerukan perbaikan, terutama perbaikan akhlak
dihambat cemoohan masyarakat terhadap tingkah laku mereka sendiri yang dulunya
penuh noda dan cela bahkan itu bisa membuat orang-orang meragukan apa-apa yang
dida’wahkan
nva itu. Dengan
cacat itu masyarakat mungkin saja menuduh mereka mempunyai maksud tertentu,
atau berlagak menjadi da’i setelah memperoleh kemewahan untuk selanjutnya
berambisi memperoleh populerisme, harta dan pangkat.
Lain halnya
dengan para da’i yang memiliki sejarah hidup yang mulus. inii akan menutup
celah-celah yang bisa digunakan untuk mencaci sang da’i, mengungkit-ungkit
masa silamnya, guna menghasut masyarakat agar menyepelekannya.
Memang benar
Allah Swt. menerima taubat hambanya yang sungguh-sungguh dan mengampuni
dosa-dosa di masa silam, karena diininginya dengan perbuatan-perbuatan yang
baik pada masa kini. Akan tetapi alasan mi tidak seharusnya dan tidak sesuai
dengan pembicaraan kita sekitar para da’i yang sukses atau tidaknya banyak
tergantung kepada baiknya sejarah hidup dan tingkah lakunya.
Ketujuh
Pengalaman-pengalaman
yang dimiliki sang da’i, berupa hasil perlawatannya keluar negeri, pergaulan
yang luas dengan masyarakat, mengerti tradisitradisi, keadaan-keadaan dan
problem-problemnya akan besar pengaruhnya terhadap kesuksesan da’wahnya.
Da’i-da’i yang bergaul dengan masyarakat luas hanya melalui buku-buku dan
tulisan- tulisan, tanpa berbaur langsung dengan mereka dalam berbagai situasi,
adalah calon-calon da’i yang akan gagal dalam da’wahnya. Mereka tidak akan
diperhatikan oleh masyarakat yang bersangkutan dan isi da’wahnya tidak akan
diterima dengan baik, karena apa yang dida’wahkannya itu seringkali tidak
releven dengan keadaan masyarakat yang sesungguhnya. Bahkan para da’i seperti
itu akan di cap sebagai tidak memahami situasi dan masalah-masalah yang ada
pada masyarakat bersangkutan. Oleh karena itu, seharusnyalah da’i-da’i
menyelami situasi masyarakat yang menjadi sasaran da’wahnya, tidak saja situasi
keagamaan, pertanian dan perdagangan, melainkan juga situasi politik dan
kebudayaannya secara keseluruhan. Dengan demikian sang da’i akan mampu
merumuskan dan menerapkan metode yang menarik minat, bukan justru menjengkelkan
atau menimbulkan nasa antipati (acuh) di hati publik (penerima
da’wah).
Dengan
perangkat-perangkat ini da’wah seperti yang dikehendaki A1-Qur’an akan dapat
terlaksana. Firman Allah:
äí÷$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$#
“Ajaklah manusia ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan ajaran-ajaran yang
baik.” (An-Nahi: 125)
Begitu juga seperti
yang dikatakan oleh Ali Ra
حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ
أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللَّهُ
وَرَسُولُهُ
“Khutbahilah masyarakat itu sesuai dengan taraf
pemikirannya, apakah kamu ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan orang?” (R.
Bukhori)
Kedelapan
Seorang da’i harus menyediakan waktu beribadah untuk
mendekatkan diri kepada Allah Swt. membersihkan jiwanya dan kotoran-kotoran
akhlak tercela, melepaskan diri dan jiwanya dan keruwetan kehidupan sekeliling.
Cara mi akan membuatnya sering-sering mengintrospeksi diri (melihat ke
dalam diri sendiri) yang mungkin masih kurang baik, atau malah salah jalan atau
kurang bijaksana dalam memilih materi da’wah dan metode pendekatannya. Atau
mungkin dia terlibat dalam pertikaian dan perdebatan sengit, sehingga lupa akan
Allah, akhirat, surga, neraka dan seterusnya.
Karena
itulah shalat tahajud atau shalat malam yang sudah menjadi kewajiban para Nabi,
sangat ditekankan pada para da’i. Ibrahim bin Adham pernah mengatakan
bagaimana kenikmatan bertahajud dan beribadat malam han itu, dalam ungkapannya
Kami berada dalam kenikmatan yang seandainya raja-raja telah tahu, kami
telah meraihnya, tentulah mereka akan membunuh kami untuk merampasnya.”
Bukankah Allah
Swt. sendiri menunjukkan firman-Nya di bawah mi kepada Rasulullah Saw.
“Wahai orang yang sedang berselimut.
Bangunlah pada malam han kecuali sedikit, setengahnya atau kurang dan itu, atau
lebihkan dan itu dan bacalah Al-Qur’an den gan tartil. Sesungguhnya Kami akan
turunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam itu
lebih khusu’ dan lebih mendalam kesannya.” (Al-Muzammil: 1-6)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar