Sabtu, 02 Juni 2012

BEBERAPA PELAJARAN DARI SEJARAH KELAHIRAN NABI SAW




Dari fakta-fakta sejarah di atas dapat diambil pelajaran sebagai berikut:
Pertama
Kemuliaan seorang da’i atau reformer (pemba­haru) merupakan daya penarik masyarakat. Sebab biasanya masyarakat itu akan menyepelekan da’i atau reformer; jika mereka tahu dia berasal dan dibesarkan dalam suasana kehidupan yang tidak terhormat atau dari satu keturunan yang rendahan. Kalau kelemahan ini tidak ada pada seorang da’i, maka itu berarti tertutup cela-cela yang dapat membuat orang-orang menyepelekannya. Andaikata masih juga, dapatlah dipastikan penyepe­lean dan keengganannya menerima ajakan-ajakan sang da’i hanyalah diada-adakan belaka, dicari-cari. Agaknya inilah dasarnya Kaisar Heraklius me­nanyakan perihal keturunan Nabi Saw. kepada Abu Sofyan yang sengaja datang ke Istananya, guna menyampaikan surat Nabi yang berisi ajakan untuk masuk ke dalam agama Islam.
Ø  Bagaimana kedudu­kan keturunannya (Nabi) di kalangan kalian ? Tanya Heraklius.
Ø  Muhammad Saw. itu berasal dan keturu­nan yang sangat terhormat di kalangan kami, jawab Abu Sofyan.
Ø  Setelah tanya jawab itu selesai, Kaisar pun menjelaskan mengapa ia mempertanyakan hal itu. Saya tanyakan kepadamu perihal keturunan Nabi Muhammad ini, bukan karena aku tidak tahu sama sekali. Semula saya sudah mengira beliau mempu­nyai keturunan yang mulia. Ingatlah, Tuhan selalu memilih orang mulia di kalangan masyarakatnya untuk dijadikan Rasul, dan selalu dan keturunan yang terhormat pula, kata Kaisar.

Memang benar agama Islam tidak mengukur amal perbuatan seseorang berdasarkan atas mulia atau tidaknya keturunan orang yang bersangkutan, akan tetapi tergabungnya kemuliaan keturunan dengan kemuliaan amal perbuatan pada diri seseorang tentulah lebih memungkinkannya menduduki kedudukan yang lebih tinggi dan mendekatkan kepada kesuksesan, ketimbang orang yang tidak memiliki kedua hal itu. Nabi Saw. sendiri pernah bersabda:
فَخِيَارُكُمْ فِي الْجَاهِلِيَّةِ خِيَارُكُمْ فِي الْإِسْلَامِ إِذَا فَقُهُوا
~?“Orang yang terhormat di antara kamu di masa jahiliyah adalah juga terhormat di dalam Islam, jika mereka paham.” (HR. Bukhari)

Kedua
Dalam menjalankan misi pasti terdapat penderi­taan-penderitaan yang seimbang dengan penderitaan hidup yang dialami anak yatim piatu atau derita­-derita lainnya. Kepiatuannya sejak masih kecil membuat beliau (Nabi) menghayati benar makna-­makna kemanusiaan, penuh kasih sayang kepada anak-anak yatim, orang-orang yang menderita atau teranٌiaya. Pengalaman itu juga membuat beliau gigih memperjuangkan dan membela nasib orang­-orang itu.
Seorang da’i seyogianya memiliki rasa prikema­nusiaan yang tinggi, karena dengan itulah dia akan dapat merasakan apa yang dirasakan oleh orang­orang yang lemah. Akan tetapi perasaan kemanu­siaan ini tidak akan mencapai kadar yang tinggi, tanpa dia sendiri pernah mengecap penderitaan seperti yang diderita oleh anak-anak yatim, orang­orang miskin dan fakir tersebut

Ketiga
Kehidupan seorang da’i dalam lingkungan yang lebih alami dan jauh dari kesemerawutan kehidupan, merupakan salah satu faktor kejernihan dan kuatnya pikiran, fisik dan jiwa serta lurusnya jalan pikiran itu sendiri. Oleh karena itu terpilihnya bangsa Arab untuk menyampaikan risalah Islam bukanlah hal yang kebetulan dan serampangan, tetapi karena mereka itu bila dibandingkan dengan bangsa-bangsa tetangganya terhitung sebagai bangsa yang paling bersih jiwanya, cara berpikir dan akhlaknya. Lagi pula lebih ulet dalam menghadapi peperangan demi da’wah dan demi tersebarnya risalah Islam ke seantero dunia.
Keempat
Penggerak da’wah atau pemimpinnya tidak akan begitu meyakinkan, kecuali jika dia memiliki kecer­dasan dan kepekaan. Orang yang bodoh atau tidak cerdik sangat sulit untuk dijadikan pemimpin dalam bidang pemikiran, perbaikan masyarakat dan kero­haniaan. Sudah menjadi hukum alam, orang yang bodoh tidak mungkin diangkat menjadi pemimpin, dalam bidang apapun kalau pun dipaksakan juga tentulah akan mengakibatkan kehancuran, dan sang pemimpin itu sendiri pasti dijauhi masyarakat yang dipimpinnya.

Kelima
Sebaiknya seorang da’i hidup sehari-hari dengan hasil usahanya sendiri atau dengan jalan lain yang baik, tidak dengan jalan yang hina dan tercela. Para da’i yang sebenarnya, dan terhormat tentu .tidak sudi hidup tergantung kepada pemberian orang lain. Masihkah masyarakatnya menaruh rasa hormat, jika da’i-da’i itu telah menghinakan dirinya sendiri dengan mengemis dan menanti pemberian orang lain, walaupun tidak secara terang-terangan? Bila ada da’i yang menda’wahkan ajaran-ajaran atau petun­juk-petunjuk tertentu, padahal mereka minta dan meminta lagi harta orang lain dengan berbagai alasan, maka dapatlah dipastikan, mereka itu meng­hina diri sendiri. Bagaimanakah gerangan tanggapan masyarakat, tetangga dan orang-orang yang tidak menyukai cara-cara itu terhadap mereka? Bagaimana mtmgkin da’i-da’i seperti itu bisa sukses menyerukan dan menda’wahkan akhlak mulia. Masih mungkin­kah mereka mampu melawan orang-orang yang suka berbuat aniaya lagi merusak, dan masihkah bisa memerangi kejahatan? Masih pantaskah mereka berkoak-koak untuk menumbuhkan jiwa besar dan mantap di hati para pendengarnya?

Keenam
Kemantapan dan baiknya riwayat hidup seorang da’i pada masa mudanya juga merupakan faktor kesuksesannya mengajak orang lain ke jalan Allah Swt. memperbaiki akhlak dan memerangi kemung­karan. Sebab dengan riwayat hidup seperti itu tidak akan ada orang yang mengungkit-ungkit cacat dan celanya semasa dia belum lagi melakukan da’wah. Banyak da’i yang menyerukan perbaikan, terutama perbaikan akhlak dihambat cemoohan masyarakat terhadap tingkah laku mereka sendiri yang dulunya penuh noda dan cela bahkan itu bisa membuat orang-orang meragukan apa-apa yang dida’wahkan­
nva itu. Dengan cacat itu masyarakat mungkin saja menuduh mereka mempunyai maksud tertentu, atau berlagak menjadi da’i setelah memperoleh keme­wahan untuk selanjutnya berambisi memperoleh populerisme, harta dan pangkat.
Lain halnya dengan para da’i yang memiliki sejarah hidup yang mulus. inii akan menutup celah-­celah yang bisa digunakan untuk mencaci sang da’i, mengungkit-ungkit masa silamnya, guna menghasut masyarakat agar menyepelekannya.
Memang benar Allah Swt. menerima taubat hambanya yang sungguh-sungguh dan mengampuni dosa-dosa di masa silam, karena diininginya dengan perbuatan-perbuatan yang baik pada masa kini. Akan tetapi alasan mi tidak seharusnya dan tidak sesuai dengan pembicaraan kita sekitar para da’i yang sukses atau tidaknya banyak tergantung kepada baiknya sejarah hidup dan tingkah lakunya.

Ketujuh
Pengalaman-pengalaman yang dimiliki sang da’i, berupa hasil perlawatannya keluar negeri, pergaulan yang luas dengan masyarakat, mengerti tradisi­tradisi, keadaan-keadaan dan problem-problemnya akan besar pengaruhnya terhadap kesuksesan da’wahnya. Da’i-da’i yang bergaul dengan masyara­kat luas hanya melalui buku-buku dan tulisan­- tulisan, tanpa berbaur langsung dengan mereka dalam berbagai situasi, adalah calon-calon da’i yang akan gagal dalam da’wahnya. Mereka tidak akan diperhatikan oleh masyarakat yang bersangkutan dan isi da’wahnya tidak akan diterima dengan baik, karena apa yang dida’wahkannya itu seringkali tidak releven dengan keadaan masyarakat yang sesung­guhnya. Bahkan para da’i seperti itu akan di cap sebagai tidak memahami situasi dan masalah-­masalah yang ada pada masyarakat bersangkutan. Oleh karena itu, seharusnyalah da’i-da’i menyelami situasi masyarakat yang menjadi sasaran da’wahnya, tidak saja situasi keagamaan, pertanian dan perdagangan, melainkan juga situasi politik dan kebudayaannya secara keseluruhan. Dengan de­mikian sang da’i akan mampu merumuskan dan menerapkan metode yang menarik minat, bukan justru menjengkelkan atau menimbulkan nasa antipati (acuh) di hati publik (penerima da’wah).
Dengan perangkat-perangkat ini da’wah seperti yang dikehendaki A1-Qur’an akan dapat terlaksana. Firman Allah:
äí÷Š$# 4n<Î) È@Î6y y7În/u ÏpyJõ3Ïtø:$$Î/ ÏpsàÏãöqyJø9$#ur ÏpuZ|¡ptø:$#
“Ajaklah manusia ke jalan Tuhanmu dengan bijaksana dan ajaran-ajaran yang baik.” (An-Nahi: 125)
Begitu juga seperti yang dikatakan oleh Ali Ra

حَدِّثُوا النَّاسَ بِمَا يَعْرِفُونَ أَتُحِبُّونَ أَنْ يُكَذَّبَ اللَّهُ وَرَسُولُهُ
“Khutbahilah masyarakat itu sesuai dengan taraf pemikirannya, apakah kamu ingin Allah dan Rasul-Nya didustakan orang?” (R. Bukhori)

Kedelapan
Seorang da’i harus menyediakan waktu beriba­dah untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt. membersihkan jiwanya dan kotoran-kotoran akhlak tercela, melepaskan diri dan jiwanya dan keruwetan kehidupan sekeliling. Cara mi akan membuatnya sering-sering mengintrospeksi diri (melihat ke dalam diri sendiri) yang mungkin masih kurang baik, atau malah salah jalan atau kurang bijaksana dalam memilih materi da’wah dan metode pendekatannya. Atau mungkin dia terlibat dalam pertikaian dan perdebatan sengit, sehingga lupa akan Allah, akhirat, surga, neraka dan seterusnya.
Karena itulah shalat tahajud atau shalat malam yang sudah menjadi kewajiban para Nabi, sangat ditekankan pada para da’i. Ibrahim bin Adham per­nah mengatakan bagaimana kenikmatan bertahajud dan beribadat malam han itu, dalam ungkapannya

Kami berada dalam kenikmatan yang seandainya raja-raja telah tahu, kami telah meraihnya, tentulah mereka akan membunuh kami untuk merampasnya.”

Bukankah Allah Swt. sendiri menunjukkan firman-Nya di bawah mi kepada Rasulullah Saw.
 “Wahai orang yang sedang berselimut. Bangunlah pada malam han kecuali sedikit, setengahnya atau kurang dan itu, atau lebihkan dan itu dan bacalah Al-Qur’an den gan tartil. Sesungguhnya Kami akan turunkan kepadamu perkataan yang berat. Sesungguhnya bangun di waktu malam itu lebih khusu’ dan lebih mendalam kesannya.” (Al-Muzammil: 1-6)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar